Salah satu tuntunan syariat Islam tentang politik adalah mengharuskan adanya wadah institusi penerapan politik Islam itu sendiri, yakni Khilafah. Keberadaan Khilafah telah terverifikasi secara dalil bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan sumber hukum Islam lainnya.
Oleh. Puspita Ningtiyas
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Politik adalah kegiatan kepengurusan urusan rakyat. Tidak selalu tentang perebutan kekuasaan, tetapi setiap sendi kehidupan rakyat, ada napas politik di dalamnya. Pemahaman yang khas tentang politik ini, meniadakan ambisi keserakahan terhadap kekuasaan. Yang tergambar justru amanah besar yang akan dipikul oleh siapa saja yang terlibat di dalamnya. Maka, dari pengertian ini akan muncul pelaku-pelaku politik yang berpeluang amanah menjalankan tanggung jawabnya. Akan tetapi, karena politik adalah urusan yang sangat penting dan melibatkan masyarakat luas, dibutuhkan aturan yang sempurna tanpa trial and error.
Aturan tentang politik yang sempurna tidak mungkin dibuat oleh manusia atau sekumpulan manusia yang berunding menetapkan paradigma dan teknisnya. Sebab kemampuan akal terbatas pada informasi sebelumnya yang tersimpan di dalam otak. Tanpa informasi sebelumnya, akal akan tumpul, tidak mampu bekerja. Siapa yang menjadi sumber dari segala sumber informasi tentang segala sesuatu? Siapa yang menjadi sumber kesempurnaan konsep segala sesuatu termasuk urusan politik ?
Politik Sehat dengan Islam
Islam adalah agama paripurna, mencakup penjelasan segala rupa masalah beserta solusinya, termasuk urusan politik. Maka, terkait persoalan politik ini, kita sebagai seorang muslim harus bertanya kepada Islam, bukan kepada yang lain. Firman Allah Swt.,
“.....Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridai Islam sebagai agamamu...” (TQS. Al-Maidah [5]: 3)
Islam dengan kapasitasnya sebagai ideologi, mampu menjelaskan apa dan bagaimana motivasi berpolitik sekaligus memberikan ketentuan terbaik sosok pemimpin yang layak menjabat. Selain itu, Islam menjelaskan bagaimana proses pengangkatan pemimpin yang sesuai dengan zaman tanpa membahayakan kedaulatan bangsa dan negara.
Ibadah Politik
Berpolitik berarti beribadah kepada Allah Swt. dalam menjalankan tugasnya mengurusi urusan rakyat. Urusan rakyat tersebut meliputi banyak hal, di antaranya: sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Urusan politik yang lain di antaranya terkait penerapan sanksi hukum, politik luar dan dalam negeri sebuah negara. Semua akan bernilai ibadah jika diniatkan karena Allah dan dilakukan dengan cara yang benar sesuai tuntunan syariat.
Salah satu tuntunan syariat Islam tentang politik adalah mengharuskan adanya wadah institusi penerapan politik Islam itu sendiri. Institusi tersebut bernama Khilafah. Keberadaan Khilafah telah terverifikasi secara dalil bersumber dari Al-Qur’an, hadis, dan sumber hukum Islam lainnya.
Selain itu, uniknya ajaran Islam yang komprehensif dan saling terkait dalam hal penerapan, memang mengharuskan keberadaan Khilafah yang menaungi seluruh penerapan syariat Islam tersebut. Tinta emas sejarah juga telah membuktikan bahwa keberadaan Khilafah membawa keberhasilan politik yang gemilang selama berabad-abad lamanya. Model sistem politik dirintis oleh Baginda Nabi saw. ini patut dijadikan panutan di tengah penerapan politik yang sakit seperti hari ini.
Dengan adanya Khilafah, berpolitik jadi ibadah. Berkah dari atas langit dan dari dalam bumi tercurah tiada habisnya menjadikan Islam benar-benar rahmat bagi semesta alam. Allah Swt. berfirman,
“Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS. Al-A’raf: 96)
Memilih Pemimpin yang Amanah
Sesungguhnya pada Baginda Nabi saw. terdapat suri teladan terbaik, maka sebagai seorang muslim sudah sepatutnya senantiasa berkiblat pada keteladanan beliau, termasuk dalam memilih pemimpin. Rasulullah saw. bersabda,
"Apabila suatu urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah masa kehancurannya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Karena itu, persoalan kriteria pemimpin ini menjadi sangat penting. Kitab Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 50-53; Kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 22-27 karya Abdul Qadim Zallum, menjelaskan kriteria dasar seorang pemimpin antara lain: (1) Muslim; (2) Laki-laki; (3) Balig; (4) Berakal; (5) Merdeka (bukan budak/berada dalam kekuasaan pihak lain); (6) Adil (bukan orang fasik/ahli maksiat); (7) Mampu (punya kapasitas untuk memimpin).
Dalam banyak kitab Fikih Siyâsah, termasuk kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah karya Imam Al-Mawardi yang amat terkenal, juga telah banyak dibahas sejumlah kriteria yang wajib ada pada diri calon pemimpin. Secara umum kriterianya sama, yang berbeda hanya dalam aspek tertentu dan rinciannya.
Kriteria-kriteria tersebut harus terpenuhi pada diri calon pemimpin. Adapun teknis pemilihan pemimpin tidak ditetapkan sebagai sesuatu yang wajib, artinya bisa dengan beberapa cara yang dianggap efektif dan tidak menimbulkan persoalan yang berbahaya bagi kaum muslimin.
