Ketegasan negara dalam menerapkan syariat Islam akan menciptakan sebuah negara yang aman dan nyaman untuk generasi muda.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com & Penulis Meraki Literasi)
NarasiPost.Com-Benar-benar sangat menyayat hati dan tak bisa dipercaya. Bagaimana bisa, ratusan anak tak berdosa berada di penjara bersama para penjahat, bukan hanya sehari, bukan satu pekan, tetapi sampai bertahun-tahun. Jeruji besi di Negeri Kanguru menjadi saksi bisu, bagaimana pengalaman pilu ratusan anak WNI yang ditipu dan masuk bui demi mencari nafkah.
Colin Singer, selaku petugas pemantau penjara independen Australia telah menemukan bocah laki-laki asal Indonesia, berbadan kecil dengan raut wajah trauma, di kompleks penjara dengan pengamanan maksimum di Perth. Sejumlah pengacara Australia kini melancarkan gugatan hukum agar 100 lebih warga Indonesia yang dipenjara secara tidak sah antara 2008 hingga 2011 bisa mendapatkan kompensasi. Pengalaman Singer pada April 2010 tersebut sempat membuatnya syok. Ia langsung menghubungi pihak berwenang untuk memberitahu hal ini, baik dari pihak Indonesia maupun Australia.
Sayang sekali, Singer mendapat respons dari Syarief Syamsuri selaku Konsulat Jenderal RI bahwa pemerintah Indonesia tidak mempermasalahkan hal tersebut. Singer kecewa dan tak habis pikir, ketika mereka tidak menawarkan bantuan apa pun terhadap nasib anak-anak tak berdosa yang mendekam di penjara dewasa. Seorang Konsulat Jenderal (Konjen) RI mengaku hanya bisa “pasrah” ketika anak-anak WNI dijebloskan ke penjara dewasa bersama para tahanan penjahat kelas kakap. Menurutnya, pemerintah Indonesia terkesan “tidak membantu” ratusan anak-anak WNI tersebut. (bbc.com, 10/10/2023)
Kisah Pilu Ali Jasmin
Ali Jasmin adalah satu dari ratusan anak yang menjadi tahanan di penjara dewasa Australia. Ia berasal dari Flores. Awalnya, Ali mendapat tawaran untuk bekerja sebagai awak kapal dengan gaji besar, tanpa tahu persis motif di balik penawaran orang-orang tersebut.
Suatu hari, Ali dan beberapa orang lainnya berlayar dari kawasan Indonesia Timur menuju Jawa. Saat kapal berlabuh di pelabuhan Muara Angke, Jakarta, sejumlah imigran gelap dari Afganistan ikut naik ke atas kapal. Rencananya mereka akan bertolak menuju Australia secara ilegal untuk mencari suaka di sana. Namun, saat mengarungi samudera, tentara angkatan laut Australia menahan mereka.
Penangkapan Ali Jasmin yang masih berusia 13 tahun, beserta anak-anak lainnya, sebenarnya bertentangan dengan UU Australia pada saat itu. Berdasarkan UU Australia, anak-anak seharusnya dikembalikan ke negara asalnya, tanpa harus didakwa. Namun, pihak aparat Australia tidak memercayai usia mereka yang tertera dalam akta kelahiran mereka. Oleh karenanya, mereka menyuruh dokter melakukan uji sinar-X pada tulang pergelangan tangan untuk mengetahui usia mereka. Lalu disimpulkan bahwa usia Ali pada saat itu adalah 19 tahun dan harus ditahan. Diketahui, kisah Ali tersebut mirip seperti yang dialami ratusan anak-anak dari daerah miskin lainnya.
Pada 2009, Ali didakwa dengan hukuman lima tahun penjara, atas kasus penyelundupan terhadap 55 imigran gelap asal Afganistan ke Australia. Kemudian ia dijebloskan ke Penjara Hakea, Perth. (bbc.com, 6/10/2023)
Sebenarnya banyak cerita menyedihkan yang dialami anak-anak WNI selama berada di penjara dewasa. Terkadang anak-anak di sana mengalami pelecehan seksual, bahkan ditawari mengonsumsi narkoba oleh salah seorang tahanan. Banyaknya dugaan tindakan asusila yang dialami anak-anak tersebut sebenarnya bisa menjadi alasan pemerintah Indonesia untuk menuntut pembebasan mereka. Namun, Ali Jasmin menegaskan bahwa mereka tidak banyak mendapat bantuan dari pemerintah Indonesia.
