Jika terjadi perbedaan dalam masalah cabang seperti ini, seorang muslim memang boleh memilih pendapat yang diyakininya benar. Namun, jika ia merasa ragu, lebih baik ia tinggalkan. Hal ini merupakan sebuah bentuk kehati-hatian.
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Nama karmin mendadak terkenal. Namun, karmin yang ini bukan nama orang, tetapi nama pewarna. Pewarna merah yang membuat makanan atau minuman tampak cantik dan menarik.
Saat ini, masyarakat, terutama kaum muslim, dihebohkan dengan pewarna karmin ini. Pasalnya, dua lembaga keagamaan, yaitu LPPOM MUI dan LBMNU berbeda pendapat dalam kehalalannya. MUI telah mengeluarkan fatwa bahwa pewarna ini halal. Namun, NU menyatakan sebaliknya. (cnnindonesia.com, 29/09/2023)
Nah, apa yang menjadi penyebab perbedaan kedua fatwa tersebut? Sebagai seorang muslim, bagaimana sikap kita dalam menghadapi perbedaan pendapat seperti ini? Bagaimana pula peran negara dalam menyelesaikan perbedaan dalam kasus serupa?
Fakta dan Sejarah Penggunaan Karmin
Warna memang membuat sesuatu menjadi lebih menarik, termasuk dalam makanan atau minuman. Oleh karena itu, manusia pun memberi warna pada makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Mereka menggunakan daun pandan sebagai pewarna hijau, kunyit untuk warna oranye, dan bunga telang untuk warna biru, sedangkan buah bit atau stroberi digunakan sebagai pewarna merah.
Namun, dalam perkembangannya, pewarna karmin lebih banyak dipakai. Penggunaan karmin dalam industri pangan meningkat antara tahun 2004–2010. Hal itu karena karmin harganya lebih terjangkau dibandingkan pewarna lainnya. Selain itu, pewarna karmin juga memiliki kelebihan lain, seperti stabil terhadap panas dan cahaya serta tahan dalam kondisi penyimpanan yang buruk (adverse storage condition). (linisehat.com, 15/03/2022)
Karmin merupakan pewarna yang diekstrak dari serangga cochineal betina yang hamil. Serangga yang memiliki nama latin Dactylopius coccus ini merupakan serangga yang menjadi parasit pada tanaman kaktus. Mereka makan nutrisi yang ada pada kaktus. Serangga ini hidup di Amerika Utara dan Selatan.
Asam karminat diproduksi oleh cochineal betina untuk melindungi diri dari predator. Untuk menghasilkan satu pon karmin dibutuhkan sekitar 70.000 cochineal betina kering atau 100.000 cochineal untuk satu kilogram karmin. Bubuk karmin dihasilkan dengan cara memanggang dengan suhu tinggi hingga mengering, kemudian dihaluskan. Cara lainnya adalah merebus dan menjemur cochineal hingga kering. Setelah itu, dihancurkan menjadi bubuk. Perbedaan cara ini akan menghasilkan warna yang berbeda pula.
Dalam industri pangan, pewarna karmin dicantumkan pada label kemasan dengan kode E-120 atau CL 75470. Ada pula yang menggunakan nama asam karminat/carminic acid, karmin, carminic lake, crimson lake, cochineal extract, atau natural red 4. Sedangkan dalam kosmetik digunakan nama red flag. Pewarna karmin banyak dipakai pada es krim, yogurt, jus, permen, dan produk dari susu. (zahraworlds.wordpress.com, 03/07/2020)
Menurut Prof. Djoko Agus Purwanto, Guru Besar Bidang Ilmu Farmasi dari Universitas Airlangga, penggunaan karmin pada makanan sebenarnya tidak memberi manfaat kesehatan apa pun bagi manusia. Ia hanya membuat makanan tampak lebih menarik. Karmin juga tidak berbahaya, kecuali bagi mereka yang alergi terhadap bahan ini.
Karmin sudah digunakan oleh bangsa Aztec dan Maya di wilayah Amerika Selatan, Tengah, dan Utara sejak zaman dahulu. Mereka menggunakannya untuk mewarnai kosmetik, kain, dan obat-obatan. Saat ini, Peru menyuplai 95% kebutuhan pewarna karmin dunia. Produksinya mencapai 70 ton per tahun.
Pewarna karmin mulai digunakan di Eropa sejak tahun 1518. Saat itu, Hernan Cortes berhasil menemukan rahasia pewarna merah gelap pada jubah yang dipakai oleh para bangsawan Aztec. Hernan Cortes pun mengirim cochineal kering ke Spanyol. Harganya yang mahal membuat Spanyol menutup rapat rahasia bahan baku pewarna ini. Selama hampir 200 tahun, masyarakat Eropa mengira bahwa cochineal adalah biji tanaman.