Jika kriteria pemimpin ini telah terpenuhi dalam wadah politik Islam Khilafah yang memegang kendali, maka persoalan teknis tidak menjadi masalah.
Sambil berpegang teguh pada prinsip takwa yang dimiliki setiap warga negara, tersuasanakan oleh masyarakat, dan dijaga oleh negara, persoalan teknis yang dipilih dalam proses pemilihan pemimpin, tidak akan menyimpang dari jalur tuntunan syariat Islam.
Tiga Hari Memilih Pemimpin
Salah satu persoalan dalam proses pemilihan pemimpin saat ini adalah mahalnya biaya pencalonan termasuk di dalamnya biaya kampanye. Walaupun regulasi Indonesia membatasi sumbangan kampanye yang boleh diterima oleh calon kontestan pemilu, tetap saja nominalnya fantastis.
Dilansir dari dataindonesia.id, bahwa sumbangan dana kampanye untuk calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berasal dari perorangan maksimal sebesar Rp2,5 miliar. Sementara, dana kampanye capres dan cawapres dari perusahaan paling besar senilai Rp25 miliar.
Sumbangan ini tentu bukan amal sosial tanpa kewajiban balas budi. Kita akan tahu setelah kontestan telah duduk di kursi kekuasaan, keberpihakan berubah dari rakyat kepada segelintir orang yang memberikan budinya sebelum pemilihan berlangsung.
Karena itu, proses pemilihan yang harusnya bersifat teknis dalam rangka memudahkan terpilihnya pemimpin untuk melaksanakan tugas agung mengurusi urusan rakyat, menjadi ajang investasi untuk melanggengkan kekuasan elite pejabat bersama para pemilik modal. Hal ini tentu akan membahayakan kedaulatan negara ke depannya.
Karena itu, pelaksanaan pemilihan pemimpin harus fokus pada tujuan, tidak boleh ada celah tunggang-menunggangi oleh pihak ketiga yang punya kepentingan pribadi, dan harus dilakukan dalam waktu sesingkat-singkatnya.
Para sahabat Rasul saw. bersepakat boleh (karena terpaksa) tidak ada pemimpin bagi umat Islam maksimal tiga hari tiga malam. Sepeninggal Baginda Nabi saw., kepedihan menyeruak di dalam dada kaum muslimin, terutama para sahabat. Mereka merasa tidak percaya, tetapi tidak mampu mengingkari setiap yang bernyawa memang akan kembali kepada Sang Pemilik kehidupan.
Kebingungan muncul setelahnya, terkait siapa yang akan menjadi pengganti Baginda Nabi saw. sebagai pemimpin bagi kaum muslimin. Kebingungan itu menjadi pijakan untuk segera memilih pemimpin pengganti Rasulullah saw. Para sahabat bersepakat untuk memilih pemimpin baru dan menunda pengebumian jenazah Rasulullah Saw. Khalifah Abu Bakar As-Shiddiq terpilih setelah tiga hari masa pemilihan. Tidak ada pemborosan biaya yang fantastis dan tidak ada celah ditunggangi pihak ketiga. Semata-semata memilih pemimpin untuk melanjutkan ibadah politik dan menjaga kekuatan dan kesatuan kaum muslimin. Seandainya teknis ini diterapkan, dengan penduduk muslim di dunia yang jumlahnya besar pun tidak akan jadi masalah karena hal itu diimbangi dengan kemajuan teknologi komunikasi yang juga canggih.
Saatnya berpolitik sehat dengan Khilafah Islam, meninggalkan sistem politik bawaan kapitalisme yang rusak dan membahayakan kedaulatan bangsa dan negara. Wallahu a’lam bishawab.[]
Masyaallah, benar Mbak, berpolitik kita beribadah kepada Allah. Ini yang tidak disadari oleh sebagian kaum muslim, wakil khusus penguasa muslim.
Suka dengan ungkapan: dengan khilafah, berpolitik menjadi ibadah.
Sebaliknya, dengan penerapan sistem kapitalisme, berpolitik berpotensi besar mendatangkan kemaksiatan bagi pelakunya
Benar sekali, biaya politik dalam sistem saat ini begitu mahal. Tak mungkin bisa menghasilkan pemimpin yang benar-benar melayani rakyat tanpa adanya kepentingan untuk membalas "makan siang" yang tak mungkin gratis dari para oligarki yang sudah mendukung. Saatnya kembali pada politik Islam yang meri'ayah umat.
Tanpa mengkaji Islam secara kaffah, orang akan tetap memiliki paradigma sempit tentang politik, yakni sebatas kekuasaan dan perebutan kekuasaan. Karenanya wajib bagi setiap muslim untuk belajar dan memahami politik dari kacamata Islam.
Islam adalah agama sempurna. Islam juga adalah mabda, yang mengatur masalah siyasih (politik).. lihatlah saat konstelasi perpolitikan dunia dikuasai oleh ideologi kufur, maka kekufuran dan nestapalah yang mencengkeram dunia ini. semua ini terjadi karena kemurkaan Allah dan abainya kita menjalankan perintahNYA.. Wallahu a'lam
Berpolitik dalam Islam jelas akan mendatangkan pahala dan rida Allah Swt. Berbeda dengan kondisi perpolitikan saat ini.