Pangan Jadi Supremasi Indonesia, Mungkinkah Terwujud?

Krisis pangan

Dampak dari pengabaian pemanfaatan keragaman pangan lokal, ketika produksi beras menurun, negara kewalahan menghadapinya. Alarm krisis pangan pun menyala.

Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Krisis pangan yang mengancam negeri berjuluk zamrud khatulistiwa ini telah mengundang perhatian banyak tokoh untuk memberikan solusi. Salah satu tokoh yang menaruh perhatian besar adalah Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan. Menurutnya, PDIP telah mendesain ulang pembangunan pangan di masa depan agar Indonesia memiliki kedaulatan pangan. Tidak hanya itu saja, ketua partai berlogo banteng dengan moncong putih itu menyatakan bahwa kedaulatan pangan bisa menjadi simbol supremasi kepemimpinan Indonesia bagi dunia, apalagi Indonesia memiliki keanekaragaman flora dan fauna yang luar biasa jumlahnya baik di darat maupun di laut. (liputan6.com, 29/09/2023)

Tidak ada satu pun pihak yang memungkiri keragaman hayati negeri ini. Akan tetapi, cukupkah dengan bermodal mendesain ulang pembangunan pangan saja, otomatis Indonesia menjadi negara berdaulat pangan?

Keanekaragaman Pangan di Zamrud Khatulistiwa

Laksana zamrud khatulistiwa, Indonesia bak batu permata hijau raksasa yang jatuh di garis ekuator. Tampak kejauhan berkilau kehijauan dengan ruahan kekayaan alamnya, tanah yang subur dikelilingi pegunungan dan hutan tropis, serta padang sabana tempat hewan ternak merumput sampai puas. 

Dikutip dari cnnindonesia.com (23/3/2023), Indonesia bisa demikian kaya keragaman hayatinya karena memiliki 17.001 pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari ribuan pulau ini, tentu saja memiliki perbedaan iklim, unsur hara tanah, dan sumber daya alam baik hayati dan nonhayati. Perbedaan-perbedaan ini turut berpengaruh terhadap keanekaragaman pangan di Indonesia baik bahan mentah maupun bahan pangan olahan penduduk setempat. Data dari Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, ada 77 jenis tanaman pangan sumber karbohidrat, 75 jenis tanaman sumber lemak, 26 jenis kacang-kacangan yang kaya protein, 389 jenis buah, 228 jenis sayur-mayur, dan 110 jenis rempah. Keragaman sumber pangan Indonesia tertinggi kedua setelah Brasil.

Oleh karena itu, siapa saja yang bermaksud mengembangkan sektor pangan di negara ini seharusnya selalu memperhatikan karakteristik geografis tiap wilayah. Indonesia memang kaya tanaman pangan, tetapi kondisi ini tidak serta-merta bisa menanam apa saja di mana-mana. Semuanya harus didahului riset dan perencanaan yang matang agar hasilnya maksimal. Ada tanaman pangan yang cocok di suatu daerah, tetapi tidak cocok ditanam di daerah lain. Mungkin tanaman ini tetap bisa tumbuh, tetapi sekadar tumbuh saja, sedangkan hasilnya tidak ada.https://narasipost.com/opini/07/2022/krisis-pangan-mengancam-bagaimana-dunia-bisa-bertahan/

Contoh terkini adalah 600 hektar singkong program food estate yang gagal panen di Kalimantan Tengah. Dikutip dari bbc.com (15/3/2023), ketidaksesuaian karakteristik tanah menjadi salah satu penyebabnya. Tanah di Kalimantan Tengah, terutama di kawasan yang menjadi lokasi program food estate, memiliki karakteristik yang kering dan berpasir. Karakteristik tanah ini tidak cocok untuk tanaman singkong yang membutuhkan tanah gembur dan subur. Bila dipaksakan, tanamannya akan kerdil, umbi singkong yang dihasilkan hanya seukuran wortel dengan kualitas jelek, atau sama sekali tidak berumbi. Ibaratnya bocah, singkong-singkong ini mengalami tengkes.

