Mengakhiri Konflik Tanah dengan Sertifikat, Efektifkah? 

sertifikat tanah

Allah menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk tanah. Maka, pemilik sesungguhnya dari tanah adalah Allah Swt. Karena tanah merupakan milik Allah, maka dalam menentukan status kepemilikan tanah harus berdasarkan aturan-Nya.

Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Tanah sering kali menjadi sumber konflik. Ketidakjelasan status kepemilikan tanah/lahan membuat klaim atasnya mudah dibuat siapa saja yang berkepentingan dan punya uang. 

Konflik tidak hanya terjadi di antara sesama warga masyarakat, tetapi juga antara rakyat dengan korporat, apparat, atau pemerintah sendiri. Kebanyakan, rakyat kecillah yang dipersalahkan dan dikalahkan dalam konflik tanah ini.

Tanah Adat 

Konflik juga turut mengenai tanah adat. Tanah yang telah lama dihuni dan dimanfaatkan oleh masyarakat ini diambil alih untuk berbagai kepentingan. Masyarakat yang tinggal di dalamnya harus pindah ke tempat lain karena dianggap hanya menumpang, bukan memilikinya. Mereka tidak punya surat yang membuktikan kepemilikan atas tanah.

Menurut Ketua LBH Pelita Umat, Chandra Purna Irawan, tanah adat adalah tanah yang digarap dan ditinggali secara turun-temurun. Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) 24/1997 Pasal 24 ayat (2), seseorang yang menguasai fisik tanah selama kurun waktu 20 tahun secara terus-menerus maka berpotensi menjadi pemilik tanah yang dimaksud. Negara harusnya mengeluarkan sertifikat kepemilikan atas nama masyarakat adat. Chandra juga mengatakan bahwa merujuk Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, hutan yang berada di wilayah adat bukan lagi milik negara dan pemerintah. Masyarakat adatlah yang memiliki hak penuh atas tanah, wilayah, dan sumber daya alam yang ada. Pengakuan ini merupakan hak asasi yang melekat pada masyarakat adat dan dijamin oleh UUD 1945 dan Undang-Undang Agraria No. 5 tahun 1969 mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. (mediaumat.id, 17/9/2023)

Pada dasarnya, tanah adat bukanlah tanah tanpa pemilik. Masyarakat setempat yang telah menghuni dan mengolahnya selama ini merupakan pemilik tanah tersebut. Negara seharusnya melindungi tanah adat dari tindakan perampasan atau penyerobotan oleh pihak mana pun.

Sertifikat untuk Tanah Adat 

Untuk menghindari terjadinya konflik lahan, anggota Komisi II DPR, Endro Suswantoro, mengusulkan kepada pemerintah agar membuat sertifikat tanah masyarakat adat seperti kawasan budaya. Sertifikat tersebut bukan atas nama perorangan karena bisa memicu keretakan sosial. Melainkan, sertifikat tanah khusus untuk masyarakat adat agar tidak ada pihak lain yang merebutnya. (ekonomi.bisnis.com, 30/9/2023)

Dalam sistem kapitalisme sekarang, kepemilikan tanah disahkan dengan sertifikat. Meskipun telah menempati suatu tanah selama bertahun-tahun, tetapi jika tidak punya sertifikat, maka dianggap tidak berhak. Pihak-pihak lain akan mengeklaimnya sehingga timbullah konflik. 

Namun, memiliki sertifikat tanah ternyata juga bukan sebuah jaminan. Kepastian hukum atas tanah sangat rendah dalam sistem ini. Tak heran jika kemudian muncul masalah seperti adanya sertifikat ganda, penguasaan lahan secara sepihak oleh korporasi, penggusuran tanah milik rakyat untuk kepentingan korporasi, atau penggusuran tanah untuk kepentingan umum tanpa ganti kerugian yang layak. 

