Alih Fungsi Lahan Gencar, Ketahanan Pangan Sekarat?

Alih fungsi lahan

"Tanah-tanah suburmu sudah menjadi ranjang industri. Menjadi ayunan ambisi-ambisi. Demi gengsi, demi aksi. Untuk apa sawah-sawah. Pak taniku sudah pergi. Menjadi pejalan kaki. Yang … sepi."

Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Potongan lagu dari Iwan Fals dengan judul "Mencetak Sawah" di atas sangat tepat menggambarkan realitas persawahan Indonesia saat ini. Pasalnya, kini lahan sawah yang subur telah beralih fungsi menjadi lahan hunian dan industri secara masif. Bahkan alih fungsi lahan menjadi isu paling krusial saat ini.

Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono, alih fungsi lahan saat ini kian masif. Hal ini menyebabkan produksi beras negeri ini kian berkurang sejak 5 tahun terakhir, yakni dari 33,9 juta ton pada 2018 menjadi 31,5 juta ton pada 2022.

Ia mengungkapkan, sejatinya Indonesia telah memiliki regulasi tentang perlindungan lahan pertanian sebagai upaya untuk mewujudkan kemandirian serta kedaulatan pangan yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Namun, nyatanya hingga saat ini alih fungsi lahan pertanian masih terus terjadi dan kian tidak terkendali. Bahkan diketahui bahwa alih fungsi lahan senantiasa disebabkan oleh berbagai pembangunan infrastruktur atau Proyek Strategis Nasional (PSN), contohnya pembangunan jalan tol Trans Jawa (tempo.co, 28/1/2023).

Kontradiktif

Alih fungsi lahan yang kian masif menunjukkan hal yang sangat kontradiktif terhadap apa yang ingin dicapai oleh penguasa negeri ini, yakni upaya mewujudkan ketahanan pangan yang termaktub dalam Undang-Undang (UU) Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan ditambah dengan Undang-Undang (UU) No. 22/2019 tentang Sistem Budi Daya Pertanian Berkelanjutan. Artinya, penguasa berusaha mewujudkan ketahanan pangan berkelanjutan serta kedaulatan pangan di negeri ini.

Namun, nyatanya kebijakan tersebut tidak sejalan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Pasalnya, karena penguasa negeri ini ingin memberikan "karpet merah" kepada investor melalui berbagai pembangunan infrastruktur yang dianggap sebagai salah satu cara pemulihan ekonomi, UU di atas diamputasi oleh UU No. 11/2020 tentang Cipta Kerja yang menyebabkan alih fungsi lahan bisa dilakukan dengan mudah.

Selain itu, alih fungsi lahan juga difasilitasi serta dilindungi dalam undang-undang. Hal ini terlihat pada peta lahan sawah dilindungi (LSD) di 8 provinsi Indonesia sebagai sentral beras yang termaktub dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No.12 Tahun 2020 dan Keputusan Menteri ATR/Kepala BPN No.1589/SK-HK.02.01/XII/2021 tentang Penetapan Peta LSD dengan mudah untuk ditinjau kembali atau direvisi ketika ada proyek pembangunan nasional.

Dilansir dari bisnis.com, dalam Permen ATR/Kepala BPN No.1589/SK-HK.02.01/XII/2021 di atas, pemerintah beriktikad untuk melindungi 3,84 juta hektare sawah saja dari 3,97 juta hektare lahan baku sawah. Artinya, ada 136 ribu hektare alih fungsi lahan sawah yang secara implisit direstui oleh pemerintah. Hal ini pun sejalan dengan pernyataan Direktur Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah dan Ruang, Dwi Hariyawan, bahwa revisi kedua UU di atas untuk perbaikan dan akan menjadi acuan, dan menjamin tidak akan menghalangi investasi yang masuk ke negeri ini. Dalam artian, apa pun akan dilakukan agar investor masuk ke negeri ini, walaupun mengancam kedaulatan pangan negeri ini.

Berakibat Impor

Alih fungsi lahan pertanian akan terus terjadi dan menjadi hal lumrah selama industrialisasi, urbanisasi, dan pembangunan berjalan berasas kapitalisme. Para penguasa tidak akan memihak pada rakyatnya, tetapi lebih dominan memihak kepada para korporasi. Padahal, sejatinya konversi lahan yang tidak terkendali akan makin membuat produksi pangan negeri ini turun dan pastinya kedaulatan pangan kian sekarat, sebagaimana dikatakan Yusuf Wibisono di atas. Jika hal ini terus dibiarkan, solusi praktis mengatasi kekurangan pangan adalah melakukan impor yang makin membuat negeri agraris ini sulit keluar dari ketergantungan impor.

Sebagai pengetahuan, pada awal tahun 2023 pemerintah telah melakukan impor beras sebanyak 2 juta ton dan kemungkinan akan bertambah di akhir Desember mendatang pada kuartal akhir. Menurut data yang dihimpun United States Department of Agriculture (USDA), Indonesia menduduki peringkat ke-5 sebagai pengimpor terbesar di dunia setelah Filipina, Tiongkok, Irak, dan Nigeria (katadata.co.id).

Sungguh miris, Indonesia adalah negeri agraris, tetapi tidak berdaya untuk mewujudkan ketahanan pangan. Yang terjadi justru kecanduan impor yang sejatinya membuat ketahanan pangan kian rapuh. Walaupun pemerintah berusaha untuk memberikan solusi lain akibat masifnya alih fungsi lahan dengan pengadaan food estate, tetapi nyatanya food estate juga merupakan arogansi para pemilik modal yang kembali merugikan para petani.

Salah Kelola

Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek penting bagi sebuah negara. Jika suatu negera memiliki ketahanan pangan yang kuat, ini mengindikasikan bahwa dia akan menjadi negara maju dan mampu membawa kesejahteraan bagi rakyatnya. Indonesia yang mendapat julukan sebagai negeri agraris sejatinya mampu mewujudkan ketahanan pangan tersebut. Namun, akibat salah kelola karena menerapkan sistem kapitalisme, negeri kaya ini menjadi tak berdaya.

Sistem kapitalisme sekuler membuat negeri ini terjebak dalam mantra neoliberal, yakni privatisasi dan liberalisasi pertanian yang berwujud minimnya intervensi negara dalam sektor pertanian. Hal itu dimulai sejak Indonesia meminta bantuan pada Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menyelesaikan krisis pada tahun 1998. Pada saat itu, Indonesia sedang dilanda krisis moneter yang menyebabkan Indonesia mengambil kebijakan untuk meminta bantuan kepada IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI).

IMF dianggap dewa penyelamat bagi Indonesia, tetapi nyatanya Indonesia justru terjebak utang dalam waktu panjang. Perlu diketahui, IMF merupakan badan yang berpengaruh di dunia. Ia memiliki kekuasaan untuk memaksakan agenda neoliberal dan liberalisasi di dalam suatu negara sebagai prasyarat penarikan dana pinjaman. Sebagaimana halnya Indonesian yang telah masuk di dalamnya. Hal ini membuat liberalisasi di sektor pertanian menghancurkan sendi kehidupan para petani dan berakibat pada rapuhnya ketahanan pangan negeri ini.

Di sisi lain, sistem ini pun membuat negara lebih menaruh perhatian besar pada kepentingan para korporasi. Hal ini terlihat di atas, para penguasa membuat UU untuk menyelamatkan ketahanan pangan, tetapi ketika berbenturan dengan kepentingan korporasi, penguasa pun merevisi aturan tersebut agar sejalan dengan kepentingan korporasi.

Kemudian, minimnya intervensi negara dalam produksi pertanian pun terlihat nyata, pada saat negara tidak lagi memberikan perhatian besar dalam penyediaan sarana dan prasarana untuk menunjang produksi pertanian, seperti penyediaan saluran irigasi, penyediaan bibit unggul, dan lainnya. Bahkan, akibat liberalisasi pertanian, subsidi pertanian sedikit demi sedikit mulai dikurangi dan nantinya akan dihilangkan. Misalkan, anggaran subsidi pupuk yang setiap tahun mengalami penurunan, dilansir dari CNBCIndonesia.com, subsidi pupuk yang diberikan pemerintah pada tahun 2020 sebesar Rp34 triliun, turun drastis pada tahun 2022 menjadi sebesar Rp25 triliun.

Dari sini tampak bahwa ketahanan pangan tidak akan terwujud selama negeri ini masih menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Sebab, kepemimpinan kapitalisme hanya berorientasi pada kepentingan korporasi.

Ketahanan Pangan dalam Islam

Berbagai masalah pelik yang membelit rakyat saat ini dari hulu hingga hilir dan tidak kunjung menuai solusi, termasuk ketahanan pangan, sudah waktunya dikembalikan kepada aturan Allah Swt.. Sebab Allah merupakan pembuat hukum terbaik. Sebagaimana Allah berfirman,

اَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُوْنَۗ وَمَنْ اَحْسَنُ مِنَ اللّٰهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُّوْقِنُوْنَ

Artinya: "Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih baik dari (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. Al-Maidah: 50).

Dalam pandangan Islam, pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok rakyat yang wajib dipenuhi oleh seorang khalifah (pemimpin). Khalifah wajib memastikan bahwa per individu rakyat telah terpenuhi kebutuhannya. Jika ada satu saja dari mereka yang tidak terpenuhi kebutuhannya, dalam artian menderita kelaparan, khalifah akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.

Sabda Rasulullah, "Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).

Oleh karena itu, Islam mewajibkan negara untuk mewujudkan ketahanan pangan. Selain untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya, ketahanan pangan ini juga merupakan salah satu pilar ketahanan suatu negara dalam kondisi apa pun, baik pada kondisi damai maupun perang.

Dalam mewujudkan ketahanan pangan, seorang khalifah menerapkan sistem ekonomi Islam dan didukung dengan politik Islam. Penerapan sistem ekonomi Islam ini mengatur secara detail tentang lahan pertanian. Tidak dibiarkan ada tanah-tanah yang mati (tanah yang tidak ditanami) selama 3 tahun berturut-turut. Jika ada tanah mati, negara akan memberikan kepada siapa saja yang ingin menghidupkannya dengan maksud untuk mengelola lahan tersebut, lahan itu akan menjadi miliknya setelah dipagari atau dihidupkan. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah,

"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Tirmidzi, Abu Dawud).

Untuk mewujudkan ketahanan pangan, ada beberapa prinsip pokok yang dijalankan oleh khalifah selama Islam menaungi 3/2 dunia.

Pertama, mengoptimalkan produksi pertanian, artinya mengoptimalkan seluruh penunjang produksi pertanian sehingga nantinya bisa menghasilkan bahan pangan pertanian yang berkualitas dan berkelanjutan. Dengan mengunakan sains dan teknologi, negara memetakan lahan yang subur dan tidak subur untuk bisa ditanami sesuai jenis tanaman, penerapan teknik irigasi, pembangunan bendungan, cara pemupukan, penanganan hama, sampai pada mekanisme pemanenan dan pascapemanenan. Kemudian, negara pun membiayai berbagai penelitian pertanian guna menunjang keberhasilan produksi pertanian.

Kedua, manajemen logistik, artinya pemerintah mengendalikan seluruh proses produksi, konsumsi, dan distribusi pangan. Pemerintah akan mengoptimalkan cadangan pangan saat panen melimpah, kemudian dia akan mendistribusikan secara selektif saat ketersediaan pangan berkurang. Hal ini sebagai upaya agar ketersedian pangan tetap stabil.

Ketiga, adaptasi gaya hidup masyarakat, artinya negara memberikan pemahaman kepada rakyatnya tidak boleh berlebih-lebihan dalam mengonsumsi makanan, serta menerapkan gaya hidup sehat, yakni empat sehat lima sempurna, serta halal. Kemudian, negara pun menanamkan sikap sosial yang tinggi di tengah masyarakat, yakni saling memberi kepada para tetangga yang kekurangan makanan.

Keempat, prediksi Iklim, artinya negara mengunakan kecanggihan teknologi untuk melakukan analisis perubahan iklim dan cuaca ekstrem dengan mempelajari fenomena alam seperti keadaan curah hujan, kelembaban udara, penguapan air di permukaan, serta seberapa banyak intensitas sinar matahari yang diterima bumi. Hal ini dilakukan agar bisa melakukan penanaman dengan sebaik-baiknya.

Kelima, mitigasi bencana pangan, artinya negara bersiap-siap untuk melakukan langkah-langkah antisipasi jika kemungkinan akan terjadi kondisi rawan pangan atau gagal panen yang disebabkan oleh perubahan iklim, serta adanya bencana alam.

Dengan beberapa prinsip pokok di atas dan strategi politik Islam, maka Indonesia akan mampu mewujudkan ketahanan pangan. Apalagi didukung dengan kondisi Indonesia yang dianugerahi oleh Allah dengan tanah yang subur dan curah hujan yang tinggi.

Khatimah

Sejatinya, sampai kapan pun sistem kapitalisme sekuler tidak akan mampu menyelesaikan problematika rakyat negeri ini, termasuk masalah pangan. Sistem ini berasal dari akal manusia yang terbatas dan serba kurang sehingga saat memberikan solusi terhadap berbagai problematika pun tidak menyentuh akar masalahnya. Ditambah lagi, asas sistem ini berbasis pada materi, bukan kesehatan rakyat. Jadi bisa dipastikan bahwa sistem kapitalisme sekuler tidak akan mampu membawa kepada kesejahteraan rakyat, tetapi justru sebaliknya penderitaan rakyat.

Sudah saatnya manusia sadar bahwa sistem ini telah memorak-porandakan tatanan kehidupan dan hendaknya mengambil aturan yang berasal dari Allah pencipta kehidupan, yakni sistem Islam. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Siti Komariah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Gencatan Senjata, Apakah Solusi? 
Next
Menjernihkan Persoalan Palestina demi Mewujudkan Perisai Umat
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Wd Mila
Wd Mila
11 months ago

Berbagai masalah pelik yang membelit rakyat saat ini dari hulu hingga hilir dan tidak kunjung menuai solusi dalam sistem sekularisme, Ternyata semua solusinya ada di Islam. MasyaaAllah

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram