Apa yang terjadi pada Ghana adalah bukti nyata bahwa IMF tidak benar-benar memberi pinjaman uang untuk menyelamatkan perekonomian Ghana. Sebaliknya, IMF melanggengkan kedudukan negara-negara Barat sebagai kapitalis global demi menguasai negara-negara berkembang.
Oleh. Muthiah Al Fath
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com& Penulis Meraki Literasi)
NarasiPost.Com-Saat ini Ghana berada di ambang kehancuran akibat tekanan utang yang teramat besar. IMF sebagai kreditur internasional digadang-gadang sebagai biang kerok krisis yang menimpa negeri Black Star. Tak ayal, bayang-bayang kemiskinan dan kegagalan ekonomi mulai menghantui negeri produsen emas terkemuka di Afrika tersebut.
Sejak Desember 2022, pemerintah Ghana resmi menjadi negara bangkrut setelah gagal membayar utang kepada kreditur internasional. Terakhir, Presiden Nana Akufo-Addo telah meminjam uang kepada IMF (International Monetary Fund) sebesar $3 miliar (Rp46,50 triliun). Sejak memperoleh kemerdekaan pada 1957, Ghana telah berutang sebanyak 17 kali kepada IMF. (Detik.com, 2-10-2023)
Kemerosotan perekonomian yang menimpa Ghana mengejutkan banyak pakar ekonomi. Pasalnya, Ghana pernah menjadi salah satu negara di Benua Afrika Barat yang pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politiknya menjadi panutan di Afrika. Banyak pihak mempertanyakan, bagaimana bisa negara yang pernah dicap sebagai mercusuar demokrasi dan pernah dipuji sebagai binaan IMF yang sukses justru mengalami kebangkrutan. Lantas, apa yang menyebabkan perekonomian Ghana merosot hingga gagal membayar utang?
Polemik Janji Kampanye
Pemerintah Ghana berdalih bahwa masalah ekonomi disebabkan pandemi Covid-19 dan imbas perang Rusia-Ukraina. Namun, para analis dan pakar ekonomi, serta masyarakat Ghana menyadari bahwa permasalahan ekonomi sudah lama terjadi, bahkan sebelum pandemi Covid-19. Menurut mereka, Krisis ekonomi bermula ketika rezim dan para politisi mengeluarkan anggaran negara secara berlebihan. Tidak peduli kerugian finansial yang harus ditanggung negara, rezim petahana kala itu justru menggelar hajatan demokrasi untuk memenangkan pemilu.https://narasipost.com/world-news/09/2023/resep-ekonomi-imf-jalan-keluar-krisis-lebanon/
Masyarakat Ghana mulai menyadari bahwa siklus pemilu empat tahunan hanya sebagai periode bagi rezim petahana untuk melanggengkan kekuasaannya dan demi memperkaya kroni-kroninya, tanpa memedulikan kesejahteraan rakyatnya. Hal ini dapat dilihat saat pemilu 2016, di mana Nana Akufo-Addo mengumbar janji untuk memberikan pendidikan gratis, mengembalikan tunjangan guru dan perawat yang pernah dihapus pada masa John Mahama, menghapus beberapa pajak, serta seabrek janji manis lainnya.
Awalnya, Partai Patriotik yang dipimpin oleh Nana Akufo-Addo sangat antusias untuk merealisasikan semua janjinya. Meskipun secara logika, kebijakan tersebut akan sangat menguras keuangan negara secara signifikan. Semua tampak mustahil diterapkan, mengingat hampir semua SDA di Ghana telah diprivatisasi.
Setelah diamati, ternyata Ghana berada dalam pergolakan rencana IMF. Sejak 2015, rezim Nana Akufo-Addo telah meminjam uang sebesar $918 juta kepada IMF untuk merealisasikan semua janji-janjinya selama kampanye. Pemerintah bahkan meminjam banyak uang dari pasar internasional maupun domestik untuk melaksanakan program-programnya, seperti membayar utang yang sangat besar kepada produsen listrik independen, serta menutup kekurangan pendapatan negara akibat adanya penghapusan pajak. https://narasipost.com/opini/07/2022/kapitalisme-neoliberal-menyebarkan-wabah-krisis-di-barat-dan-timur/
Utang Ghana mulai membengkak pada Desember 2019, hingga mencapai 63,1% terhadap PDB. Meskipun begitu, Ghana tetap mengadakan pemilu pada 2020 saat gejolak pandemi sedang melanda. Selama proses pemilu, rezim petahana menyediakan air, listrik, dan makanan gratis untuk 2,7 juta orang yang rentan selama lockdown. Untuk menopang semua itu, pemerintah meminjam uang sebesar $1 miliar kepada IMF melalui Fasilitas Kredit Cepat. Sayangnya, menurut auditor jenderal Ghana, sebagian besar dana tersebut “salah dikelola”.