Akar Konflik Tanah 

Status kepemilikan tanah dalam sistem kapitalisme memang tidak jelas. Sistem ini tidak mengatur mana tanah yang boleh dimiliki individu, tanah milik umum, dan tanah milik negara. Semua tanah dianggap milik negara dan negara bisa mengalihkan pengelolaannya kepada pihak lain atau swasta. 

Begitu pula dengan tanah adat. Tanah ini dianggap milik negara meskipun masyarakat telah menempatinya secara turun-temurun. Negara merasa berhak atas tanah adat sehingga bisa melakukan apa saja, termasuk menjual atau menyerahkannya kepada korporasi untuk dikelola.  

Status kepemilikan tanah dalam sistem ini juga mengharuskan disandarkan pada legalitas formal seperti sertifikat. Seseorang dianggap sah menjadi pemilik tanah jika telah memiliki sertifikat. Sementara, dalam pengurusan administrasi status kepemilikan tanah sering kali terjadi penyalahgunaan jabatan dan praktik curang seperti mafia tanah.https://narasipost.com/opini/10/2023/kapitalisasi-agraria-di-balik-proyek-rempang-eco-city/

Peran negara sebagai pelayan rakyat telah berganti menjadi regulator dan fasilitator untuk kepentingan pemilik modal. Kebijakan dibuat demi memuluskan jalan kapitalis menguasai aset-aset publik. Sementara, urusan rakyat dibiarkan. Bahkan, saat terjadi konflik, rakyat seakan tidak mendapat pembelaan dan cenderung dipersalahkan. Posisi rakyat makin tak berdaya di hadapan kekuatan modal. 

Itu semua akibat dari penerapan sistem kapitalisme neoliberal. Sistem yang rusak dari akarnya ini telah menghasilkan aturan yang menimbulkan kekacauan. Selain itu, sistem kapitalisme juga melahirkan pejabat yang tidak amanah dan zalim. Hal ini masih diperparah lagi dengan penegakan hukum yang lemah dan diskriminatif. Di mana hukum berpihak pada pemilik modal dan keras pada rakyat kecil. 

Kasus Rempang menjadi bukti di mana rakyat berada dalam sisi yang lemah dan tanpa perlindungan. Begitu pula kasus Wadas beberapa waktu lalu juga menunjukkan kesewenang-wenangan kekuasaan. Keduanya hanya segelintir contoh konflik lahan di mana rakyat menjadi korban tindakan represif dari aparat dan pemerintahnya sendiri. 

Pengaturan Tanah dalam Islam 

Allah menciptakan alam semesta beserta isinya, termasuk tanah. Maka, pemilik sesungguhnya dari tanah adalah Allah Swt. Manusia bisa memiliki tanah atas izin-Nya. Syariat telah menetapkan cara-cara bagaimana manusia bisa memiliki tanah. Cara tersebut adalah melalui jual beli, waris, hibah, ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati), tahjir (membuat batas pada tanah mati), dan iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat).

Karena tanah merupakan milik Allah, maka dalam menentukan status kepemilikan tanah harus berdasarkan aturan-Nya. Tidak semua tanah boleh dimiliki. Ada tanah yang tidak boleh diklaim oleh individu tertentu karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Islam membagi kepemilikan tanah menjadi tiga, yaitu tanah milik individu, tanah milik umum, dan tanah milik negara.

Tanah milik individu adalah tanah yang boleh dimiliki oleh individu tertentu. Contohnya adalah lahan pertanian, ladang, kebun, dsb. Individu boleh memperjualbelikan, menghibahkan, mewariskan, dsb.

Tanah milik umum adalah tanah yang di atasnya atau di dalamnya terdapat harta milik umum seperti hutan, tambang, dsb. Tanah ini milik bersama dan dikelola oleh negara sehingga semua orang bisa memanfaatkannya. Tanah ini tidak boleh dikuasai oleh individu atau swasta/korporasi karena akan menghilangkan akses rakyat untuk mendapatkan manfaat darinya. Penguasaan tanah milik umum oleh individu atau swasta adalah tindakan zalim dan melanggar hak. Penguasaan ini juga bisa memicu konflik. 

Tanah milik negara adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tanah yang di atasnya ada harta milik negara. Contohnya adalah tanah tempat berdirinya gedung pemerintahan atau bangunan milik negara lainnya.

Kejelasan status kepemilikan tanah akan menghilangkan konflik yang selama ini sering terjadi dalam sistem kapitalisme. Kepemilikan tanah dilindungi oleh syariat. Orang tidak akan merampas tanah orang lain karena paham bahwa hal tersebut adalah pelanggaran terhadap hak dan bertentangan dengan syariat. Ada sanksi tegas jika melanggar aturan tersebut.

Perampasan lahan adalah perbuatan gasab dan zalim. Hukumnya haram menurut syariat. Allah melarang untuk memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil seperti itu, termasuk menyuap penguasa agar bisa memuluskannya dalam mengambil hak milik orang lain. Larangan mengambil hak orang lain ini secara tegas disebutkan dalam surah Al-Baqarah ayat 188:

 وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Janganlah kalian makan harta di antara kalian dengan cara yang batil dan jangan pula kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa. Padahal kalian tahu.” 

Pelaku perampasan tanah orang lain akan mendapat siksaan keras di Hari Akhir nanti. Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam telah mengancam pelaku perampasan dalam hadis muttafaq ‘alaih:  

مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ

“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” 

Ada atau tidak adanya sertifikat tanah, semua orang akan menghormati tanah orang lain. Tidak ada yang berani melanggar. Tidak pula mereka yang berkuasa atau bermodal besar bisa sewenang-wenang menguasai tanah demi kepentingannya sendiri. 

Pemilik tanah juga tidak akan membiarkan tanahnya terlantar. Ia akan mengolahnya dengan berbagai cara yang diperbolehkan syariat. Ketika ada tanah dibiarkan saja selama lebih dari tiga tahun oleh pemiliknya, maka tanah tersebut bukan lagi menjadi miliknya. Haknya atas tanah telah hilang atau tercabut. Tanah itu menjadi milik negara dan bisa diberikan kepada orang lain yang mampu mengelolanya. 

Mekanisme ini juga akan menjadikan tanah selalu produktif. Tidak ada tanah yang menganggur atau telantar. Rakyat pun mendapatkan manfaat dari tanah yang dikelolanya.

Negara Hadir 

Butuh peran penting negara untuk memastikan sistem berjalan dengan baik. Negara sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam mengatur dan mengurus segala urusan rakyatnya. Negara benar-benar hadir sebagai pelayan dan pelindung bagai setiap jiwa yang berada dalam pengurusannya. 

Negara tidak akan tunduk pada kepentingan pemilik modal ataupun membuat kebijakan yang membuat rakyatnya menderita. Negara bukan regulator bagi kepentingan pemilik kapital. Namun, sebagai penjaga kepentingan rakyat. Negara menjamin apa yang menjadi hak milik rakyat akan dijaga dengan baik. Tanah yang sudah dihuni dan dimanfaatkan oleh rakyat, maka itu menjadi milik rakyat. Tanah tersebut tidak bisa direbut oleh siapa pun meskipun tidak ada sertifikatnya. Bahkan, negara sekalipun tidak bisa mengambilnya tanpa seizin dari si pemilik tanah.

Sebagai contoh adalah yang pernah terjadi di masa Khalifah Umar bin Khaththab. Kala itu beliau ingin memperluas Masjid Nabawi. Perluasan masjid ternyata terhalang oleh seorang Yahudi yang tidak merelakan tanahnya untuk digusur. Khalifah Umar tidak memaksa warga tersebut untuk menjual tanahnya. Beliau menunggu hingga ahli warisnya bersedia menjualnya.

Negara juga tegas menerapkan hukum. Ketika terjadi penyerobotan atau perampasan tanah orang lain secara zalim, maka pelaku akan ditindak sesuai dengan hukum syariat. Tidak ada tebang pilih atau diskriminasi hukum. Siapa yang bersalah akan mendapatkan sanksinya.

Inilah kemasalahatan yang diperoleh manusia ketika syariat ditegakkan. Hak atau kepemilikan setiap individu terjaga. Tanah akan terus berada dalam kepemilikan yang jelas dan memberi manfaat pada masyarakat.

Namun, semua itu hanya terjadi bila syariat Islam diterapkan secara menyeluruh oleh negara. Dengan penerapan Islam sebagai satu-satunya sistem kehidupan yang diridai oleh Sang Khalik, maka segala konflik dan penderitaan akibat sistem ruwet buatan manusia bisa dihentikan. Karena itu, kembali pada sistem hakiki ini adalah jalan yang seharusnya kita tempuh dan perjuangkan.

Khatimah 

Allah menciptakan alam semesta untuk bisa memberi manfaat pada manusia. Tentunya pemanfaatannya harus sesuai dengan titah-Nya. Ketika segala sesuatu dilakukan dengan mengabaikan aturan-Nya, maka yang terjadi adalah kekacauan dan konflik yang membawa kesengsaraan. Sebaliknya, ketika manusia menjalankan sesuai dengan perintah-Nya, maka kemaslahatan akan melingkupinya.

Wallahu a’lam bishshawwab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Deena Noor Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Previous
Angka Perceraian Meningkat dan Rapuhnya Keluarga Muslim
Next
Bumi Terkepung Mikroplastik : It’s Not a Barbie World 
3 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

6 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Mimi muthmainnah
Mimi muthmainnah
1 year ago

Kepemilikan tanah di sistem kapitalis bikin ketar ketir, ketika penguasa dan korporasi bernafsu memiliki lahan tersebut berbagai cara akan mereka tempuh. Realitas sy alami sendiri ketika mereka incar tanah kami utk arena proyek mendulang batu bara. Sementara kami enggan menjualnya. Mereka dg licik isolasi tanah, mau gak mau kami terpaksa jual ke mereka dg harga murah.Tiap hari kami lihat batu bara di angkut di atas kompeyer. Dan hutan kami rusak parah. Dan ini hampir merata di kalimantan Prihatin tapi apa daya. Sepanjang Khilafah belum tegak sepanjang itu pula mereka tamak, rakus dan serakah akan harta umat. Muak dg sistem Kapitalis yg tak punya hati.

Suryani
Suryani
1 year ago

Barakallah mba Nur..tulisannya mantul

Dyah Rini
Dyah Rini
1 year ago

Tertarik dengan diksi "Rakyat kecil disalahkan dan dikalahkan." Benar Mbak..karena dalam sistem kapitalisme berlaku hukum rimba, siapa yang kuat dia lah yang menang. Maka sistem kapitalisme itu sangat ridak manusiawi. Terkait masalah tanah, manusia bisa dipindah- pindah seperti barang, ketika tanah tempat tinggalnya menjadi incaran korporat.

Novianti
Novianti
1 year ago

Tanah diambil buat pengusaha dengan mengorbankan ribuan rakyat. Inilah yang banyak terjadi saat ini. Rakyat harus segera melek ttg pengaturan tanah dalam Islam agar semangat berjuang menerapkan Islam kaffah makin menggema

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Yah ... begitulah fakta di negeri ini. Semua yang menyangkut kepentingan rakyat terus dikalahkan oleh kepentingan para korporat. Perampasan tanah oleh negara akan terus dipertontonkan sampai masa-masa mendatang.

Mariyah Zawawi
Mariyah Zawawi
1 year ago

Begitulah nasib rakyat kecil, hanya jadi korban keserakahan pemburu harta tujuh turunan.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram