Tak heran, konsekuensi logis diaplikasikannya sistem kapitalisme, membuat negara abai terhadap hak lingkungan dan kesehatan manusia.
Oleh. Witta Saptarini, S.E.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Life in plastic, it’s so fantastic. Begitulah, sepenggal lirik dari single ikonik milik band Aqua asal Kopenhagen, Denmark. Lagu ini booming dan popular hingga hari ini, dengan hits “Barbie Girl”, mengisahkan peradaban manusia plastik alias dunia barbie, hidup dalam plastik, penuh khayalan, dan serba menakjubkan. Namun, dalam kehidupan nyata reputasi plastik kian memburuk, bahkan telah menjadi isu global selama puluhan tahun. Pasalnya, potensi ancaman partikel mikroplastik yang terkandung di dalamnya, telah mencemari satu-satunya planet yang layak huni bagi peradaban manusia.
Mikroplastik di Awan
Para ilmuwan dari berbagai negara, telah mengonfirmasi hasil kajian ilmiahnya terkait temuan polusi mikroplastik. Ternyata, tak hanya terkonsentrasi di wilayah padat penduduk, sungai, laut, dan pengunungan. Namun, sudah tersebar di hampir setiap penjuru bumi. Bahkan, hingga zona yang dianggap paling murni di dunia, yakni wilayah Arktik (kutub utara) dan Antartika (kutub selatan). Ya, bumi telah terkepung mikropkastik. Kini, para peneliti lebih fokus pada invisible plastic in the air, alias plastik tak kasatmata di udara, seiring temuan terbaru ilmuwan Jepang, di mana mikroplastik telah terdeteksi di awan. Dari hasil pendakiannya ke Gunung Oyama dan Fuji, melalui teknik pencitraan mutakhir, teridentifikasi sembilan jenis polimer, satu macam karet, dan 6,7 hingga 13,9 lempengan plastik per liter air awan (kabut) yang menyelimuti puncak keduanya. Fakta ini mengisyaratkan wajibnya penanganan secara proaktif, agar tidak membawa efek berkelanjutan, yakni perubahan iklim dan risiko ekologis akut. (CNN Indonesia, 29/9/2023)
Seberapa Bahayakah Mikroplastik?
Plastik mikro atau mikroplastik, diklasifikasikan sebagai plastik berukuran 5 milimeter hingga 1 nanometer, yakni limbah plastik yang tidak benar-benar terdegradasi sempurna, tetapi berubah menjadi partikel plastik berukuran mikro. Sebab, untuk dapat terurai secara alami, dibutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun. Mikroplastik sering kali berasal dari polutan sumber bahan produk pembersih, keausan alami barang-barang plastik, seperti kantong plastik sekali pakai, botol plastik, alat makan, dan serat plastik dari pakaian.
Bisophenol A (BPA) dan phthalate (DEHP), merupakan senyawa yang terkandung di dalam plastik. Menurut data National Institutes of Health U.S., sebuah studi tahun 2018, “Airborne microplastics: Consequences to human health ?”, telah memaparkan terkait reaksi dan efek yang berarti pada tubuh. Di antaranya, melukai sistem pernapasan, merusak sistem reproduksi dan hormonal, stres oksidatif alias overload radikal bebas, dan translokasi. Bahkan, bersifat karsinogenik hingga kematian, apabila terakumulasi dalam jangka panjang di tubuh.
Dr. Deonie Allen, dari University of Strathclyde, Glasgow, Scotland, telah melakukan ekspedisi besar di seluruh dunia. Dalam salah satu studinya, “Atmospheric transport and deposition of microplastics in a remote mountain cathment”, menemukan adanya mikroplastik di daerah terpencil, pegunungan Pyrenees, Prancis. Bahwasanya, ukuran mikroplastik yang super kecil membuatnya mudah tersapu angin, lalu terangkat ke atmosfer, serta terbawa ke mana pun sebelum akhirnya turun kembali. Mikroplastik bisa bertahan satu jam hingga sepekan di udara.
Ya, mikroplastik telah mencemari segalanya, termasuk biota laut, turut menjadi fokus utama para ilmuwan. Pasalnya, sumber pangan biru (blue food) alias seafood yang merupakan bagian rantai makanan, akan menelan plastik bersamaan dengan unsur kimia beracun di dalamnya, kemudian berakhir di dalam hidangan kita. Hal yang menjadikan plastik poisonous dan dangerous, adalah cara plastik itu terurai, yakni membentuk partikel kecil bergerigi, bersifat reaktif membawa pulutan, racun, bahan kimia, virus, dan bakteri yang terkandung di dalamnya. Saat ini, serat-serat plastik mikro beterbangan di udara, hampir mustahil disterilkan. Deonie mengatakan, satu-satunya solusi realistis adalah menekan jumlah produksi.
Perjalanan Plastik
Pada awalnya kantong plastik diciptakan justru untuk menyelamatkan bumi. Pada tahun 1959, Sten Gustav Thulin seorang ilmuwan Swedia, menciptakan kantong plastik sebagai pengganti bahan kantong kertas alias bioplastik, yang berasal dari selulosa pada tumbuhan, salah satu plastik buatan manusia pertama di tahun 1859. Namun, pada akhirnya plastik konvensional alias plastik berbahan fosil kembali mengambil alih, dengan tujuan digunakan berkali-kali, disebabkan banyaknya penebangan pohon di era itu.https://narasipost.com/world-news/10/2023/ancaman-tak-kasat-mata-mengancam-jiwa/
Data dari studi CSIRO Oceans and Atmosphere Flagship, menjelaskan bahwa 325 juta metrik ton plastik diproduksi setiap tahun di seluruh dunia, setiap 11 tahun jumlah plastik meningkat 2 kali lipat. Namun, lagi-lagi optimisme plastik konvensional tidak bertahan lama, sejak terlihat kepingan plastik pertama kali sekitar tahun 1960 di lautan. Seiring kesadaran isu lingkungan, kini keberadaan limbah plastik mulai meresahkan.
Saat ini, para inovator dan ilmuwan kembali berinovasi mengembangkan bioplastik yang diharapkan menjadi plastik masa depan dengan zat yang ramah lingkungan, berasal dari biomassa, seperti tebu, singkong, dan kentang. Namun, fakta yang mengejutkan, tidak semua bioplastik yang diharapkan sebagai future plastic, dapat dengan mudah terdegradasi berubah menjadi tanah secara hayati alias biodegradable. Pasalnya, tanaman yang digunakan untuk bioplastik membutuhkan tanah dan air yang tak sedikit, meninggalkan jejak karbon yang besar, menggeser budi daya tanaman pangan, serta mencemari lingkungan dengan pestisida. Maka, klaim minimnya efek gas rumah kaca yang ditimbulkan, menjadikannya secara teoretis alternatif yang lebih ramah lingkungan, namun tetap menimbulkan masalah yang sama dengan plastik berbahan fosil. Sehingga bukan menjadi solusi sempurna.
Tak dimungkiri, dalam sejarah perjalanannya, penggunaan plastik pun berhasil menggantikan baja di mobil, kertas dan kaca pada kemasan, serta kayu pada funitur. Meski tumbuh ketidakpercayaan, di satu sisi keberadaannya pun sangat penting untuk kehidupan modern. Sebab plastik memungkinkan pengembangan komputer, ponsel, serta sebagian besar kemajuan teknologi medis modern. Namun, di sisi lain pemanfaatan dan produksi plastik mulai di luar kendali. Sehingga, menjadikannya salah satu polusi yang berbahaya bagi bumi.
Kapitalisme Mengabaikan Hak Lingkungan
Meningkatnya polusi plastik secara global disebabkan buruknya pengelolaan dan lemahnya regulasi, sehingga tingkat penggunaan dan produksi plastik menjadi tak terkendali. Selain praktis, plastik sangat digemari karena harganya yang relatif murah, dan mudah didapatkan. Namun, sifatnya yang tidak mudah rusak membuatnya sulit terurai, sehingga tidak eco friendly. Alhasil, kerusakan yang disebabkannya tidak bisa dilepaskan dari bagaimana cara manusia mengelola bumi. Negara yang berkiblat pada sistem kapitalisme menjadikan pembangunan industri sebagai salah satu fokus ekonominya. Di bawah kendalinya, pembangunan industri berkelanjutan menimbulkan masalah limbah hasil produksi, dalam wujud padat, cair, hingga gas. Perusahaan hanya berorientasi pada pencapaian keuntungan maksimal dengan modal seminimal mungkin, tidak ingin dipusingkan dengan ancaman dampak pada kesehatan akibat limbah yang dihasilkan. Faktanya, pencemaran lingkungan akibat limbah plastik kian meresahkan, bagaimana nasib bumi beberapa tahun mendatang?
Inilah bukti, tidak berjalannya fungsi otoritas secara optimal, banyak hak lingkungan yang terabaikan. Di antaranya, tak ada regulasi tegas terkait pembatasan produksi dan penggunaan kantong plastik, pertimbangan ilmiah terkait model substitusi yang dapat dijustifikasi secara ilmiah, serta pengelolaan dan pengolahan pascapakai. Tak heran, konsekuensi logis diaplikasikannya sistem kapitalisme, membuat negara abai terhadap hak lingkungan dan kesehatan manusia. Sebaliknya, negara hanya berpihak pada korporasi atau pengusaha yang terefleksi melalui kebijakan yang memfasilitasi kepentingan korporasi, yakni sarat kepentingan bisnis. Karenanya, negara selalu hadir menjadi perisai korporasi agar tetap aman beroperasi.
Islam Menunaikan Hak Lingkungan
Dari perspektif Al-Qur’an yang universal tentang alam semesta, menegaskan adanya korelasi yang kuat dan timbal balik antara manusia dan unsur-unsur semesta. Karenanya, jika manusia berulah, serta memanfaatkan unsur-unsur habitat dengan membabi buta. Maka, secara refleks akan menyebabkan kerusakan. Oleh sebab itu, Islam menjadikan prinsip dasar, bahwasanya setiap manusia yang hidup di atas muka bumi, tidak membawa kerusakan dalam bentuk apa pun pada alam semesta ini. Sebagaimana yang ditegaskan Rasulullah saw., dalam hadis yang diriwayatkan Ahmad, “ Tidak ada kerusakan, tiada pula ada bahaya”. Kemudian, syariat Islam pun menyertainya dengan mekanisme kewaspadaan terhadap pencemaran sebagai bentuk penjagaan lingkungan. Maka, dalam konteks ini, Islam akan menindak tegas bagi industri yang menghasilkan limbah berbahaya bagi kehidupan.
Industri dalam Islam diciptakan semata untuk kemaslahatan umat, sedangkan industri ala kapitalis berorientasi pada kepentingan korporat. Tak heran, aturan yang bersumber dari lemahnya akal manusia, hanya menimbulkan mudarat. Maka, Islam tak hanya mengaplikasikan prinsip reduce, reuse, recycle dalam skala individu dan komunitas. Melainkan, mewujudkanri’ayah yang optimal oleh negara, dalam institusi Khilafah, yang menjadikan syariat Islam secara komprehensif, sebagai landasan sistem pemerintahannya, serta solusi atas segala persoalan. Berikut gambaran tata laksana khalifah, dalam menunaikan hak lingkungan terkait masalah limbah. Di antaranya, khalifah wajib melegalisasi regulasi yang tepat dan konsisten terkait industry life cycle plastik, dari hulu hingga hilir. Lalu, membangun fasilitas dan menciptakan teknologi mutakhir pengolahan limbah plastik, serta membiayai operasionalnya, termasuk dalam hal mitigasi limbah tercemar.
Kemudian, khalifah dapat menerapkan salah satu alternatif teknologi plastic to oil conversion. Yakni, proses depolimerisasi senyawa polimer hidrokarbon yang terkandung dalam plastik, untuk dikembalikan menjadi unsur kimia hidrokarbon, dalam konteks ini minyak dan gas sintetis. Selain efektif memusnahkan limbah plastik, pun dapat meningkatkan nilai gunanya. Dengan mekanisme ini, setiap makhluk di muka bumi, akan menemukan kehidupan sesuai fitrahnya. Bumi pun terjaga dari kerusakan atas nama keserakahan. Sehingga, terwujud peradaban minim plastik dan kehidupan yang fantastic.
Wallahu a’lam bish-shawab.[]
Masya Allah tulisan ini sangat layak dibaca semua orang, agar melek lingkungan. Bahwa ada bahaya terselubung di balik produk plastik yang bertebaran di muka bumi. Bahwa alam juga punya hak untuk dilindungi sebagaimana makhluk ciptaan Allah yang lain. Keren Mbak
Jazaakillah khayran mba☺️
Semakin ngeri ya membaca fakta kerusakan dan pencemaran bumi ini akibat penerapan kapitalisme. Sedihnya lagi, banyak masyarakat yang memang masih belum tahu bahaya membuang plastik serampangan.
MasyaaAllah. Tulisan yang mestinya dibaca oleh para pengagung kapitalis. Bumi hijau adalah ilusi selama menerapkan sistem rakus tsb