Akibatnya, Ghana mengalami defisit fiskal sebesar 11,7% terhadap PDB, jauh melebihi targetnya sebesar 4,7%. Pada tahun yang sama, persentase defisit Ghana jauh di atas rata-rata negara di benua Afrika Barat sebesar 7,5%.
Tak lama setelah memenangkan pemilu, pemerintah Akufo-Addo mulai melakukan retribusi dengan memberlakukan lebih banyak pajak kepada rakyatnya. Pajak-pajak tersebut digunakan untuk menutupi dan mengembalikan uang negara yang telah dipakai selama masa pandemi. Tindakan ini sontak memicu kemarahan warga Ghana yang merasa dieksploitasi oleh taktik licik pemerintah untuk memenangkan pemilu. Hal inilah yang menyebabkan munculnya gerakan protes #FixTheCountry. (Foreignpolicy.com, 26-6-2023)
Rakyat Menjadi Tumbal Demokrasi
Melihat potensi pendapatan yang dihasilkan dari transaksi uang seluler begitu besar, yakni mencapai $99 miliar, pemerintah Ghana berinovasi dengan memperbesar tarif pajak pada sektor informal. Pada 2022, melalui Menteri Keuangan Ghana, Ken Ofori-Atta, pemerintah mengumumkan tentang diberlakukannya retribusi transaksi elektronik untuk memenuhi anggaran negara.
Usulan retribusi berlaku sejak Februari 2022 dengan pungutan sebesar 1,75% dari nilai transaksi elektronik. Jaringan pajak semakin diperluas, mulai dari pembayaran uang seluler, transfer bank, pembayaran pedagang, dan pengiriman uang. Pemerintah berdalih bahwa menaikkan besaran pajak merupakan cara yang tepat untuk meningkatkan pendapatan negara. Untuk mengoptimalkan proses retribusi elektronik tersebut, masyarakat tidak diberi opsi (dipaksa) melakukan pembayaran digital untuk mendapatkan layanan publik, seperti pengurusan paspor dan SIM, pengurusan barang di pelabuhan, dan lain sebagainya. (qz.com, 19-11-2021)
Dalam naungan demokrasi, Ghana yang dikenal sebagai produsen emas terbesar ketujuh dunia, justru dihadapkan dengan krisis ekonomi. Bagaimana tidak, konsesi pertambangan resmi sebagian besar dikuasai swasta. Alhasil, pendapatan dari pengelolaan tambang emas sebagian besar tidak masuk ke kantong negara. Misalnya, tambang emas Obuasi, terletak 200 km dari Akra, yang telah dikuasai oleh AGC (Ahanti Goldfields Company), perusahaan asal London (mining-technology.com, 31-7-2020). Belum lagi, maraknya penambang ilegal yang sebagian besar aktivitasnya justru berada di dekat konsesi pertambangan resmi.
Begitulah realitas hidup di alam demokrasi. SDA diprivatisasi secara serampangan, sedangkan negara hanya bisa menaikkan dan memperluas jaringan pajak sebagai satu-satunya solusi alternatif untuk membayar utang dan menambah pendapatan negara. Padahal, pemasukan dari utang dan pajak hanya mampu menopang keuangan negara dalam jangka pendek. Jika negara terus bertumpu pada utang dan pajak, maka pertumbuhan ekonomi perlahan-lahan akan ambruk dan jurang kemiskinan akan semakin menganga.
Alhasil, krisis Ghana berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran. Pasalnya, banyak kontraktor yang terpaksa memberhentikan karyawan akibat negara tidak mampu mengembalikan pinjaman uang kepada perusahaan konstruksi tersebut, yakni sebesar $1,3 miliar (belum termasuk bunga). Saat yang sama, Ghana juga terancam mengalami pemadaman listrik secara luas akibat negara gagal membayar utangnya sebesar $1,58 miliar kepada produsen listrik independen.
Menurut Layanan Statistik Ghana, pada Desember 2022, Ghana mulai ketergantungan pada impor sehingga inflasi meningkat mencapai 54,1%. Masyarakat mulai kesulitan membeli kebutuhan pokok dan bahan bakar, akibat harga-harga telah naik hingga tiga kali lipat dari harga sebelumnya.
Masuk dalam Jebakan IMF
Jika ditelusuri lebih dalam, IMF sebagai kreditur internasional telah mensponsori “reformasi ekonomi” dengan merusak industri dan pertanian negara tersebut. Kebijakan-kebijakan yang dipromosikan oleh kreditur internasional, termasuk memberi utang ribawi, privatisasi sektor industri dan layanan publik, penghapusan segala bentuk subsidi, kenaikan suku bunga, dan pengurangan layanan publik telah mendorong perekonomian Ghana masuk ke dalam kemerosotan.
Alhasil, meskipun risiko utang yang diberikan IMF berdampak buruk pada Ghana, pemerintah tetap melanjutkan pinjaman besar-besaran pada awal 2021, dengan menerbitkan Eurobond senilai $3 miliar. Tanpa sadar, utang pemerintah telah mencapai $63,3 miliar (88,1% dari PDB) pada Desember 2022. Banyaknya jumlah utang membuat Ghana dikeluarkan dari pasar internasional dan nilai tukar cedi mulai melemah, bahkan sebelum Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Nilai mata uang cedi melemah hingga lebih dari 55% terhadap dolar akibat kekurangan devisa.
Kekacauan ekonomi terjadi bertahap, ketika Ghana memulai Program Pemulihan Ekonomi (ERP) pada 1987. Sejak saat itu, proses liberalisasi ekonomi secara bertahap mulai memberikan ruang politik bagi perusahaan swasta domestik dan luar negeri. Sedangkan negara hanya berfungsi sebagai regulator yang memungkinkan sektor swasta untuk memimpin sektor produksi perekonomian negara. Padahal pendapatan hasil pengelolaan SDA secara mandiri dapat menopang perekonomian negara dalam jangka panjang, dibandingkan hanya bergantung dari utang dan pajak.
Apa yang terjadi pada Ghana adalah bukti nyata bahwa IMF tidak benar-benar memberi pinjaman uang untuk menyelamatkan perekonomian Ghana. Sebaliknya, melalui pinjaman utang tersebut, IMF bertujuan untuk melanggengkan kedudukan negara-negara Barat sebagai kapitalis global demi menguasai negara-negara berkembang.
Kondisi ekonomi yang dihadapi Ghana merupakan potret krisis yang kerap melanda negara-negara berkembang yang mengadopsi demokrasi kapitalisme. Salah satu penyebab dasar krisis tersebut adalah pembiayaan negara yang menggunakan utang ribawi. Ketergantungan pada utang ribawi akan menyebabkan negara kewalahan membayar bunga utang yang kian membengkak. Dalam kapitalisme, utang kerap dijadikan alat untuk menjebak negara-negara debitur untuk mengakuisisi aset negara, ketika mereka tidak sanggup membayar kewajibannya. Hal ini dapat dilihat dengan banyaknya perjanjian dan persyaratan yang justru merugikan negara debitur.
Keluar dari Krisis Ekonomi
Islam sebagai agama dan ideologi sebenarnya menawarkan solusi realistis untuk mengubah haluan politik ekonomi negara agar lebih berdaulat. Aturannya yang berasal dari Sang Pencipta akan membawa keadilan bagi seluruh umat manusia. Karena, penerapan syariat Islam kaffah memang didesain untuk membebaskan manusia dari penjajahan fisik maupun nonfisik. Berikut beberapa aturan dalam sistem pemerintahan Islam yang efektif meminimalisasi krisis ekonomi, antara lain:
Pertama, pemimpin berperan sebagai pelayan rakyat. Jika dalam demokrasi, jabatan dan kekuasaan digunakan untuk memperkaya diri, sebaliknya Islam menganggap jabatan sebagai amanah. Jika dalam demokrasi seorang presiden berfungsi sebagai regulator dan fasilitator bagi korporasi, sebaliknya Islam memosisikan seorang pemimpin sebagai raa’in (pengurus) atas segala urusan rakyat. Karena itu, pendidikan, kesehatan, dan keamanan merupakan kebutuhan dasar publik yang pemenuhannya dijamin oleh negara. Semua akan disubsidi oleh Khilafah, tanpa membebankan pajak kepada rakyatnya.
Kedua, mengelola SDA secara mandiri. Dalam negara Islam, kekayaan milik umum seperti tambang emas harus dikelola oleh negara (tidak boleh diprivatisasi). Meskipun dalam proses produksi emas akan membutuhkan keahlian, teknologi canggih, dan biaya besar, namun hasil produksinya dapat memberikan keuntungan besar yang mampu menopang perekonomian negara dalam jangka panjang. Karena itu, Islam mewajibkan agar pertambangan dikelola mandiri oleh negara dan hasil penjualannya digunakan untuk kemaslahatan umat.
Ketiga, menjadikan emas dan perak sebagai standar mata uang negara. Dengan standar moneter tersebut, maka inflasi akibat penambahan jumlah uang yang beredar untuk membiayai belanja negara tidak akan terjadi. Sebab, mata uang yang beredar akan setara dengan cadangan emas dan perak yang dimiliki. Kehadiran mata uang emas dan perak juga akan mencegah dominasi asing dalam mencetak uang dan menghilangkan spekulator yang mengambil keuntungan dari fluktuasi nilai tukar mata uang, seperti halnya yang terjadi pada dolar AS.
Keempat, mengharamkan praktik riba. Dalam kapitalisme, praktik ekonomi ribawi oleh IMF legal dilakukan, meskipun telah banyak merugikan negara-negara berkembang. Sebaliknya, dalam perspektif Islam, praktik utang ribawi yang telah mengacaukan perekonomian Ghana tersebut adalah haram. Sebab, riba secara tegas diharamkan oleh Allah Swt. melalui firman¬Nya:
“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang beriman.” (TQS. Ali-Imran: 130)
Segala jenis utang atau perjanjian apa pun, apalagi terbukti menjadi pintu masuknya institusi asing untuk menguasai aset-aset negara maka transaksi tersebut “dilarang” dalam Islam. Sebab, Allah Swt. tegas melarang orang-orang kafir untuk menguasai kaum muslim (lihat: QS. An-Nisa: 141).
Karena itu, satu-satunya solusi atas permasalahan Ghana adalah meninggalkan demokrasi kapitalisme dan ketergantungannya terhadap utang ribawi. Karena, krisis ekonomi yang menimpa Ghana merupakan masalah kompleks dan membutuhkan solusi yang fundamental. Sudah waktunya bagi seluruh manusia menyadari kerusakan multidimensi akibat penerapan demokrasi kapitalisme yang menjadikan utang ribawi dan pajak sebagai solusi sesat untuk mengatasi krisis ekonomi sebuah negara. Wallahu a’lam bishawwab.[]
Jelas sekali negara yang ekonominya bertumpu pada sistem ribawi akan mengalami kebangkrutan dan kehancuran. Karena riba adalah sesuatu yg tegas dilarang oleh Allah. Siapa yang nekat mengambilnya berarti mengumumkan perang dengan Allah
Dan pasti harus siap menerima kekalahan. Ghana hanya salah satu contoh saja. AS sebagai pelopor ideologi Kapitalisme sejatinya sudah mempersiapkan kehancurannya.
Allah, lindungi kami dari riba
Kereeen.
Ghana = Black Star = bintang hitam.
Bintang hitam di tengah bendera Ghana merupakan simbol kebebasan Afrika dari perbudakan dan imperialisme.
Langkah Ghana dalam membiayai negara nyaris sama ya dengan negeri ini, yaitu bertumpu pada pajak dan utang. Miris memang, banyak negara-negara yang punya sumber daya alam melimpah tapi malah dikapitalisasi. Sedangkan negara hanya mampu menggenjot pajak sana sini. Apalagi utang pada lembaga internasional seperti IMF, akan bangkrutlah semua negara
Kebijakan yang akhirnya rakyat dijadikan tumbal demokrasi. Miris, utang berbunga, kedaulatan tergadai.