Sikap Seorang Muslim
Dalam Islam, ada masalah-masalah yang harus sama, ada pula yang boleh berbeda. Dalam masalah akidah, jelas umat Islam harus meyakini Allah Swt. sebagai Sang Pencipta dan Nabi Muhammad saw. sebagai rasul terakhir. Ini disebut masalah usul (pokok).
Namun, dalam masalah cabang, kaum muslim boleh berbeda, jika dalilnya bersifat zan, sehingga memunculkan perbedaan penafsiran. Sesuai dengan kaidah usul sudah jelas bahwa makanan termasuk benda, sehingga hukum asalnya adalah mubah. Namun, jika ada nas lain yang mengharamkan, benda tersebut haram hukumnya.
Untuk menentukan sesuatu itu halal atau haram, harus dilakukan pengkajian terhadap fakta benda tersebut. Inilah yang disebut dengan tahqiiq al-manaath. Di sini dimungkinkan terjadi perbedaan kesimpulan dari para ahli yang melakukan pengkajian. Akibatnya, hukum yang ditetapkan akan berbeda.
Dalam masalah pewarna karmin ini, terjadi perbedaan dalam memahami fakta serangga cochineal. LBMNU berpendapat bahwa karmin haram digunakan karena dibuat dari serangga. Lembaga ini mengikuti mazhab Imam Syafi'i yang mengharamkan bangkai serangga karena dianggap najis. Sedangkan menurut Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Qoffal menghalalkannya karena bangkai serangga tidak mengeluarkan darah.
Sedangkan LPPOM MUI, setelah melakukan pengkajian terhadap cochineal, sampai pada satu kesimpulan bahwa serangga ini menyerupai belalang. Serangga ini hanya makan nutrisi kaktus, bukan dari zat yang kotor atau haram. Di samping itu, cochineal juga tidak memiliki darah. Belalang merupakan serangga yang dihalalkan, sesuai dengan hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah.
أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوْتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ
"Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah. Adapun dua bangkai itu adalah ikan dan belalang, dan dua darah itu adalah hati dan limpa."
Jika terjadi perbedaan dalam masalah cabang seperti ini, seorang muslim memang boleh memilih pendapat yang diyakininya benar. Namun, jika ia merasa ragu, lebih baik ia tinggalkan. Hal ini merupakan sebuah bentuk kehati-hatian.
Kondisi yang membingungkan umat ini tidak akan terjadi, jika negara berperan aktif dalam menentukan kehalalan produk-produk yang beredar di masyarakat. Namun, hal itu tidak dapat dilakukan karena sekularisme melarang negara turut campur dalam urusan agama. Agama cukup menjadi urusan pribadi. Oleh karena itu, halal tidaknya produk yang dikonsumsi menjadi tanggung jawab masing-masing orang.
Padahal, saat ini banyak orang yang tidak memahami hukum syarak. Tidak jarang ada yang menjual makanan halal sekaligus haram. Seperti kasus yang pernah viral beberapa waktu yang lalu. Saat itu ada seorang pengunjung restoran yang memesan menu dari daging sapi, tetapi diberi daging babi. Padahal, ia seorang muslim. Hal ini tentu mengkhawatirkan, jika peralatan masak yang digunakan untuk mengolah daging sapi sama dengan yang digunakan untuk mengolah daging babi. Padahal, daging babi termasuk najis mughaladloh. Peralatan yang terkena najis jenis ini harus dicuci tujuh kali dan salah satunya menggunakan tanah. Jika peralatan tersebut dicuci biasa, maka peralatan itu masih najis. Otomatis, makanan yang diolah juga menjadi najis dan tidak boleh dikonsumsi.
Keberadaan restoran yang seperti ini, tentu merugikan umat Islam. Namun, negara tidak dapat menutup usaha tersebut, kecuali masyarakat mengajukan keberatan. Jika negara menutup usaha tersebut sementara masyarakat tidak keberatan, negara dapat dianggap melanggar hak pemilik restoran.
Oleh karena itu, satu-satunya hal yang dapat kita lakukan saat ini adalah bersikap hati-hati dalam membeli produk. Jika itu produk yang memiliki kemasan, kita harus mengecek komposisi bahannya. Sementara, jika hendak membeli makanan atau minuman di restoran dan sejenisnya, kita harus memastikan bahwa menu-menu yang dijual itu diolah dari bahan yang halal.
Peran Penguasa
Mengonsumsi makanan dan minuman halal merupakan kewajiban bagi tiap muslim. Ada banyak nas yang melarang kaum muslimin mengonsumsi yang haram, karena makanan dan minuman yang haram akan mematikan hati. Di samping itu juga akan mencegah dikabulkannya doa.
Oleh karena itu, penguasa wajib menjaga kehalalan produk yang beredar di masyarakat. Jika terjadi perbedaan pendapat dalam masalah ini, penguasa wajib memastikan mana yang seharusnya diambil. Sebab, tugas seorang penguasa adalah menghilangkan perbedaan. Hal ini sesuai dengan satu kaidah syarak yang menyatakan bahwa perintah imam/penguasa itu menghilangkan perbedaan.
Oleh karena itu, negara harus memastikan kehalalan setiap produk baru. Penguasa dapat meminta para mujtahid untuk menetapkan hukum produk baru tersebut. Para ahli yang benar-benar memahami fakta produk itu dapat dimintai penjelasannya. Setelah itu, mujtahid akan menggali hukum dari berbagai dalil yang berkaitan dengan produk tersebut. Dengan cara seperti ini, masyarakat akan terhindar dari mengonsumsi makanan atau minuman yang haram. Mereka akan tenang saat hendak membeli produk, tanpa merasa ragu akan kehalalan produk tersebut.
Namun, kondisi seperti ini hanya dapat diwujudkan jika negara menerapkan sistem Islam secara kaffah. Sistem yang pernah diterapkan oleh Rasulullah saw. serta para khalifah yang menggantikan beliau. Sistem yang telah terbukti memberi kesempatan kepada umat Islam untuk meraih rida Allah Swt.
Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]
Rindu sekali khilafah, sistem Islam yang mengatur segala aspek kehidupan. Masalah yang berkaitan dengan individu dengan dirinya pribadi pun diatur dengan aturan Islam,
Seperti masalah makanan pakaian, minuman dsb. Bisa dibayangkan betapa tentramnya hidup dalam sistem Islam (khilafah) dan pemimpin (khalifah) yang faqqih fiddin.
Tulisan keren, terima kasih telah memberi pencerahan pada polemik Karmin ini.
Masya Allah, tulisannya keren. Jadi tahu banyak tentang karmin. Sekarang sulit mendapatkan makanan dan minuman yang halal dan toyib
Wah baru tahu ada zat pewarna dari serangga cochineal kirain cuma dari dedaunan, buah maupun kulit kayu. Namun yg lebih penting penggunaannya butuh legalisasi negara sebagai penanggungjawab halal atau haramnya zat karmin.
Tulisan yang bagus
Untuk perawatan pewarna saja, butuh peran negara. Negara wajib menjaga kehalalan produk yang beredar di masyarakat.
Karena pewarna sekarang bisa diperoleh dari berbagai macam benda, termasuk yang haram. Jadi negara yang harus memastikan kehalalannya.
Betul, polemik karmin tidak bisa dibiarkan, khususnya oleh negara. Apalagi saat ini memang betul banyak masyarakat yang awam hukum syarak, apalagi jika tidak melek berita. Akhirnya semua akan dibeli tanpa tahu halal atau haram akan suatu barang.
Masyarakat sudah jauh dari Islam, sehingga banyak hukum yang tidak mereka ketahui.
Setelah banyak mengonsumsi biskuit rasa strawbery, yogurt, dan susu.. baru tau kalau warna merahnya dari karmin alias kutu...
Sama mbak. Dulu hanya berpegang pada ada tidaknya label halal. Ternyata itu tidak cukup ya.
MasyaAllah, ini keren. Jadi tahu bagaimana sikap kita sebagai muslim dalam menentukan kehalalal sebuah makanan.
Sikap berhati-hati harus selalu diutamakan. Lebih-lebih dalam situasi seperti saat ini
Memang negaralah yang akan menghilangkan zan atau syak. Saat ini negara berlepas pada hal2 yg seperti ini, hingga polemik perbedaan tak berkesudahan
Inilah susahnya hidup di habitat yang tidak sesuai
Sepakat. Ragu, berarti harus ditinggalkan. Dan lebih berhati-hati (selektif) terhadap apa yang kita makan.
Betul mbak
Perintah imam itu menyelesaikan perbedaan. Meski berbeda dalam fikih itu boleh, tetapi ketika sudah pada ranah industri yang produknya beredar luas, negara harus turun tangan menyelesaikan. Sepakat dengan penulis, jika ragu2 sebaiknya ditinggalkan.
Betul mbak, meskipun individu dapat menghindari, tetapi adanya kepastian hukum akan menenangkan hati.