Prinsip negara-negara kapitalis dalam membangun relasinya dengan negara lain adalah meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan makin mengokohkan hegemoninya.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Energi menjadi salah satu topik yang selalu menarik diperbincangkan sekaligus diperebutkan oleh negara-negara di dunia. Energi pula yang membuat dua atau beberapa negara membangun relasi kemesraan demi mewujudkan kepentingan masing-masing. Celakanya, dominasi sektor energi oleh satu negara saat ini dapat mendikte dan mengontrol negara lain yang lebih kecil kepemilikan sumber energinya.
Beberapa negara yang terus meningkatkan kerja sama di bidang energi adalah Rusia dengan negara-negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Hal tersebut sebagaimana disampaikan oleh Duta Besar Rusia untuk ASEAN, Evgeny Zagaynov, saat pembukaan pameran bertajuk "Lima Tahun Kemitraan Strategis ASEAN-Rusia" di Jakarta, pada Jumat (03/11) lalu.
Dalam kesempatan itu, Zagaynov menyebut bahwa peningkatan kemitraan tersebut sangat penting dilakukan mengingat permintaan energi di Asia Tenggara cenderung meningkat. Bahkan, Zagaynov memprediksi bahwa peningkatan permintaan tersebut akan mencapai 50 persen pada 2050 mendatang. Kerja sama tersebut pun menyasar beberapa proyek seperti teknologi batu bara, tenaga listrik, produksi minyak dan gas (migas), energi nuklir, serta sumber-sumber energi alternatif lainnya. (kompas.com, 04/11/023)
Melihat keseriusan kedua belah pihak dalam membangun relasi, lantas seberapa besar sebenarnya potensi energi yang dimiliki Rusia dan ASEAN? Lalu, apa pula dampak yang ditimbulkan dari kerja sama tersebut?
Potensi Energi
Diketahui, Rusia sudah menjadi mitra dialog ASEAN sejak tahun 1996 silam. Sedangkan hubungan kemitraan strategis antara Rusia dan ASEAN baru disepakati kedua belah pihak pada tahun 2018. Kemudian pada 2023, kedua pihak mengadopsi pernyataan bersama dalam rangka peringatan lima tahun kemitraan ASEAN-Rusia. Dalam pernyataan bersama tersebut, mereka akan memprioritaskan kerja sama di beberapa bidang, yakni lingkungan hidup, ketahanan pangan, penanggulangan bencana, perubahan iklim, keanekaragaman hayati, keamanan, dan energi berkelanjutan. (kompas.com, 04/11/023)
Dalam sektor energi, Rusia bisa dikatakan telah menjadi "raja energi" di kawasan Eropa. Pasalnya, Rusia menjadi salah satu negara penghasil energi fosil terbesar di dunia. Tak hanya itu, Rusia juga dikenal sebagai produsen minyak mentah terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan Arab Saudi. Di sisi lain, Rusia merupakan produsen gas alam terbesar kedua sekaligus sebagai pengekspor gas terbesar di dunia. Dengan statusnya tersebut, tak heran jika sektor energi khususnya migas, menjadi sumber pendapatan penting bagi Rusia.
Pada 2021 misalnya, pendapatan Rusia dari penjualan migas mencapai 45 persen dari seluruh pendapatan negara itu. Rusia bahkan mampu mengekspor minyak mentah ke berbagai negara sebanyak 4,7 juta barel per harinya. Dengan fakta tersebut, Rusia bisa dikatakan telah mengokohkan diri sebagai superior atas negara-negara yang lebih sedikit sumber energinya. Terkait hubungannya dengan ASEAN, Rusia bahkan berjanji akan meningkatkan pasokan energi khususnya migas ke ASEAN demi mengamankan sumber energi di kawasan tersebut.
Jika potensi energi Rusia dapat dikatakan besar, lantas bagaimana dengan potensi energi ASEAN? Jika ditanyakan potensi energi negara-negara anggota ASEAN, maka jumlahnya pun melimpah dan tak bisa dipandang sebelah mata. Menurut Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana, total potensi energi ASEAN berjumlah 17.228 gigawatt (GW). Sementara itu, cadangan gas bumi terbukti yang dimiliki ASEAN adalah sebesar 130 triliun standar kaki kubik (TCF). Dari total tersebut, sebanyak 44,2 TCF berada di Indonesia. (kompas.com, 27/08/2023)
Data-data tersebut membuktikan bahwa potensi energi ASEAN dan Rusia cukup besar. Dengan potensi yang besar tersebut, mereka ingin membangun hubungan yang saling menguntungkan melalui kerja sama dalam berbagai aspek, seperti energi, dll. Lalu, adakah sisi positif dan negatif dari kerja sama tersebut?
Dampak Kerja Sama
Tak dimungkiri, adanya hubungan kerja sama antara dua atau beberapa negara pasti menghendaki tercapainya tujuan masing-masing di masa yang akan datang. Pun demikian dengan relasi Rusia-ASEAN. Setelah menjalin relasi kerja sama, Rusia kontinu menggelontorkan investasinya di kawasan Asia Tenggara. Sejak lima tahun terakhir, investasi Rusia bahkan melonjak hingga tiga kali lipat dari US$4,5 miliar menjadi US$13,2 miliar.
Tak hanya soal investasi, wisatawan Rusia pun turut melirik kawasan Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan tersebut kini dipilih untuk dikunjungi. Pada 2019 misalnya, wisatawan Rusia yang mengunjungi ASEAN berjumlah sekitar 1,9 juta orang. Sedangkan di tahun 2023 jumlahnya sudah melampaui 2 juta orang. Negara-negara yang banyak diincar adalah Indonesia, Kamboja, Vietnam, dan Thailand. Rusia bahkan rela menyediakan pelatihan bahasa Rusia dan bekerja sama dengan para penyelenggara wisata di kawasan ASEAN.
Kemudian dalam sektor energi, Rusia menawarkan proyek energi ramah lingkungan, seperti pembangkit listrik tenaga air, surya, nuklir, dan bayu (angin). Hingga kini, Rusia sudah membangun pembangkit listrik di 54 negara dengan total 350 pembangkit listrik dalam berbagai jenisnya. Dari sini tampak bahwa negara-negara anggota ASEAN mendapat manfaat dari kerja sama dengan Rusia. Namun, Rusia jelas mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar atas potensi SDA negara-negara ASEAN.
Waspadai Penjajahan Ekonomi
Meski secara umum ASEAN mendapat keuntungan dari kerja sama tersebut, tetapi harus diingat bahwa setiap kerja sama dengan negara lain (apalagi dalam bentuk investasi) akan mengakibatkan ketergantungan yang luar biasa pada negara tersebut. Lebih dari itu, kerja sama dalam bidang investasi akan menghilangkan kemandirian ekonomi dan politik sebuah negara. Apalagi kerja sama dengan negara berhaluan kapitalis seperti Rusia.
Selain menjadi superior energi di Eropa, Rusia kini melebarkan sayapnya ke wilayah Asia Tenggara dan terus menancapkan hegemoninya. Terbukti dengan berbagai kerja sama dengan negara-negara anggota ASEAN dalam berbagai bidang. Hal ini bukanlah perkara sulit bagi Rusia. Pasalnya, sebagai negara produsen energi fosil terbesar di dunia, Rusia memiliki modal besar yakni energi, yang bisa dengan mudah membangun relasi dengan negara lain, apalagi dengan negara yang lebih sedikit sumber energinya.
Energi fosil yang dimiliki Rusia misalnya, selain dapat menghasilkan nilai ekonomi melalui perjanjian perdagangan antarnegara, sekaligus dapat menjadi soft power demi kepentingan politik global negaranya. Tak dimungkiri, sumber energi memang menjadi kekuatan penting suatu negara. Di satu sisi, energi dapat menjadi sarana untuk mempererat perdagangan antarnegara, tetapi di sisi lain dapat digunakan sebagai ancaman halus atas negara yang lebih kecil kepemilikan sumber energinya.
Lebih dari itu, prinsip negara-negara kapitalis dalam membangun relasinya dengan negara lain adalah meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dan makin mengokohkan hegemoninya. Inilah yang harus diwaspadai oleh negara berkembang termasuk Indonesia saat membangun relasi kerja sama dengan negara kapitalis besar.
Padahal, jika saja mau berpikir lebih dalam, negara-negara anggota ASEAN khususnya Indonesia, sudah memiliki potensi energi yang sangat besar. Jika potensi tersebut dikelola dengan baik dan benar, niscaya Indonesia tidak perlu bergantung pada negara lain dalam urusan energinya. Indonesia merupakan negara kepulauan yang dianugerahi potensi energi terbarukan yang luar biasa besar seperti energi surya, angin, hidro, dan arus laut yang besar. Untuk potensi energi hidro saja, jumlahnya mencapai 94,47 GW, sebagaimana data dari Buku Statistik EBTKE, Kementerian ESDM. Ini belum jumlah energi lainnya. Dengan potensi sebesar itu, mengapa tak dikelola dengan benar agar terwujud kesejahteraan rakyat dan kemandirian energi?
Kemandirian Energi dalam Islam
Jika sistem kapitalisme menjadikan energi sebagai jalan meraup keuntungan dan menekan negara lain, maka Islam memiliki pengelolaan energi yang khas dan mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat sekaligus membangun ketahanan energi. Lebih dari itu, energi harus bisa dinikmati bersama oleh seluruh masyarakat dan tidak boleh diprivatisasi.
Sektor energi (utamanya minyak dan gas) memang menjadi komoditas yang paling penting di dunia. Pasalnya, kecepatan industrialisasi yang terjadi sangat tergantung dari tingkat ketersediaan energi. Tak heran pula jika saat ini banyak negara yang memiliki ketergantungan energi pada negara produsen atau penghasil sumber daya energi. Karena itu, agar mampu mewujudkan kesejahteraan dan ketahanan energi, maka negara memiliki peran sentral untuk mengelola sumber daya tersebut dengan rujukan yang benar, yakni Islam.
Dalam Islam, kebijakan energi yang dilakukan oleh negara harus bersandar pada hal-hal berikut.
Pertama, karena energi memiliki peranan yang sangat penting untuk aktivitas industrialisasi, maka kebijakan di sektor energi benar-benar harus dikaji dan dianalisis lebih mendalam agar tidak salah sasaran.
Kedua, karena berbagai tugas membutuhkan ketersediaan energi, maka negara (Khilafah) perlu membangun infrastruktur modern untuk menunjang sempurnanya tugas-tugas tersebut.
Ketiga, karena belum ada alternatif bahan mentah lain untuk industri manufaktur dan petrokimia, maka energi (minyak bumi dan gas) harus dialokasikan untuk pemakaian yang urgen. Meski demikian, negara harus mencari alternatif yang lain untuk membantu pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan.
Di sisi lain, energi adalah hak milik umum sehingga tidak boleh diprivatisasi dengan dalih apa pun. Hal ini tertuang dalam hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ahmad:
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
Artinya: "Kaum muslim terikat dalam tiga perkara yaitu, padang rumput, air, dan api."
Karena itu, Khilafah wajib mengelolanya secara mandiri agar tidak diintervensi oleh negara lain. Hal ini karena negara adalah pengurus seluruh urusan rakyat dan akan diminta pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. kelak. Selain untuk mewujudkan hak-hak rakyat, Khilafah juga menjadikan energi sebagai sumber kekuatan negara.
Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan energi, maka negara akan melakukannya dengan dua cara. Yakni mendistribusikan minyak dan gas dengan harga murah atau mengambil sedikit keuntungan untuk menjamin kebutuhan masyarakat yang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, keamanan, sandang, pangan, dan papan. Dengan prinsip-prinsip pengelolaan menurut Islam, maka negara akan membawa rakyatnya pada kemakmuran, sekaligus menjadikan energi sebagai kekuatan agar memiliki posisi tawar yang tinggi di mata dunia.
Khatimah
Demikianlah seharusnya langkah yang dilakukan oleh negeri-negeri muslim saat ini agar keluar dari intervensi negara kapitalis besar. Memiliki kemandirian energi bagi negeri ini dan negeri muslim lainnya bukanlah hal yang mustahil. Lihat saja potensi energi yang dimiliki negeri-negeri muslim begitu besar. Saat ini saja, cadangan minyak dunia sebesar 74 persennya berada di tanah kaum muslim.
Bahkan, 42 persen dari kebutuhan harian minyak dunia dipasok dari dunia Islam. Tak hanya itu, sekitar 54 persen cadangan gas dunia juga berada di wilayah kaum muslim. Sayangnya, potensi sebesar itu tidak berguna sama sekali jika tidak mampu memproduksi energi tersebut dan menjadikannya sebagai sumber kekuatan. Sudah saatnya negeri-negeri muslim kembali pada Islam dan menjadikan syariatnya sebagai rujukan dalam setiap kebijakan negara.
Wallahu a'lam bishawab. []
Hadewh. SDA yang sebenarnya melimpah tumpah ruah dikuasai mereka yang embuh lah. Ketika Negeri kaum muslim bisa bersatu mengelola, kemaslahatan umat pasti terjaga.
Betul mbak. Hanya dengan Khilafah, SDA akan dikelola secara mandiri dan pastinya membawa maslahat bagi umat.
MasyaaAllah, 74% cadangan minyak dunia berada di negeri kaum muslim. Seandainya kita semua bersatu, maka kita bisa menjadi negara digdaya tanpa bergantung sm negara kafir.
Nah, itu masalahnya. Nasionalisme yang merupakan anak kandung kapitalisme telah membuat negara-negara muslim terpecah belah.
Seandainya negeri-negeri Islam mengelola sendiri SDA yang mereka miliki, tentu kemaslahatan akan mereka dapatkan.
Betul Bu. Sayangnya kita diatur oleh kapitalisme yang telah melegalkan penjarahan SDA secara legal
Negeri-negeri muslim telah dikaruniai kekayaan alam yang luar biasa. Namun sayangnya tidak dikelola dengan sistem yang benar.
Kalau dikelola sesuai syariat pastilah akan membawa maslahat bagi semuanya
Betul mbak Dina, sayang ya punya banyak harga cuma dikasih suka rela sama para korporat, hehe ...
ESDM selalu mempesona negara Adi kuasa. Menjalin hubungan mesra hanya untuk meraup keuntungan semata. Saatnya berpikir jernih untuk kembali kepada sistem Islam yang sempurna mengelola SDM untuk kepentingan umat
Betul bu
Jadi makin rindu sistem Islam dalam bingkai Khilafah..ayo guys kencengin dakwahnya yuuuk tuh negeri kapitalis makin sini makin serakah tuh.. kekayaan kita dikuras abis..
Betul mba. Apa yang tersisa untuk generasi mendatang kalau SDA nya dikuras habis sama yang bukan pemilik. Ngenes ...
Barakallah mba Tinah. Bener banget tuh. Saat ini SDA yang sejatinya adalah milik umat dikuasai oleh segelintir orang. Dan dijadikan bahwa untuk menindas negara-negara kecil lainyya.
Aamiin, wa fiik barakallah mbak Riah.
Jazakunnallah khairan katsiran tim NP, semoga bermanfaat