Pernikahan dini bukanlah akar masalah, namun dia hanya kambing hitam dari kegagalan penguasa mengurai masalah yang tidak kunjung menuai solusi.
Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com -Seiring maraknya kasus perceraian dan meningkatnya kasus stunting di negeri ini yang dianggap imbas dari pernikahan dini, membuat pemerintah semakin menaruh perhatian besar pada kasus tersebut.
Dirjen Bimas Islam, Kementerian Agama (Kemenag), Kamaruddin Amin, menyatakan bahwa pemerintah memiliki upaya untuk menekan angka pernikahan dini di bawah 14 persen di tahun 2024. Selain itu, upaya ini dilakukan untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional dan membangun generasi berkualitas dalam menyongsong Indonesia emas ke depan. Sebab, keluarga dianggap sebagai bagian penting untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional.
Terpisah, Kepala Subdirektorat Bina Keluarga Sakinah, Agus Suryo Suripto mengungkapkan bahwa pernikahan dini memiliki sejumlah dampak negatif, salah satunya secara fisik, anak yang masih berumur 18 tahun akan berisiko mengalami bahaya kehamilan. Seperti komplikasi kehamilan hingga kematian ibu dan anak. Kemudian, dampak sosial, anak umur 18 tahun rentan terhadap kasus KDRT (liputan6.com, 12/10/2023).
Terus Meningkat
Tren pernikahan anak terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Misalnya, di Kabupaten Garut. Sejumlah anak yang mengajukan dispensasi nikah terus meningkat. Data Pengadilan Negeri Garut, pada tahun 2019 ada 166 perkara dispensasi nikah. Perkara ini melonjak drastis pada tahun 2020 menjadi 564 perkara. Di tahun 2021 sempat terjadi penurunan yakni 520 perkara dispensasi nikah, namun naik kembali pada tahun 2022 menjadi 582 perkara. Sedangkan, di tahun 2023 di bulan Juli lalu sudah mencapai 247 perkara (kompas.com, 27/07/2023).
Sedangkan data nasional juga menunjukkan tren kenaikan pernikahan dini. Menurut Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), kasus pernikahan anak di Indonesia menyentuh angka yang sangat mengkhawatirkan. Pasalnya, dari data kementerian agama tahun 2021 tercatat 65 ribu kasus pengajuan dispensasi nikah, dan tahun 2022 ada 55 ribu kasus.
Banyaknya pengajuan dispensasi nikah ini disebabkan anak perempuan yang hamil diluar nikah dan ada juga dorongan orang tua yang tidak ingin anaknya terjerumus pada kemaksiatan akibat telah memiliki pacar (kemenpppa.go.id, 27/01/2023).
Kambing Hitam
Hal yang aneh jika pernikahan dini dianggap sebagai penyebab terjadinya berbagai masalah yang terjadi, seperti tingginya angka stunting, tingginya angka perceraian, kasus kematian ibu dan anak, dan kasus lainnya. Kian meningkatnya pernikahan dini yang sering kali berdampak pada keluarga muda yang problematik, yakni tidak tercapainya keluarga yang harmonis, sakinah, mawadah, dan rahmah, sejatinya bukanlah akar masalahnya. Namun, jika kita cermati nyatanya ada beberapa faktor yang membuat pernikahan dini tidak mencapai target kesejahteraan hingga menimbulkan masalah susulan, di antaranya:
Pertama, kurangnya keimanan kepada Allah dalam membangun fondasi keluarga. Di mana, pembangunan keluarga hanya bervisi materi, bukan rida Ilahi, sehingga jika terjadi masalah kecil akan membuat keretakan dalam rumah tangga itu sendiri. Kedua, dorongan nafsu seks yang kian tak terbendung dari berbagai media, baik pornoaksi maupun pornografi sering kali membuat anak terjerumus dalam hubungan intim yang berimbas pada hamil duluan. Alhasil, anak tersebut harus terpaksa melangsungkan pernikahan. Dari sini muncul satu akar masalah pernikahan dini yang problematik hingga menyebabkan KDRT dan masalah rumah tangga lainnya, sebab secara mental mereka belum siap memikul amanah sebagai suami dan istri. Ketiga, hilangnya peran negara sebagai pe-riayah urusan rakyatnya.
Baca juga : https://narasipost.com/opini/08/2021/pernikahan-dini-akibat-kebebasan-berekspresi/
Inilah pemicu paling utama terjadinya berbagai masalah susulan dalam pernikahan dini, seperti stunting. Negara gagal menjamin terpenuhinya kebutuhan hidup setiap individu rakyatnya. Di mana, di tengah lapangan pekerjaan yang kian sempit yang menuntut seorang suami harus mencari nafkah untuk keluarganya, di saat itu pula penerapan sistem ekonomi kapitalis membuat bahan-bahan pokok kian melejit. Dominasi para korporasi di pasar tampak jelas, sedangkan peran negara takluk dan justru mendukung kepentingan mereka. Buktinya, negara tidak berdaya untuk memberikan sanksi kepada para pemain penimbunan barang, monopoli harga, dan permainan kotor lainnya di pasar. Alhasil, harga-harga bahan pokok sulit untuk dijangkau oleh rakyat yang berimbas pada kurang terpenuhinya gizi anak-anak.
Selain itu, perzinaan yang kian marak yang menjadi pemicu terjadinya pernikahan dini pun seakan dianggap hal yang lumrah. Tidak ada sanksi tegas dari negara untuk menghentikan perzinaan tersebut. Yang ada justru negara memfasilitasinya, seperti adanya bar atau cafe-cafe yang dijadikan tempat mereka beraksi. Ketika si anak perempuan hamil pun, negara tidak ikut campur dalam urusan tersebut. Negara hanya menyerahkannya kepada orang tua yang berakhir pada pernikahan saja. Padahal, ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab negara untuk menjaga generasi dari paparan pergaulan bebas. Sejatinya, negara wajib menerapkan kebijakan yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan, dalam aspek apa saja mereka boleh berinteraksi dan tidak boleh berinteraksi. Namun, lagi-lagi negara berlepas tangan terhadap hal tersebut.
Kemudian, sistem pendidikan saat ini pun terbukti gagal melahirkan generasi yang berakhlak, yakni memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai syariat Islam. Pendidikan hanya mencetak generasi yang berprofit pada materi. Standar kebahagiaan hanya sebatas kepuasan jasmani dan mengikuti hawa nafsu saja. Maka tidak heran, generasi-generasi yang dihasilkan pun minim akan keimanan, bahkan senantiasa melakukan kemaksiatan dan kriminalitas.
Di sisi lain, meningkatnya kasus stunting yang digadang-gadang akibat maraknya pernikahan dini juga suatu hal yang tak terbukti. Sebab, jika kita cermati faktor penyebab terjadinya stunting bukan hanya pernikahan dini saja, namun faktor penyebab stunting lebih komprehensif, seperti tidak terpenuhinya makanan bergizi, layanan kesehatan yang kurang menjangkau masyarakat, kurangnya air bersih dan sanitasi, pengasuhan anak yang buruk, berlepas tangannya negara dalam mengurusi urusan rakyat. Ini artinya, walaupun pernikahan di usia dewasa maupun di bawah umur sama saja akan terjadi stunting, sebab tidak terpenuhinya faktor-faktor di atas secara sempurna.
Dari penjelasan di atas tampak bahwa pernikahan dini bukanlah akar masalah, namun dia hanya kambing hitam dari kegagalan penguasa mengurai masalah yang tidak kunjung menuai solusi.
Bahaya Terselubung
Narasi pencegahan pernikahan dini bukan hanya untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkan, seperti KDRT dan juga bukan untuk menyelesaikan masalah stunting saja, serta bukan untuk mencetak generasi yang berkualitas. Namun narasi pencegahan pernikahan dini sejatinya memiliki bahaya yang terselubung.
Di mana, kaum muslim dan generasi secara tidak langsung diajak untuk membenci pernikahan dini yang sejatinya tidak melanggar syariat Allah. Fokus penguasa yang memandang pernikahan dini hanya pada dampak negatif yang ditimbulkannya dan mendudukkan perkara tersebut sebagai masalah yang berdiri sendiri adalah nalar yang salah. Sebab, akar masalahnya bukanlah pernikahan dini, melainkan kehidupan yang kian liberal dan sekuler. Dari sini terdapat penggambaran bahwa penguasa berupaya menghindarkan rakyat dan generasi untuk berpikir cemerlang dan mendalam terhadap akar masalah tersebut.
Di sisi lain, dengan semakin gencarnya narasi tersebut diopinikan di tengah-tengah publik, makin membuat liberalisasi pemikiran, budaya, dan sosial menginternalisasi dalam benak rakyat, tanpa terkecuali generasi. Hal ini sangat berbahaya, sebab lambat laun generasi akan jauh dari agamanya sendiri dan justru menjadi antek-antek para kapitalis untuk menyukseskan program-program mereka, salah satunya menentang aturan Islam sendiri. Dengan demikian, narasi ini hanyalah kedok untuk menggerus pemikiran Islam di tengah-tengah masyarakat.
Narasi pencegahan pernikahan dini juga adalah taktik kapitalis untuk bisa memanfaatkan peran produktif generasi. Di saat asas liberal dan sekuler telah menancap dalam benak mereka, maka generasi pun akan dimanfaatkan untuk mendapatkan laba bagi para kapitalis dengan mengeksploitasi pikiran, tenaga, dan waktu mereka dengan dalih pembangunan suatu bangsa. Dengan demikian, narasi ini sejatinya justru menghancurkan potensi generasi menuju peradaban emas.
Pengamat politik dan generasi Endiyah Puji Tristanti, S.Si. menilai, narasi pencegahan pernikahan dini yang diaruskan secara global tersebut merupakan salah satu taktik para kapitalis untuk menancapkan asas berpikir kehidupan umat dan generasi bukan lagi akidah Islam, melainkan telah bergeser untuk menerima ide-ide liberalisme dan pluralisme yang sejatinya bertentangan dengan syariat Islam, sehingga di balik narasi tersebut ada bahaya ideologis yang terselubung dan justru mengancam keberlangsungan generasi berkualitas kaum muslim. Lambat laun kita akan kehilangan generasi yang memperjuangkan Islam kaffah.
Pernikahan dalam Pandangan Islam
Islam memandang bahwa pernikahan adalah sebuah ibadah. Islam memerintahkan umat manusia untuk melangsungkan pernikahan. Rasulullah bersabda, "Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah. Sebab, pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan.” (Muttafaq 'alayhi)
Hikmah disyariatkan sebuah pernikahan yakni terwujudnya keluarga yang sakinah, mawadah, dan rahmah. Allah Swt. berfirman, "Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan yang perempuan." (QS. An-Nur :32)
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud layak dalam ayat di atas yakni kemampuan biologis untuk menghasilkan keturunan. Artinya, manusia telah mampu menanggung beban perbuatan sebagai seorang hamba, yakni telah sempurna akalnya dan telah sampai pada usai balig sesuai syariat Islam.
Dari sini tampak bahwa Islam tidak mengatur secara eksplisit tentang batas usia dalam pernikahan. Entah itu maksimal maupun minimal. Namun, Islam menjadikan usia balig sebagai awal manusia siap untuk menanggung seluruh syariat Islam yang dibebankan kepadanya. Dengan kata lain, manusia tersebut boleh melangsungkan pernikahan jika dia telah siap memenuhi hak dan kewajiban sebagai seorang suami atau istri.
Kemudian, untuk menghasilkan generasi yang berkualitas, Islam telah mewajibkan negara untuk melakukan penjagaan terhadap para generasi dari paparan pemikiran yang merusak, seperti gaya hidup yang liberal ini. Islam menetapkan pengaturan kehidupan sosial (pergaulan) sesuai syariat Islam. Aktivitas apa saja yang boleh dilakukan oleh laki-laki dan perempuan, dan aktivitas apa saja yang tidak boleh dilakukan. Seperti, Islam melarang laki-laki dan perempuan mendekati aktivitas zina (pacaran), melarang berkhalwat (berduaan), melarang perempuan bertabaruj, ber-ikhtilat (campur baur), serta mewajibkan menundukkan pandangan kepada yang bukan mahram.
Namun, penjagaan kepada akidah generasi tidak serta merta menerapkan sistem pergaulan Islam saja. Akan tetapi, didukung dengan berbagai sistem lainnya, seperti sistem pendidikan yang berdasar pada kaidah Islam akan membentuk generasi berpola pikir dan pola sikap Islami. Sistem ekonomi Islam yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan setiap individu rakyat, hingga menghasilkan badan dan jiwa yang kuat dan sehat. Sistem penerangan yang akan mengontrol media dan membendung berbagai konten yang merusak generasi. Kemudian, sistem politik Islam yang akan membuat seorang khalifah berdiri sebagai pe-riayah urusan rakyat. Dengan demikian, akan terlahir generasi-generasi yang siap menjadi agen perubahan membawa bangsa menuju peradaban gemilang.
Khatimah
Dari paparan di atas tampak jelas bahwa narasi pernikahan dini hanya dalih para kapitalis untuk terus menancapkan hegemoni mereka di seluruh negeri ini. Mereka berupaya untuk membendung kebangkitan Islam dengan cara merusak para generasinya dan justru menjadikan generasi sebagai antek-antek mereka.
Maka, umat muslim harus sadar dengan agenda-agenda Barat yang dikemas dengan begitu cantik. Dijadikan sebagai solusi-solusi permasalahan, padahal dia adalah racun yang mematikan. Sejatinya solusi negeri ini adalah diterapkannya Islam secara menyeluruh dalam sendi kehidupan manusia.
Wallahu a'lam bissawab.[]
bukan pernikahan dininya yang berbahay, tapi sistem sekulerlah yang menyebabkan pernikahan dini maupun pernikahan dewasa menjadi serba sulit.
Betul, seharusnya negara jangan asal menyalahkan pernikahan dini. Banyak kok yang menikah di usia muda tapi tetap langgeng ketika punya visi dan misi yang akhirat. Sebaliknya, banyak juga yang menikah di usia matang tapi juga banyak yang bercerai. Cara pandang negara yang sekulerlah yang gak bisa melihat semua persoalan secara menyeluruh sehingga langsung menyalahkan pernikahan dini.