Berkat ramainya pemberitaan media dan bantuan Colin Singer, Ali Jasmin akhirnya dibebaskan dan dideportasi ke Indonesia pada 2012. Namun, temannya, Erwin Prayoga yang berada satu sel dengannya, telah meninggal dunia dua bulan setelah ia kembali ke Pulau Rote.
Pada 2017, kisah ini kembali mencuat ketika Ali Jasmin menggugat pejabat Australia yang terlibat dalam kasusnya atas dugaan pelanggaran HAM dan diskriminasi rasial, sekaligus berjuang untuk mendapatkan kompensasi. Kemudian, Pengadilan Tinggi Australia Barat membatalkan hukuman terhadap Ali tersebut.
Komisi Nasional Hak Asasi Australia (AHRC) telah memublikasikan hasil investigasi mereka (27/7/2012), mengenai 180 anak yang mendekam di penjara dewasa Australia. AHRC menyoroti prosedur pemeriksaan usia melalui sinar-X dan menyebut bahwa pemerintah Australia telah melanggar Konvensi Hak Anak yang diatur oleh PBB.
Minimnya Kesejahteraan
Tak bisa dimungkiri, banyaknya anak-anak WNI yang masuk dalam bui Australia disebabkan rapuhnya kesejahteraan di negeri ini. Masyarakat dengan ekonomi lemah sangat mudah terbujuk oleh tawaran pekerjaan dengan iming-iming gaji besar. Akibatnya, mereka sangat rentan menjadi korban human trafficking. Kerapuhan ekonomi yang mendera membuat mereka tanpa pikir panjang menerima tawaran pekerjaan untuk keberlangsungan hidup keluarganya.
Problem banyaknya anak putus sekolah akibat mahalnya biaya pendidikan dan biaya hidup menjadi faktor banyaknya anak-anak yang menjadi korban perdagangan manusia. Berdasarkan data Susenas pada 2022, sebanyak 4.087.288 anak putus sekolah antara usia 7 hingga 18 tahun (republika.co.id, 20/7/2023). Padahal, anak-anak dengan tingkat pendidikan yang rendah dan skill terbatas akan lebih mudah tergiur dengan jenis pekerjaan yang tidak membutuhkan ijazah dan keahlian khusus.
Di bawah cengkeraman demokrasi, negeri Indonesia yang kaya akan SDA, tidak dapat dinikmati dan dibagikan merata oleh seluruh anak bangsa. Kekayaan alam yang seharusnya dikelola oleh negara, justru diserahkan kepada investor asing melalui UU. Abainya penguasa dalam mengurus rakyatnya, membuat perusahaan-perusahaan swasta yang berserakan di negeri ini hanya dinikmati segelintir orang. Oleh karena itu, selama kapitalisme masih eksis, maka eksploitasi terhadap anak akan terus menjadi polemik di negeri ini. Anak-anak dari keluarga miskin akan terus menjadi incaran sindikat human trafficking, selama negara gagal menuntaskan kemiskinan sistemis.
Perlindungan Sistem Islam terhadap Anak
Anak sebagai generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan bangsa yang harus dilindungi. Oleh karena itu, di dalam negara Islam, anak tidak hanya menjadi tanggung jawab keluarganya, tetapi juga sekolah, masyarakat, dan negara. Dalam negara Islam (Khilafah), bentuk penjagaan anak dapat dilakukan secara efektif karena semua elemen bekerja sama melindungi anak-anak dengan mencurahkan segala daya dan upaya.
Pertama, orang tua maupun keluarga sebagai orang terdekat akan menjadi garda terdepan yang bertanggung jawab memastikan kesehatan mental, fisik, serta memberi rasa aman dan nyaman kepada anak. Orang tua seharusnya melindungi dan berkewajiban penuh untuk memberikan nafkah dan pengasuhan terbaik sesuai syariat Islam. Islam melarang orang tua untuk mengabaikan dan mengeksploitasi anaknya sendiri. Tanggung jawab mencari nafkah sepenuhnya dibebankan kepada ayah. Jika ayahnya meninggal, ahli waris atau keluarga (yang mempunyai kemampuan finansial) berkewajiban memenuhi kebutuhan pokok anak tersebut.
Kedua, lingkungan masyarakat dan sekolah bertanggung jawab melindungi setiap anak dengan memberikan edukasi dari konsep hidup bersama yang penuh kasih sayang. Sekolah secara formal mengajarkan akidah dan syakhshiyah Islam kepada anak didiknya, untuk memahami kewajiban dan sebagai pertanggungjawaban atas setiap amal perbuatan selama hidup di dunia. Sementara masyarakat secara informal dapat menjadi teladan bagi anak, untuk menerapkan silah ukhuah dengan menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Ketiga, negara melalui penerapan syariat Islam kaffah akan menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang melanggar hukum syarak. Negara berkewajiban menjamin kesejahteraan seluruh rakyatnya dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi laki-laki dewasa. Selain itu, negara harus mengelola SDA secara mandiri dan hasilnya diserahkan untuk kemaslahatan rakyat, dengan menyubsidi layanan pendidikan, kesehatan, dan keamanan.
Dalam hukum pidana Islam, seorang anak yang belum balig tidak bisa dikenakan sanksi apa pun, baik hukuman hudud, kisas, maupun takzir. Pidana bagi anak di bawah umur akan dibebankan kepada orang tua, karena mereka bertanggung jawab mendidik anak-anaknya agar menjadi orang baik. Jika terbukti bahwa orang tua tersebut lalai dari tanggung jawab mendidik anaknya, maka hukuman pidana bagi anak yang terlibat tindak kejahatan akan dibebankan kepada orang tuanya.
“Pemimpin (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya. (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadis di atas, maka seorang pemimpin bertanggung jawab melindungi setiap rakyatnya. Itulah mengapa, Khalifah Umar bin Khathtab tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada pencuri ketika stabilitas ekonomi dalam daulah sedang mengalami krisis. Sang khalifah menyadari bahwa rakyat yang mencuri karena kelaparan bukanlah sebuah tindakan kejahatan, bahkan ini menjadi bahan introspeksi bagi dirinya selama menjadi pemimpin. Sebab, penegakan hukum pidana Islam dilandasi semangat ketakwaan dan bukan atas dasar sentimen kelompok tertentu. Sistem uqubat dalam Islam sangat menjamin penegakan hukum yang lebih adil karena sistem ini berasal dari Allah Swt.
Upaya perlindungan dari keluarga, kontrol sosial dari masyarakat, dan ketegasan negara dalam menerapkan syariat Islam, akan menciptakan sebuah negara yang aman dan nyaman untuk generasi muda. Tidak ada lagi anak-anak yang terpaksa putus sekolah dan harus bekerja mencari nafkah di negeri asing. Namun, negara dan masyarakat yang islami tidak mungkin terwujud dalam penerapan sekularisme maupun demokrasi. Oleh karena itu, wajib bagi kaum muslim untuk menegakkan syariat Islam kaffah dalam institusi Khilafah, agar tercipta negara yang mampu memberi rasa aman bagi seluruh generasi bangsa. Wallahu a’lam bishawab.[]
Kisah pilu anak manusia dalam sekapan demokrasi kapitalisme
semua akibat abainya negara dalam mengurusi urusan umat
Ya Allah
Anak-anak mendekam di penjara2 Indonesia saja tidak terbayangkan kengeriannya. Trauma yang bakal dihadapinya.
Apalagi ini anak-anak Indonesia berada di penjara orang dewasa di luar negeri pula. Tragisnya lagi, konjen Indonesia "mengabaikannya".
Negara sama sekali tidak memberikan perlindungannya.
itulah fakta yang diungkapkan oleh Colin Singer, saat menangani kasus anak WNI yang didekam dalam buih.
Negara ini sangat melimpah sumber daya alamnya. Sebenarnya cukup untuk menghidupi seluruh rakyatnya, tanpa harus pergi ke luar negeri untuk mengais rezeki. Sedih mendengar berita anak negeri diperlakukan secara tidak manusiawi di negeri orang. Bahkan banyak yang pulang tinggal nama. Maka butuh pengelolaan kekayaan negara dengan aturan Islam, agar dapat dinikmati oleh seluruh rakyat.
iya Mba.. jumlah tahanan anak-anak terus bertambah dari waktu ke waktu. namun, belum ada solusi fundamental dari negara ini.
Nelangsanya jadi anak-anak Indonesia yang kurang diperhatikan oleh negara. Kok tega para pejabat yang notabene perwakilan negara membiarkan anak-anak di penjara tanpa peduli nasib dan keselamatan mereka.
itu yang diherankan oleh Colin Singer juga Mba. koq bisa penguasa berlepas tangan, setelah mengetahui fakta miris ini.
Astaghfirullah miris! Semua 8ni akibat abainya negara terhadap perlindungan anak dan kesejahteraan masyarakat. Hanya sistem Islam yang mampu mengentaskan segala problematika kehidupan
benar Mba, kemiskinan membuat mereka harus mengarungi lautan lepas untuk mencari nafkah di negeri orang. miris