Bila dipikirkan lebih dalam, bukan perkawinan anak yang menghancurkan masa depan generasi, tetapi kehidupan sekuler liberal biang keroknya.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah berambisi menekan angka perkawinan anak menjadi 14% di tahun 2024. Demikian yang disampaikan oleh Kamaruddin Amin, Dirjen Bimas Islam, dalam kegiatan Seminar Nasional Cegah Kawin Anak di Makassar, Sulawesi Selatan. Perkawinan anak diyakini menimbulkan persoalan susulan seperti perceraian dan anak-anak yang dilahirkan rawan mengalami tengkes. (mediaindonesia.com, 14/10/2023)
Dilansir oleh kumparan.com (22/6/2023), menurut data dari UNICEF per akhir tahun 2022, angka perkawinan anak Indonesia berada di peringkat ke-8 di dunia, sedangkan di ASEAN menduduki peringkat ke-2. Kementerian PPPA dalam siaran persnya bernomor B- 031/SETMEN/HM.02.04/01/2023 menyatakan bahwa perkawinan anak di Indonesia memang sudah mengkhawatirkan. Di tahun 2022, terdapat sekitar 52 ribu perkara permohonan dispensasi nikah. Dari jumlah tersebut, sekitar 34 ribu perkara didorong oleh faktor cinta, 13.547 pemohon karena sudah hamil terlebih dahulu, dan 1.132 pemohon mengaku sudah melakukan hubungan suami istri. Sisanya beralasan karena faktor ekonomi dan perjodohan.
Salah Identifikasi Masalah
Angka-angka yang dilansir oleh Kementerian PPA sungguh sangat memprihatinkan. Sebagian besar pengajuan dispensasi nikah justru diawali oleh pergaulan bebas atas nama cinta berujung perzinaan. Ternyata penyebab pernikahan dini bukan karena adat istiadat, kemiskinan, apalagi konstruksi gender seperti tuduhan para pegiat feminisme. Konstruksi gender berpendapat bahwa perempuan ditempatkan pada posisi subordinat dibandingkan laki-laki sehingga anak perempuan dianggap tidak perlu bersekolah tinggi dan lebih baik segera dikawinkan agar tidak membebani ekonomi keluarga. Oleh karena itu, solusinya adalah dengan segera mewujudkan kesetaraan gender agar perempuan berdaya secara ekonomi.
Sayangnya, akar masalah dari kaum feminis inilah yang diambil oleh pemerintah. Hal ini pun sebenarnya tidak perlu diherankan sebab Indonesia menjadi salah satu negara yang menyepakati SDGs (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) pada tahun 2015 lalu. Salah satu tujuan SDGs poin ke-5 adalah menciptakan kesetaraan gender yang secara spesifik dijelaskan langkahnya di poin 5.3, yaitu dengan menghapus setiap praktik berbahaya, seperti perkawinan anak dan perkawinan paksa.
Perkawinan anak dalam perspektif gender merupakan bentuk ketidaksetaraan. Dalam perspektif gender, perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pengekangan karena perempuan dipaksa untuk mengambil peran sebagai istri dan ibu di usia yang masih sangat muda. Selain itu, perkawinan anak dapat dikategorikan sebagai kekerasan berbasis gender karena merugikan perempuan dan anak perempuan, seperti kematian ibu dan bayi, tengkes, perceraian, kekerasan dalam rumah tangga, dan dampak psikologis. Tinjauan atas dampak negatif inilah yang selama ini menjadi fokus pemerintah, tanpa mencoba mengurai akar masalah sebenarnya.
Pemerintah telah terjerat dalam narasi sesat kaum feminis yang diformalisasi dalam SDGs. Berbagai aksi percepatan yang dilakukan demi mencegah praktik perkawinan anak, ditujukan agar bisa mencapai target SDGs poin 5.3. Termasuk pula dengan menaikkan batas usia pasangan yang akan menikah, 21 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi laki-laki.
Melihat perkawinan anak sebagai persoalan kesetaraan gender demi mencapai tujuan SDGs jelas salah. Fakta dan data dari Kementerian PPA sangat terang menunjukkan penyebab perkawinan anak adalah pergaulan bebas. Menaikkan usia pernikahan justru makin menyuburkan pergaulan bebas hingga perzinaan.
Karut-marut persoalan ini akibat penerapan sistem kapitalisme. Sistem ini telah menjamin setiap individu bebas berbuat sesukanya dengan menjadikan Barat sebagai kiblatnya. Kapitalisme merupakan sistem yang memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari. Salah satu dampaknya, pergaulan bebas dilegalisasi sebagai manifestasi hak asasi manusia. Belum lagi masifnya tayangan-tayangan yang menstimulus syahwat, ada dalam genggaman remaja tanpa filter pemerintah. Pada akhirnya, remaja makin terjerumus dalam kemaksiatan, tanpa ada upaya negara untuk mengentaskannya. Bila dipikirkan lebih dalam, bukan perkawinan anak yang menghancurkan masa depan generasi, tetapi kehidupan sekuler liberal biang keroknya. Bila sistem ini masih terus dipakai, selama itu pula tidak akan pernah terbentuk generasi emas pemimpin peradaban.
Perkawinan Anak dalam Pandangan Islam
Pernikahan dalam Islam merupakan mekanisme pengaturan interaksi antara laki-laki dan perempuan. Tidak ada interaksi yang dihalalkan antara laki-laki dan perempuan asing selain dalam kehidupan perkawinan. Interaksi keduanya perlu diatur sebab Allah Swt. menciptakan laki-laki dan perempuan beserta potensinya untuk saling tertarik satu sama lain. Allah Swt. berfirman di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat ke-14.
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ ٱلشَّهَوَٰتِ مِنَ ٱلنِّسَآءِ وَٱلْبَنِينَ وَٱلْقَنَٰطِيرِ ٱلْمُقَنطَرَةِ مِنَ ٱلذَّهَبِ وَٱلْفِضَّةِ وَٱلْخَيْلِ ٱلْمُسَوَّمَةِ وَٱلْأَنْعَٰمِ وَٱلْحَرْثِ ۗ ذَٰلِكَ مَتَٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَٱللَّهُ عِندَهُۥ حُسْنُ ٱلْمَـَٔابِ
Artinya, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Ketika Allah Swt. ciptakan potensi (gharizah an-nau’) ini agar anak keturunan manusia terus berkembang, Allah sertakan juga aturannya, yaitu melalui pernikahan. Di dalam Islam, menikah hukumnya sunah sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam kitab Sunan Ibnu Majah, hadis nomor 1846.
النِّكَاحُ من سُنَّتِي فمَنْ لمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَليسَ مِنِّي، و تَزَوَّجُوا؛ فإني مُكَاثِرٌ بِكُمُ الأُمَمَ
“Menikah adalah sunahku, barang siapa yang tidak mengamalkan sunahku maka ia bukan bagian dariku. Oleh karena itu, menikahlah kalian karena aku bangga dengan banyaknya umatku (di hari kiamat).
Islam juga menganjurkan para pemuda yang telah mampu untuk segera menikah. Rasulullah saw. bersabda,
عَنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اْلبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَاِنَّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ واَحْصَنُ لِلْفَرْجِ. ومَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَاِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. الجماعة
Artinya, “Wahai para pemuda, siapa saja di antara kalian yang telah mampu menanggung beban, hendaklah segera menikah sebab pernikahan itu lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa karena puasa adalah perisai baginya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Objek yang diseru agar menikah dalam hadis ini adalah pemuda. Begitu ia mampu atau ba’ah maka dianjurkan segera menikah. Ba’ah menurut Imam Nawawi adalah jimak (kemampuan untuk bersetubuh). Sementara itu, menurut Al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani rahimahullah dalam kitab Fathul Bari menambahkan biaya pernikahan sebagai makna ba’ah.
Akan tetapi, anjuran menikah ini tidak semata-mata ba’ah saja. Pihak lelaki yang akan menikah ini harus memiliki kesiapan untuk menafkahi dan menjadi imam bagi keluarganya. Demikian pula, pihak perempuan harus memiliki kesiapan menjadi istri dan ibu. Namun, jika tidak mampu menikah maka disarankan untuk menahan syahwatnya dengan berpuasa. Inilah perspektif Islam memandang pernikahan. Pernikahan itu bukan soal usia, melainkan kesiapan masing-masing pihak untuk mengembang amanah sebagai suami dan istri. Artinya, pernikahan dini bukan masalah dalam Islam.
Lintasan panjang peradaban Islam mencatat bahwa Khalifah Abu Bakar dan Utsman bin Affan pernah membebaskan budak untuk dinikahkan dengan pemuda pujaannya. Demikian pula, Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah memerintahkan para gubernurnya untuk mempergunakan kelebihan zakat di harta baitulmal untuk menikahkan para pemuda yang terhalang menikah karena biaya.
Khatimah
Narasi sesat pencegahan pernikahan anak harus diakhiri. Bukan pernikahan anak yang sebabkan tingginya angka tengkes, perceraian, hingga KDRT, tetapi penerapan sistem kapitalisme. Seharusnya negara fokus mencari akar masalah, kemudian menyelesaikannya. Seharusnya juga, negara meninggalkan sistem kapitalisme yang terbukti membuat tatanan kehidupan makin bobrok , lalu beralih kepada sistem kehidupan Islam yang terbukti menyejahterakan dan menyelamatkan baik di dunia maupun di akhirat.
Wallahu a’lam bi ashawab. []
Mencegah pernikahan dini krn ini, itu, bla, bla, bla. Apa daya, makar Allah lebih NYATA. Sangat memalukan!
bukan nikah mudanya yang salah, tapi sistem pemerintahannya yang salah. pendidikan yang mahal, ditambah minimnya lapangan pekerjaan membuat kehidupan setelah pernikahan menjadi semakin sulit.
betul, Mba. Misal sistemnya shahih, nikah muda bukan masalah.
Narasi sesat kaum feminis memang berbahaya. Kalau kacamata yang dipakai untuk melihat akar persoalan sudah salah, pasti solusinya juga salah.
mau sengotot apa pun mengusahakannya tetap bakal gatot ya, Mba
Lagi lagi perkawinan anak di sorot. Padahal biang kerok karut marut masalah adalah kapitalisme sekuler.
Betul. selama biang kerok tidak dibikin keok 🙂 maka selama itu pula bakal kacau begini
Menikahlah kalau sudah mampu..
kalo skrg, menikah karena cinta. Astghfirullah
Bener banget, Mbak. Menikah bukan soal usia, tetapi kesiapan.
dan ada peran negara untuk membantu para pemuda mempersiapkan pernikahannya. salah satunya dengan menyiapkan banyak lapangan kerja buat pemudanya
Setuju Mbak salah menentukan akar masalah telah menjadikan solusi yang dihasilkan juga salah.Sejatinya akar masalahnya adalah diterapkannya sistem sekuler- Kapitalisme ini oleh negara. Dan solusinya tiada lain adalah kembali kepada siatem yang shahih buatan Allah Swt. Yakni sistem Islam ( khilafah) yang menerapkan syariat Islam secara kaffah.
apapun masalahnya, solusinya penerapan Islam kaffah nggih, Mba 🙂
Karena sudah terbukti keshahihannya
Bener banget mba. Kaum feminis memang akan terus mengaungkan idenya. Dia akan mengangap bahwa kaum perempuan selalu terkekang dan tertindas oleh kaum laki-laki. Hingga menyerukan ide kesetaraan gender. Padahal sejatinya ide feminis justru membuat kaum perempuan terekploitasi
berkat narasi mereka pula, perempuan tereksploitasi tapi tidak merasa kalau dirinya itu sedang dieksploitasi. Astaghfirullah