Konflik Agraria Terus Membara, di Mana Peran Negara?

Kasus Rempang

Dalam pandangan ini, persepsi oligarki lebih mendominasi dalam pembuatan kebijakan, sedangkan suara rakyat tidak menjadi pertimbangan bahkan cenderung diabaikan.

Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Konflik agraria masih menjadi salah satu problem pelik yang sulit untuk diselesaikan di era kepemimpinan Joko Widodo. Betapa tidak, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) memaparkan, memasuki tahun ke-9 masa kepemimpinan Joko Widodo dari kurun waktu 2015 sampai 2022, ada 2.710 konflik agraria yang terjadi di negeri ini.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengungkapkan, konflik tersebut berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan mencapai 1,7 juta keluarga korban terdampak yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tidak hanya itu, diskriminasi dan kriminalisasi rakyat juga mewarnai konflik agraria. Ada sekiranya 1.615 rakyat yang ditangkap karena ingin mempertahankan hak atas tanahnya (CNNIndonesia.com, 24/09/2023).

Konflik Agraria Sasar Seluruh Sektor

KPA mencatat, konflik agraria ini menyasar seluruh sektor, mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.

Akibat konflik ini membuat rakyat harus menjadi korban kebengisan para penguasa dan aparat yang lebih pro terhadap para pengusaha dan asing. Rakyat terpaksa meninggalkan tanah yang sejatinya adalah hak mereka. Akhir dari konflik agraria selalu rakyat yang menjadi tumbalnya. Buktinya, beberapa skandal agraria yang terjadi di negeri ini mengorbankan rakyat, seperti konflik di pulau Rempang yang sedang membara. Pasalnya, konflik ini berawal dari penolakan warga terhadap pembangunan proyek Rempang Eco-City. Pembangunan proyek tersebut dianggap akan membuat warga terancam terusir dari tanah kelahiran yang dihuni selama turun temurun. Warga menolak keras janji-janji manis ganti rugi yang dipersiapkan oleh perusahaan dan relokasi hunian tetap. Alhasil, benturan terjadi antara warga dan aparat TNI, Brimob, dan Polisi. Lagi-lagi, rakyat mendapatkan kriminalisasi dan diskriminasi, banyak anak-anak tak berdosa juga menjadi korban kebengisan para aparat. Selain itu, ada 43 warga demonstran yang ditangkap.

Konflik di atas hanya sedikit dari konflik agraria yang membuat rakyat menderita dan menjadi korban kezaliman rezim hari ini. Masih banyak konflik agraria lainnya, seperti pembangunan sirkuit Mandalika NTB yang menyisakan pilu bagi warga setempat, pembangunan tol Padang-Pekanbaru pada 2021 yang juga merampas hak tanah warga, proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang, Muna, Banten, dan beberapa konflik agraria di berbagai wilayah dan sektor lainnya.

Reforma Agraria, Solusi?

Salah satu program prioritas nasional yang ditingkatkan pada masa kepemimpinan Joko Widodo untuk mengatasi konflik agraria yaitu Reforma Agraria. Program ini memiliki tujuan untuk mengatasi ketimpangan penguasaan lahan dan menciptakan keadilan, serta mengatasi konflik agraria atau melakukan penataan ulang terhadap struktur penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah dalam rangka menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyat.

Namun, jika dilihat hingga saat ini, tujuan reforma agraria tampaknya masih menuai jalan buntu, bahkan gagal mengatasi konflik agraria. Buktinya, memasuki 9 tahun pemerintah Joko Widodo konflik agraria masih terus membara.

Baca juga :
1.https://narasipost.com/opini/12/2021/gurita-mafia-tanah-berantas-tuntas-dengan-syariat-kaffah/

2.https://narasipost.com/opini/12/2021/menggulung-mafia-tanah-negara-harus-berbenah-dengan-sistem-yang-amanah/

Yang terjadi justru penyelesaian konflik agraria kian terlihat nyata menafikan mandat konstitusional, baik undang-undang 1945, Pasal 33, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, serta UUPA 1960, TAP MPR No. IX/2001 yang mengatur tentang pengelolaan dan pengendalian sumber-sumber agraria dan kekayaan alam hanya untuk kesejahteraan rakyat. Pengurusan aset nasional, perindustrian, dan pengelolaan sumber daya alam sejatinya untuk kesejahteraan rakyat. Namun, pada praktiknya, semua aset tersebut justru dikuasai oleh segelintir oligarki, baik lokal maupun asing.

Nalar Elite Negara

Konflik agraria di atas nyatanya berhubungan erat dengan nalar elite negara dalam mengatur pengelolaan lahan dan sumber daya alam yang dianugerahkan di negeri ini. Perlu diketahui, problem mendasar berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat di negeri ini, yakni diterapkannya sistem kapitalis demokrasi. Sistem ini telah meniadakan pembuat hukum yang sesungguhnya yakni Allah Swt., menggantinya dengan akal manusia yang terbatas, serba kurang, dan lemah, serta mudah dipengaruhi hawa nafsu.

Berbagai program dan kebijakan-kebijakan politik negara senantiasa disusun di atas meja oleh segelintir orang demi kepentingan mereka sendiri, yang mengabaikan kondisi masyarakat di bawah. Dalam pandangan ini, persepsi oligarki lebih mendominasi dalam pembuatan kebijakan, sedangkan suara rakyat tidak menjadi pertimbangan, bahkan cenderung diabaikan. Ini sangat bertentangan dengan dasar demokrasi itu sendiri (dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat). Akibatnya, muncullah bentuk-bentuk politics of ignorance. Politik pengabaian terhadap nasib rakyatnya. Maka, tidak heran penyelesaian berbagai konflik, termasuk konflik agraria senantiasa hanya bertujuan untuk pemanis bibir, tanpa menyentuh akar masalahnya.

Inilah wajah penerapan kapitalis demokrasi. Negara tak ubahnya bagai boneka para oligarki untuk menyukseskan misi mereka. Tidak heran, jika berbagai kebijakan pun dibuat untuk menyambut kedatangannya. Berbagai undang-undang yang memberikan "karpet merah" bagi korporasi di negeri ini dipermudah, salah satunya, kebijakan Golden Visa yang pada 30 Agustus 2023 diterapkan.

Belum lagi, dengan berbagai program pemerintah yang sejatinya pro terhadap oligarki, seperti pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN), demi kesejahteraan masyarakat. Dengan dalih menyukseskan PSN, rakyat dipaksa keluar dari tanah kelahirannya hingga kehilangan mata pencariannya. Alhasil, nasib rakyat harus terlunta-lunta, kehilangan mata pencarian dan harus rela menjadi buruh dengan upah minimum. Nalar elite politik dalam sistem kapitalis dibuat di luar kendali. Negara difungsikan hanya sebagai regulator, bukan periayah rakyat.

Pengaruhi Swasembada Pangan

Tak dimungkiri, bahwa konflik agraria juga berdampak pada sektor swasembada pangan, hingga akhirnya belakangan ini krisis pangan mengancam negeri. Sebagaimana, Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menuturkan, perampasan tanah dari petani menjadi salah satu pemicu terjadinya krisis pangan dan hilangnya kedaulatan petani.

Perampasan lahan petani yang dilakukan, baik oleh para pemilik modal maupun penguasa dengan dalih menyukseskan Proyek Strategi Nasional (PSN), nyatanya telah membuat negeri ini kehilangan para petaninya. Alih fungsi lahan pertanian menjadi lahan nonpertanian, mulai dari industri, pemukiman, infrastruktur, dan lainnya, ditambah dengan negara yang berlepas tangan untuk membantu menyediakan berbagai keperluan para petani mulai dari pupuk, bibit unggul, saluran irigasi, dan bendungan menjadikan produksi pangan kian menurun.

Sebagaimana, Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya penurunan produksi beras sebagai bahan pokok utama rakyat. Sepanjang Januari-September 2023 produksi beras diproyeksikan sebesar 25,64 juta ton. Angka ini menurun dibanding dengan produksi beras tahun lalu pada periode yang sama, yakni sebesar 26,17 juta ton.

Kesalahan tata kelola pertanian membuat negeri ini dalam ancaman krisis pangan, padahal negeri ini adalah negeri agraris yang memiliki sumber-sumber agraria sangat melimpah ruah. Namun, akibat penerapan ekonomi kapitalis membuat negeri kaya menjadi miskin. Penguasa lebih memilih untuk melakukan kebijakan impor pangan dari pada memanfaatkan lahan pertanian negeri ini yang subur. Padahal, impor pangan memiliki bahaya yang terselubung bagi negeri ini, yakni hilangnya kemandirian bangsa dalam memproduksi pangan sendiri.

Hukum Tanah dalam Islam

Patut diketahui, dalam perspektif Islam, filosofi kepemilikan tanah terbagi menjadi dua:

Pertama, segala sesuatu yang ada di dunia ini, termasuk tanah pada hakikatnya adalah milik Allah Swt. Sebagaimana firman Allah, "Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan kepada Allah-lah tempat (kembali seluruh makhluk)" (TQS. An-Nuur : 42).

Kedua, Allah sebagai pemilik sah dari tanah telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelolanya, sebagaimana firman Allah, "Dan infakkanlah sebagai dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu penguasanya" (QS. Al-hadid : 7). Dari filosofi tanah ini, maka bisa disimpulkan bahwa dalam pengelolaan tanah tidak boleh digunakan hukum lain, selain hukum Allah. Sebab, Allah pemilik tanah yang sesungguhnya.

Kemudian, Islam juga mengatur kepemilikan tanah secara detail sesuai hukum syarak dengan mempertimbangkan 2 aspek. Pertama, dari zat tanah tersebut. Kedua, dari kegunaan tanahnya, seperti digunakan untuk pertanian, dan lainnya. Sedangkan, terkait kepemilikan lahan tanah, maka harus diteliti terlebih dahulu, apakah dia tanah ’usyriyyah atau tanah kharajiyah. Sebab, kedua jenis tanah tersebut akan menjadi dasar hukum dalam pengelolaan tanah oleh negara.

Menurut, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya Sistem Ekonomi dalam Islam, tanah dapat dimiliki dengan 6 cara yaitu,

  1. Jual beli
  2. Waris,
  3. Hibah,
  4. Menghidupkan tanah mati
  5. Tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan
  6. Iqtha (pemberian negara kepada rakyat).

Terkait perolehan tanah dengan cara menghidupkan tanah mati, maka Islam telah menjelaskan secara rinci. Tanah mati adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut dan tidak terdapat tanda-tanda pemanfaatan oleh seorang pun, seperti adanya batas dan tanaman. Maka, tanah tersebut bisa dimiliki oleh siapa pun yang ingin memilikinya dengan cara memagarinya, bercocok tanam, membersihkannya, mendirikan bangunan, dan selainnya.

Islam juga menetapkan hukum kepemilikan tanah. Selama tanah tersebut dikelola, baik itu dijadikan lahan pertanian maupun hunian, maka lahan itu menjadi hak miliknya. Tidak boleh orang lain, atau negara sekali pun melakukan penyerobotan, atau mengusir paksa pengelola tanah. Selama dia mengikuti koridor hukum-hukum kepemilikan tanah, maka tanah itu akan menjadi miliknya selamanya. Namun, jika dia menelantarkan tanah itu selama 3 tahun berturut-turut, tanah itu akan diambil oleh negara ataupun negara memberikan kepada siapa saja yang mampu mengelolanya. Pencabutan hak tanah bukan hanya dari tanah yang diperoleh dengan cara menghidupkan tanah mati, namun seluruh tanah yang ditelantarkan 3 tahun berturut-turut, maka kepemilikan tanah itu dicabut oleh negara.

Negara boleh mengambil tanah untuk kemaslahatan rakyat, namun dengan keridaan pemilik tanah. Tentunya negara memberikan ganti rugi yang sepadan. Jika pemilik tanah tidak rida, negara tidak boleh memaksa rakyat meninggalkan tanahnya, apalagi melakukan kekerasan. Dengan mekanisme kepemilikan dan pengelolaan tanah yang bersandar pada sistem Islam, maka konflik agraria tidak akan terjadi.

Islam Wujudkan Swasembada Pangan

Begitu juga dalam swasembada pangan. Islam mewajibkan seorang khalifah untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan, dan keamanan. Dengan sistem ekonomi Islam, negara kaya SDA dan subur, seperti Indonesia akan mampu melakukan swasembada pangan.

Dalam Islam, negara tidak boleh membiarkan ada tanah pertanian yang mati. Seluruh tanah pertanian akan dikelola oleh negara demi kemaslahatan rakyat. Negara membantu menyukseskan produksi pangan dengan menyediakan sarana dan prasarana pertanian. Seperti menyediakan bibit unggul, pupuk murah bahkan gratis, membangun bendungan, kincir angin, juga penelitian-penelitian untuk menunjang kemajuan di bidang pertanian. Pengelolaan pertanian dengan sistem Islam, akan menjadikan rakyat sejahtera. Negara pun tidak perlu melakukan impor pangan lagi. Wallahu A'alam Bissawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com
Siti Komariah Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Menilik Badai Perceraian yang Kian Tak Terbendung
Next
Kedaulatan di Tangan Rakyat? Tak Berlaku untuk Rempang
4 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

7 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dia dwi arista
Dia dwi arista
1 year ago

Wah runut nih tulisannya

Sherly
Sherly
1 year ago

Barakallah, mbak ❤️❤️❤️

Dyah Rini
Dyah Rini
1 year ago

Para penguasa negeri ini harusnya takut dengan ancaman Allah, " Barang siapa yang mengambil sesuatu yang bukan haknya, walau hanya sejengkal tanah, maka Allah di hari kiamat nanti akan mengkalungkannya tujuh lapis langit."

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Maraknya konflik agraria adalah wujud kesalahan tata kelola pertanahan oleh negara di bawah asuhan sistem kapitalisme. Konflik ini akan terus ada dan terus mengorbankan rakyat.

Siti Komariah
Siti Komariah
Reply to  Sartinah
1 year ago

Bener mba. Undang-undang yang dibuat juga selalunya dilangar penguasa

Sherly
Sherly
1 year ago

Naskahnya keren. Barakallah ❤️

Semoga Islam kembali tegak di muka bumi membawa rahmat ke seluruh alam. Hingga semua konflik termasuk konflik agraria bisa terselesaikan ..

Siti Komariah
Siti Komariah
Reply to  Sherly
1 year ago

Aamiin ya rabbal aalaamiin.

bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram