Masifnya konversi lahan pertanian menjadi petaka bagi persediaan pangan di negeri ini. Pemerintah bukannya mengupayakan agar produktivitas lahan pertanian kembali menguat demi mewujudkan swasembada pangan, tetapi malah mengambil jalan instan untuk memenuhi pasokan beras dalam negeri, yakni dengan impor.
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Rempaka Literasiku & Bianglala Aksara)
NarasiPost.Com-Julukan sebagai negara agraris kini dipertaruhkan. Indonesia yang dikenal kaya akan berbagai hasil usaha pertanian, kini terancam mengalami darurat pangan. Produktivitas pertanian terus menurun, petani minim generasi penerus, lahan pertanian pun terus menyempit. Gencarnya konversi lahan pertanian disebut menjadi salah satu "tersangka" atas kegagalan negeri ini dalam mewujudkan swasembada pangan.
Alih fungsi lahan atau konversi lahan pertanian memang gencar dilakukan dengan berbagai alasan. Hal tersebut pun dikemukakan oleh Direktur Institute For Demographic and Poverty Studies, Yusuf Wibisono. Menurutnya, alih fungsi lahan menjadi hal paling krusial di negeri ini karena dilakukan secara masif. Ia menyebut, hal ini harus segera mendapat perhatian dari kementerian terkait, demi mengantisipasi kekurangan pasokan beras di dalam negeri. (tempo.co, 28/10/2023)
Gencarnya alih fungsi lahan tentu membuat publik bertanya-tanya, apa sebenarnya penyebab masifnya konversi lahan pertanian di negeri ini? Padahal, negeri ini sudah memiliki regulasi perlindungan lahan yakni Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Lantas, apakah konversi lahan menjadi fakta tak terbantahkan atas ketidakberpihakan regulasi pemerintah terhadap sektor pertanian?
Terus Menyusut
Produktivitas lahan pertanian di negeri ini cenderung terus menyusut akibat alih fungsi lahan. Pada 2019 misalnya, Indonesia memiliki luas lahan baku pertanian sebesar 7,46 hektare, meski ada dugaan jumlah tersebut tidak valid sebagaimana diungkapkan oleh Yusuf Wibisono. Hal ini diduga menjadi penyebab terus menyusutnya produksi beras di dalam negeri selama lima tahun terakhir.
Pada 2018, produksi beras mencapai 33,9 juta ton, kemudian pada 2022 jumlahnya menjadi 31,5 juta ton saja. Pun demikian dengan jumlah lahan baku sawah di delapan provinsi sentra beras yang terus menyusut yakni Jabar, Jatim, Jateng, Sumbar, Banten, DIY, Bali, dan NTB. Pada tahun 2019 misalnya, luas lahan baku sawah sebesar 3,97 juta hektare. Namun, pada tahun 2021 jumlah menyusut menjadi 3,84 juta hektare saja. (tempo.co, 28/10/2023)
Dari total tersebut menunjukkan bahwa hanya 3,84 hektare sawah saja yang bisa ditetapkan sebagai LDS atau lahan sawah yang dilindungi. Ini artinya, dalam rentang waktu 2019 sampai 2021 terdapat 136 ribu hektare lahan sawah yang mengalami konversi di delapan provinsi sentra beras tersebut.
Penyebab Konversi Lahan
Jika ditelusuri lebih dalam, konversi lahan di negeri ini disebabkan oleh banyak faktor dan kompleks. Mengutip data dari Kementerian Pertanian, setidaknya ada tiga faktor yang menyebabkan alih fungsi lahan terus terjadi.
Pertama, para pengusaha biasanya menawarkan harga jual tinggi terhadap tanah-tanah yang hendak dibangun infrastruktur, perumahan, dan pabrik. Untuk mendapatkan nilai jual yang tinggi, masyarakat pun harus menjualnya kepada pengusaha. Jika hal ini dilakukan maka secara cepat dan pasti, tanah-tanah persawahan yang masih produktif tersebut beralih fungsi menjadi bangunan. Celakanya, bangunan-bangunan tersebut nyaris pasti tidak menyediakan tempat untuk menyerap air hujan.
Kedua, kondisi lahan sawah yang datar, dekat dengan air, dan memiliki aksesibilitas tinggi menjadi incaran konversi oleh para pengembang. Dan sudah menjadi rahasia umum jika pembangunan infrastruktur seperti bandara, tol, fasilitas pendidikan, dan industri dilakukan, maka sering kali diikuti dengan pembangunan fasilitas turunannya seperti hotel, pertokoan, dan perumahan.
Walhasil lahan pertanian yang produktif tersebut telah tergusur oleh bangunan infrastruktur, seperti tol dan bandara. Untuk diketahui, hilangnya lahan-lahan pertanian tersebut bukan semata-mata disebabkan oleh desakan kebutuhan ekonomi masyarakat, tetapi banyak pula disebabkan oleh pembangunan infrastruktur dan Proyek Strategis Nasional atau PSN.
Sebut saja pengembangan Lombok Praya International Airport di Lombok Tengah dan pembangunan jalan poros yang menghubungkan bandara dengan Kota Mataram, telah menyebabkan masifnya konversi lahan pertanian yang ada di sepanjang jalan tersebut. Mirisnya, konversi lahan sawah dengan dalih untuk kepentingan umum dan PSN nyaris terjadi di seluruh provinsi maupun kabupaten yang banyak memiliki wilayah berupa lahan persawahan. Dan masih banyak lagi proyek PSN yang melibatkan lahan sawah milik petani, seperti proyek pembangunan PLTU Cilacap dan Bendungan Bener yang berada di Purworejo dan Wonosobo, serta proyek lainnya.
Keranjingan Impor
Masifnya konversi lahan pertanian menjadi petaka bagi persediaan pangan di negeri ini. Lahan sawah semakin menyusut, produktivitas lahan pertanian pun kian tergerus. Anehnya, pemerintah bukannya mengupayakan agar produktivitas lahan pertanian kembali menguat demi mewujudkan swasembada pangan, tetapi malah mengambil jalan instan untuk memenuhi pasokan beras dalam negeri, yakni dengan impor.
Bahkan, impor untuk komoditas pangan sudah seperti candu yang terus dilakukan dengan dalih stok pangan dalam negeri tidak mencukupi. Hal ini sungguh menjadi ironi. Bukankah Indonesia pernah mendapatkan penghargaan dariInternational Rice Research Institute (IRRI) karena berhasil mewujudkan sistem pertanian yang tangguh dan swasembada beras tahun 2019–2021? Lantas mengapa impor beras dan produk pangan lainnya tetap masif dilakukan?
Bahkan, hingga saat ini pun impor masih menjadi penyangga pangan dalam negeri. Sebut saja pada Januari–Agustus 2023, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor beras sudah mencapai 1,59 juta ton. Ini baru soal beras. Belum lagi untuk kebutuhan pokok lainnya yang nyaris semuanya juga ditopang oleh impor. Sadar atau tidak, impor komoditas pangan telah menyulitkan posisi petani yang sudah tidak beruntung sejak awal.
Persoalan mahalnya pupuk menjadi problem tak terselesaikan di kalangan para petani. Apalagi jika melihat harga jual gabah kepada para tengkulak yang tak berbanding lurus dengan biaya produksinya. Di mana, para tengkulak hanya mau membeli gabah yang harganya sudah distandarkan oleh pemerintah.
Walhasil banyak petani yang akhirnya memilih alternatif tanaman lain sebagai penopang ekonominya, baik dengan mengganti tanaman maupun menjual lahannya kepada para pengembang. Karena itu, bukan sebuah keanehan jika konversi lahan sawah masih akan terus terjadi di masa mendatang. Realitas tersebut tentu akan berpengaruh terhadap produksi beras di dalam negeri.
Kegagalan Negara
Menjadi negara maju merupakan harapan semua bangsa, termasuk negeri ini. Tak salah pula jika pemerintah ingin membangun proyek-proyek berskala besar sebagaimana negara lain. Namun, pemerintah seharusnya mampu menyeimbangkan proyek-proyek infrastruktur dan PSN tersebut dengan kebijakan di sektor pertanian guna mewujudkan swasembada pangan. Bukankah mewujudkan swasembada pangan selalu digaungkan oleh pemerintah? Namun sayang, realitasnya jauh panggang dari api.
Memang benar bahwa pemerintah pernah membangun proyek food estate yang menjadi bagian dari PSN tahun 2020–2024. Food estate merupakan proyek yang bertujuan mewujudkan lumbung pangan nasional. Sayangnya, proyek ini dinilai gagal total. Anggaran fantastis yang dikeluarkan ternyata tidak sebanding dengan produktivitas yang dihasilkan. Lebih dari itu, food estate telah nyata meminimalkan peran petani di dalamnya karena tujuannya hanya menghasilkan produk ekspor.
Jelaslah sudah bahwa program-program skala nasional seperti food estate hanya menghabiskan anggaran negara tetapi tidak berkontribusi secara nyata terhadap ketersediaan pangan dalam negeri, apalagi mewujudkan jaminan pangan. Inilah bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan swasembada pangan.
Padahal, salah satu tugas utama negara adalah menjaga dan memperkuat ketahanan pangan, serta mewujudkan kedaulatan dan kemandirian pangan dalam negeri. Sebagaimana telah diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012. Sayangnya, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah di sektor pertanian justru tidak berpihak pada para petani.
Inilah wajah kepemimpinan dalam sistem demokrasi kapitalisme yang hanya menempatkan negara sebagai regulator. Pemerintah yang seharusnya bertanggung jawab mengurus semua persoalan rakyat, justru lebih berpihak pada para konglomerat. Lihat saja saat ini, kemandirian pangan belum terwujud, para petani terancam kehilangan lahan dan mata pencaharian, tetapi semua itu seolah kalah oleh kepentingan ekonomi yang berlindung di balik PSN. Karena itu, untuk mewujudkan swasembada pangan, langkah pertama adalah mencampakkan sistem kapitalisme yang kini masih dijadikan solusi.
Kedaulatan Pangan dalam Islam
Islam adalah agama sekaligus ideologi yang sangat sempurna mengatur berbagai urusan, baik sosial, politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Karena kesempurnaan dan ketinggian ideologinya tersebut, Islam telah mewarnai dunia selama 13 abad lamanya. Salah satu keunggulan sistem Islam yang tercatat dalam sejarah keemasan Islam adalah keberhasilannya mewujudkan ketahanan pangan.
Hebatnya lagi, prinsip-prinsip ketahanan pangan yang diterapkan di era kejayaan Islam tetap relevan hingga kini, bahkan sampai masa mendatang. Berikut beberapa prinsip yang dijalankan selama periode panjang kekhilafahan Islam dalam mewujudkan ketahanan pangan.
Pertama, mengoptimalkan seluruh potensi lahan untuk kegiatan pertanian berkelanjutan. Upaya ini dilakukan untuk menghasilkan berbagai makanan pokok. Untuk mewujudkan upaya tersebut, maka negara akan memaksimalkan peran berbagai aplikasi sains dan teknologi. Seperti mencari lahan yang cocok untuk jenis tanaman tertentu, pemupukan, teknik irigasi, penanganan hama, pemanenan, hingga pengolahan setelah panen.
Kedua, menjalankan manajemen logistik secara maksimal yang sepenuhnya dikendalikan oleh negara. Proses ini menyangkut urusan pangan dan semua hal yang mengikutinya seperti pupuk, irigasi, dan antihama. Dalam hal ini, negara akan menyimpan banyak cadangan pangan saat produksi melimpah dan menyalurkannya dengan hati-hati saat persediaan mulai menipis.
Ketiga, melakukan analisis terhadap berbagai kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrem. Dalam hal ini negara terus berupaya mempelajari berbagai fenomena alam agar bisa memprediksi iklim yang sedang dan akan terjadi. Misalnya, mempelajari curah hujan, penguapan air permukaan, kelembapan udara, dan intensitas sinar matahari yang diterima bumi. Hal ini penting dilakukan sebagai upaya mempediksi iklim.
Keempat, negara akan melakukan mitigasi bencana untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan yang menyebabkan terjadinya kerawanan pangan. Misalnya saja untuk mencegah rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan kondisi alam dan lingkungan.
Selain prinsip-prinsip tersebut, Khilafah juga membuka ruang seluas-luasnya bagi penelitian dan pengembangan dalam sektor pertanian. Misalnya dengan membangun banyak laboratorium, perpustakaan, dan lahan-lahan untuk percobaan. Dukungan negara terhadap para ilmuwan pun sangat maksimal, mulai dari pendanaan yang dibutuhkan hingga penghargaan atas karya-karya yang dihasilkan.
Dengan dukungan sebesar ini, maka tak heran jika di masa kejayaan Islam telah lahir banyak ilmuwan di bidang pertanian. Sebut saja Abu Zakariya Ibn al-Awwam yang menulis tentang jenis-jenis tanaman dan budidaya buah-buahan, hama dan penyakit serta cara penanggulangannya, teknik mengolah tanah, sifat-sifat tanah, dan kompos.
Dengan penerapan prinsip-prinsip tersebut, ketahanan dan kemandirian pangan dapat diwujudkan dengan sempurna. Keberhasilan mewujudkan ketahanan pangan oleh Islam telah banyak diakui dunia. Hal ini tak lepas dari peran negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah, yakni Khilafah. Pasalnya, Khilafah adalah raa'in (pengurus) bagi rakyatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw. yang dijelaskan dalam hadis riwayat Bukhari dan Ahmad:
…الإِمَامُ رَاعٍ وَ مَسْؤُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya: "Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus."
Khatimah
Alih fungsi lahan dengan dalih demi kepentingan umum dan PSN akan terus menjadi momok bagi rakyat negeri ini. Rakyat akan terus menjadi tumbal kebijakan penguasa jika tidak kembali pada Islam. Sudah saatnya bagi rakyat dan negeri ini meninggalkan sistem kapitalisme yang jauh dari kebaikan, kemudian kembali pada solusi hakiki yang ditawarkan Islam. Wallahu a'lam bishawab.[]
selama negara abai dalam meriayah rakyatnya maka urusan swasembada pangan pun ia serahkan kepada swasta dan asing. alhasil, semuanya akan langkah dan mahal.
Betul, itu memang karakter penguasa di bawah baju kapitalisme dalam meriayah rakyat. Makanya, gak ada aturan terbaik selain dari Islam untuk menyelesaikan persoalan negeri ini dan dunia.
Miris! di negara agraris sampai terjadi krisis pangan. Prinsip kapitalisme semua du ukur dengan uang. Rakyat yang punya uangpun akhirnya hanya gigit jari. Saatnya kembali kepada sistem pemerintahan dalam Islam untuk mengentaskan problematika yang terjadi.
Keren mba naskahnya. Semoga banyak yang tercerahkan.
Betul bu Dewi. Sudah saatnya kembali pada sistem Islam untuk menyelesaikan semua problematika manusia
Aamiin, syukran nggih