Kasus serupa pernah terjadi di Maluku Tengah. Pada tahun 2015, hutan sagu seluas 350 hektar diubah menjadi sawah, padahal kondisi iklim dan tanah seluruh Maluku tidak cocok untuk bertanam padi. Masyarakatnya pun terbiasa mengonsumsi sagu, bukan nasi. Di Sumba Timur pun mengalami hal yang sama. Berhektar-hektar hutan sagu ditebang dan lahannya dialihfungsikan menjadi sawah. Hasilnya tentu saja zonk. Rakyat menderita karena gagal panen. Mereka mau kembali makan sagu pun kesulitan karena hutan sagunya berubah menjadi sawah. (dinaspangan.sumbarprov.go.id, 28/2/2018)

Makin ke sini pemerintah bukannya memanfaatkan keanekaragaman sumber pangan lokal, malah terkesan ada penyeragaman makanan pokok yaitu beras. Sumber-sumber pangan penghasil karbohidrat lainnya diabaikan, meskipun pada faktanya lebih sehat karena tanpa pemupukan dan obat-obatan kimia. Dampak dari pengabaian pemanfaatan keragaman pangan lokal, ketika produksi beras menurun, negara kewalahan menghadapinya. Alarm krisis pangan pun menyala.

Akar Masalah Kedaulatan Pangan Sulit Terwujud

Akhir-akhir ini alarm krisis pangan memang lebih sering membuat seluruh pihak ketar-ketir. Negara bahkan telah bermanuver dengan segala macam cara untuk mengatasinya. Hasilnya nihil. Krisis pangan tetap mengintai di depan mata, siap melahap rakyat jelata atas nama kelaparan, seperti yang dialami rakyat Papua. Pada bulan Agustus lalu, 6 warga Papua Tengah mati kelaparan karena mengonsumsi umbi-umbian busuk. (cnnindonesia.com, 11/8/2023)

Bila demikian faktanya, mungkinkah pangan menjadi supremasi Indonesia? Jawabannya, tentu saja tidak mungkin sebab berbagai program yang dijalankan cenderung semrawut, tidak berkesinambungan, dan sebatas tambal sulam. Akar masalah problem pangan ini tidak disentuh sama sekali. Artinya, walaupun sistem pangan ini akan didesain ulang, tetapi bila tidak menyentuh akar persoalannya, tidak akan berhasil. 

Akar persoalan pangan di negara ini ditimbulkan oleh penerapan sistem ekonomi kapitalisme. Dalam sistem ini, negara tidak perlu bersusah payah mengurusi rakyat. Negara cukup sekadar mengambil peran paling minimal, yaitu sebagai regulator dan fasilitator saja. Adapun pengelolaan sumber daya alam diserahkan pada pemilik modal mulai industri hulu hingga hilirnya. Negara mencukupkan diri mendapat cipratan pendapatan dari pajak. Beginilah tabiat asli sistem ekonomi kapitalisme. Swasta dianakemaskan dan rakyat dianaktirikan. Negara akan mengakomodasi seluruh kepentingan pemodal, tetapi menulikan jerit kebutuhan pangan rakyatnya. Mudahnya, kepada para pemodal inilah negara menghamba, termasuk dalam masalah pangan. Tidak ada kamus menyejahterakan rakyat dalam kapitalisme. 

Di dalam sistem ini, pergerakan roda perekonomian cukup ditandai dengan meningkatnya angka produksi. Oleh sebab itu, tidak heran jika negara membabi buta membuka areal pertanian baru, lalu diserahkan pengelolaannya pada segelintir orang demi mengejar angka produksi. Di saat angka produksi meningkat, komoditas yang dihasilkan tidak langsung dilepas pada konsumen dalam negeri, tetapi diekspor demi keuntungan pribadi pemodal. Terlebih lagi, liberalisasi perdagangan menyebabkan komoditas makin mudah keluar masuk suatu negara, makin leluasalah para pengusaha mengeruk keuntungan sebesar-besarnya.https://narasipost.com/opini/07/2023/atasi-krisis-pangan-global-dengan-islam/

Target mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya ini juga turut “menghilangkan” ribuan hektar tanaman pangan lokal. Sagu dan sukun banyak ditebangi karena nilai ekonominya rendah. Sebagai gantinya, swasta mengembangkan tanaman pangan yang nilai ekonominya tinggi di pasar dunia seperti beras dan kentang. Andai negara benar-benar mengurusi kepentingan rakyatnya, tanaman pangan yang nilai ekonomi rendah ini tetap akan diperhatikan untuk mewujudkan ketahanan pangan. 

Sistem Islam Mewujudkan Kedaulatan Pangan

Dalam sejarah panjang peradaban dunia, tidak ada negara yang mampu berdaulat secara pangan selain Khilafah. Berabad-abad lamanya Khilafah memimpin supremasi pangan dunia. Khilafah yang mendasarkan seluruh aturannya berdasarkan syariat Islam terbukti mampu bertahan dari berbagai perubahan iklim dan bencana. Politik pertanian dalam Islam bentuknya baku mengikuti syariat Allah, dijalankan demi memenuhi kemaslahatan umat. 

Dalam sistem pemerintahan Islam, khalifah penanggung jawab utama pengaturan produksi dan distribusi pangan ke seluruh rakyat. Agar memudahkan prosesnya, Khilafah memiliki  departemen kemaslahatan umum yang salah satunya membawahi bidang pertanian. Khalifah akan mengangkat seorang direktur yang memiliki kapabilitas dan keahlian dalam bidang pertanian. Direktur ini bertanggung jawab langsung kepada khalifah.

Demikian besar tanggung jawab khalifah dalam mewujudkan dan memastikan kesejahteraan umatnya. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya seorang penguasa adalah pengurus (urusan rakyatnya), dan ia yang bertanggung jawab atas rakyatnya.” (HR. Muslim dan Ahmad)

Melalui departemen kemaslahatan umum, khalifah juga akan memastikan optimalisasi penggunaan lahan, komoditas yang ditanam cocok dengan iklim dan tanahnya, teknik irigasi yang efektif, pemupukan, serta usaha preventif dalam menangani hama. Para petani akan mendapatkan penyuluhan tentang bercocok tanam, mendapat bantuan dalam pengadaan sarana prasarana, dan kemudahan mendapatkan pupuk. Selain itu, departemen kemaslahatan umum akan bekerja dengan departemen lainnya dalam memprediksi iklim dan memitigasi bencana rawan pangan.

Khilafah tidak akan melakukan penyeragaman bahan makanan pokok. Sebaliknya, Khilafah akan menjadikan keanekaragaman pangan sebagai berkah yang harus senantiasa dirawat dan dikembangkan demi kemaslahatan umat. Bukankah Allah Swt. berfirman di dalam surah Ali Imran ayat 191,

رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هٰذَا بَاطِلًاۚ سُبْحٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

 Artinya, Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia. Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka.”

Ayat di atas menyatakan dengan terang bahwa tidak ada satu pun ciptaan Allah Swt. yang sia-sia. Semua pasti ada hikmah, pelajaran, dan ilmu yang bisa didapat, tetapi bila hingga kini belum diketahui, hal itu karena keterbatasan akal manusia. Sama halnya dengan tanaman sumber pangan yang beraneka ragam. 

Di dalam Khilafah, tidak ada istilah bahan pangan bernilai ekonomi tinggi atau rendah. Adanya adalah bahan pangan yang halal dan tayib (bergizi). Seluruh sumber pangan ini akan dilakukan penelitian mendalam tentang kandungan gizi dan khasiatnya bagi kesehatan. Hasilnya akan disampaikan kepada warga sehingga tidak terjadi bias dan salah persepsi, apalagi gengsi bila memakan sagu dan sukun, bukan beras dan gandum. 

Dengan pengaturan semacam inilah, Khilafah tidak pernah mengalami rawan pangan. Bila terdapat satu wilayah yang mengalaminya, wilayah lain akan menyuplainya sampai kondisi kembali membaik. Madinah pernah mengalami paceklik sekitar tahun 17 H di masa pemerintahan Umar bin Khattab. Tahun itu dikenal sebagai tahun Ramadah. Untuk mengatasi bencana kelaparan di Madinah, wilayah Mesir mengirim bantuan bagi penduduk Madinah hingga masa kekeringan berakhir.

Khatimah

Demikianlah cara Khilafah menciptakan stabilitas pangan. Kepastian berjalannya pemerintahan di atas syariat Islam menjadi jaminan rakyat sejahtera, selamat di dunia dan akhirat. Bila negeri ini ingin memegang supremasi pangan, bukan hanya mendesain ulang pangannya, tetapi mendesain ulang sistem yang melandasinya, yaitu Islam. 

Wallahu a’lam bi ash-shawab. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Haifa Eimaan Salah satu Tim Penulis Inti NarasiPost.Com. pernah memenangkan Challenge bergengsi NarasiPost.Com dalam rubrik cerpen. beliau mahir dalam menulis Opini, medical,Food dan sastra
Previous
Visi Ideologis di Balik Kekuatan Senjata 
Next
Elegi Bunuh Diri, Pakistan Penuh Tragedi
5 1 vote
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

13 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Dyah Rini
Dyah Rini
1 year ago

Benar, hanya sistem Islam yang mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat per- individu. Permasalahan ekonomi juga terletak pada hal distribusi barang dan jasa. jika hal tersebut disolusi dengan Islam maka ketahanan pangan akan terjaga. Tidak ada daerah yang kekurangan barang / makanan tertentu, maupun daerah yang surplus barang tertentu hingga harganya anjlok, busuk dan terbuang.

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
1 year ago

Miris, negeri subur namun terancam krisis pangan, akibat salah tata kelola SDA.

Haifa
Haifa
Reply to  Isty Da'iyah
1 year ago

Yang lebih menyedihkan, banyak warga negaranya yang mati kelaparan

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Miris ya, negara yang kaya akan SDA, tapi tidak mampu memanfaatkannya dengan baik. Apalagi prioritas pengurusan rakyat berprinsip pada keuntungan, bukan kemaslahatan. Contohnya saja kegagalan program food estate yang terus digemborkan pemerintah. Mewujudkan swasembada pangan memang wajib, tapi harusnya dilakukan penelitian kondisi tanah, dll, agar tidak gagal total. Bukan berpikir yang penting untung tapi ternyata salah strategi.

Haifa
Haifa
Reply to  Sartinah
1 year ago

Betul sekali, Mba Sar.

Isty Da'iyah
Isty Da'iyah
1 year ago

Hanya Islam.yang bisa wujudkan swasembada pangan.

Wd Mila
Wd Mila
1 year ago

Krisis pangan akan terus melanda negeri jika penguasa mengabaikan tugasnya sebagai raa'in. Apalagi mereka menyerahkan urusan pangan ke pada swasta atau para kapitalis asing,, alhasil swasembada pangan mutahil terwujud.

Haifa
Haifa
Reply to  Wd Mila
1 year ago

Bukannya terwujud, malah yg ada rakyatnya kelaparan. Rakyatnya disuruh makan ubi, sagu, talas. Dia lupa kalo lahan sagunya sudah ditebangi dan dijadikan sawah

Novianti
Novianti
1 year ago

Miris ya. Negara subur tapi rakyatnya ada yang lapar. Pembukan lahan berhektar hektar lalu ditinggal begitu saja. Negara tak mau capek. Lebih memilih aman, tinggal nunggu pajak.

Haifa
Haifa
Reply to  Novianti
1 year ago

Betul, Kak. Bila begini, rakyatlah yang jadi korbannya

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram