Kapitalisasi Agraria di Balik Proyek Rempang Eco City

Rempang eco city

Sejatinya akar utama permasalahannya terletak pada sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme yang telah membebaskan kepemilikan lahan oleh individu maupun swasta. Maka dibutuhkan perubahan mendasar tentang konsep tata kelola lahan yang benar dan adil, serta layak digunakan, yakni syariat Islam yang dijalankan dalam sistem Khilafah.

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Proyek Strategis Nasional (PSN) menjadi salah satu proyek yang terus dikebut pemerintah. Sayangnya, pengadaan lahan untuk proyek tersebut menjadi hal yang krusial di negeri ini. Pemerintah sering kali berlaku tak manusiawi dalam melakukan pembebasan lahan. Atas nama pembangunan dan kepentingan umum, pemerintah seolah berhak mengambil alih tanah milik warga, terlepas mereka setuju atau tidak. Dalam banyak kasus sengketa tanah, sudah bisa dipastikan negaralah yang sering kali menang.

Sebagaimana telah ramai dibicarakan bahwa pemerintah tengah mengebut pembebasan lahan untuk pembangunan Rempang Eco City. Lahan seluas 7.572 hektare di Pulau Rempang tersebut menjadi target untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Nantinya di wilayah tersebut akan dibangun pabrik kaca yang diprakarsai oleh perusahaan Cina, Xinyi Group. Kerja sama antara pemerintah dan perusahaan tersebut diklaim akan mampu menarik investasi yang fantastis yakni mencapai ratusan triliun rupiah. (tvonenews.com, 24/09/2023)

Sayangnya, upaya pemerintah dan investor terganjal penolakan dari warga Rempang. Warga yang menempati 16 kampung adat Melayu tersebut menolak keras relokasi dari tempat mereka tinggal. Akibat konflik agraria tersebut, bentrokan pun tak bisa dihindarkan. Banyak pihak menilai, langkah pemerintah terlalu represif dalam membebaskan lahan Pulau Rempang. Lantas, mengapa warga setempat menolak direlokasi? Bagaimana sebenarnya regulasi pengadaan tanah di negeri ini? Bagaimana pula tata kelola pertanahan yang tidak menzalimi rakyat?

Membentuk Satgas

Penolakan keras dari masyarakat adat Pulau Rempang tampaknya tidak menyurutkan hasrat pemerintah untuk mengosongkan tanah tersebut dan memberikannya pada investor. Bukannya membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat adat, pemerintah justru membentuk satuan tugas (satgas) untuk menyelesaikan kisruh tersebut. Satgas yang dibentuk pemerintah akan fokus pada penyelesaian yudisial (secara hukum) dan pendekatan nonyudisial. Hal ini sebagaimana telah dikemukakan oleh Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko. 

Jika dicermati, satgas yang dibentuk pemerintah bukannya memberi solusi bagi warga setempat. Alih-alih sebagai solusi, satgas ini patut dicurigai hanya dijadikan sebagai alat mengintimidasi dan memaksa warga Rempang untuk hengkang dari wilayahnya. Hal ini dapat dilihat dari pernyataan Moeldoko yang tersebar di media sosial. Menurutnya, sebagian besar warga Rempang mengaku bersalah. Pasalnya, mereka selama ini mendiami tanah tanpa sertifikat hak milik karena tertipu oleh pihak yang tidak berhak atas tanah itu. (kompas.com, 22/09/2023)

Namun, pernyataan pemerintah tampaknya bertolak belakang dengan fakta di lapangan. Pasalnya, sejumlah warga justru tetap menolak direlokasi dari kampung halaman mereka. Terkait klaim sepihak pemerintah tersebut, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengingatkan agar pemerintah tak asal mengeklaim tanpa persetujuan masyarakat dan mendengarkan aspirasi warga yang terdampak.

Bahkan, Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM AMAN, Muhammad Arman, menyebut bahwa klaim sepihak pemerintah sering kali dijadikan taktik jitu untuk menguasai lahan atas nama PSN. Menurutnya, pola-pola serupa dapat disaksikan pada pembangunan Bendungan Wadas di Jateng, Ibu Kota Nusantara di Kaltim, dan proyek lainnya. (bbc.com, 22/09/2023)

Dari fakta tersebut, maka wajar jika banyak pihak menilai bahwa satgas bentukan pemerintah hanyalah untuk mempercepat perampasan tanah adat Rempang. Celakanya lagi, satgas ini tidak hanya digunakan untuk memprovokasi warga agar bersedia direlokasi dengan kesadaran diri, tetapi juga berperan mengkriminalisasi warga yang menolak relokasi. 

Regulasi Pengadaan Tanah

Tak dimungkiri, pembangunan untuk kepentingan umum memang membutuhkan adanya lahan atau tanah. Namun, proses pengadaan tanah tersebut seharusnya mengacu pada prinsip yang terdapat dalam UUD 1945 dan UU Agraria. Demikianlah yang ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Beberapa prinsip yang seharusnya ada dalam pengadaan tanah untuk pembangunan, sebagaimana yang terkandung dalam UUD 1945 dan UU Agraria adalah terpenuhinya rasa kemanusiaan, keadilan, kepastian, keterbukaan, kesejahteraan, kemanfaatan, kesepakatan, keikutsertaan, dan keselarasan sesuai dengan nilai-nilai yang ada dalam berbangsa dan bernegara. 

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan pembangunan Rempang Eco City, seharusnya pemerintah tidak boleh mengabaikan prosedur yang tercantum dalam undang-undang tersebut. Yakni terpenuhinya hak warga Rempang sebagai pemilik tanah untuk mendapatkan ganti rugi yang adil, layak, dan setara. Sayangnya, prinsip UUD 1945 dan UU Agraria dalam pengadaan lahan justru dilanggar sendiri oleh pemerintah. Bagaimana tidak, lahan warga adat Pulau Rempang yang sudah ditempati sejak 1843, kini dirampas tanpa ada kompensasi yang jelas. 

Janji pemerintah memberi perumahan relokasi juga belum ada wujudnya. Warga yang berjumlah 2.600 KK tersebut justru dipaksa tinggal di rusun dengan jaminan biaya hidup sebesar Rp1.034.636 per orang. Itu pun hanya terbatas tiga orang per keluarga (BP Batam, 31/08). Jelas saja warga menolak karena harus dijauhkan dari nafkah utama sebagian masyarakat yakni nelayan dan berkebun. Demikianlah, dalam banyak kasus, regulasi yang dibuat sering kali mengabaikan hak-hak rakyat. 

Hak Tanah Wilayah

Secara historis, suku Melayu, suku Orang Laut, dan suku Orang Darat yang mendiami Pulau Rempang sudah berada di sana jauh sebelum negeri ini merdeka. Mereka mendiami pulau tersebut secara tetap dan turun-temurun dengan tradisi budaya dan hak-hak tradisionalnya di lahan seluas 1.500 hektare. Oleh karena itu, pemerintah seharusnya menghormati kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Bukan justru lebih membela dan berpihak pada para kapitalis.

Jika pemerintah merasa berhak merampas tanah milik warga Rempang dengan dalih tak memiliki sertifikat, apakah pemerintah tidak mengerti bahwa status Pulau Rempang adalah tanah adat yang dikelola berdasarkan konsep hak tanah wilayah? Di mana, tanah adat sendiri tidak boleh diperjualbelikan dan diklaim sebagai hak pribadi oleh negara. Kecuali jika negara sudah melakukan pengalihan tanah adat tersebut menjadi tanah milik negara. 

Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat yang hidup di tanah adat (meski tanpa memiliki sertifikat hak milik) adalah sah secara hukum. Pengaturan tanah ulayat pun sudah diatur dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Artinya, tanah adat adalah tanah bersama masyarakat hukum adat yang dikuasai dan dikelola oleh otoritas adat setempat. Oleh karena itu, negara tidak berhak mengambil alih penguasaan dan pengelolaannya selama tidak bertentangan dengan UUD, apalagi sampai bertindak otoriter demi memuluskan bisnis para korporat.

Kapitalisasi Agraria

Di negeri ini, konflik lahan terus saja terjadi baik dengan perusahaan swasta maupun saat membangun infrastruktur. Mirisnya, pembangunan yang diyakini dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi sering kali berbanding lurus dengan penggusuran rumah warga. Walhasil, pertumbuhan ekonomi yang konon akan bermuara pada kesejahteraan rakyat sering kali harus diawali dengan tangisan warga setempat.

Jika diulik lebih mendalam, ada beberapa hal mendasar yang menyebabkan terus berulangnya konflik lahan di negeri ini. Pertama, tidak ada kejelasan tentang penentuan status kepemilikan tanah. Artinya, tidak ada pengaturan yang jelas tentang mana lahan yang boleh dimiliki oleh individu dan mana yang tidak. Sebagaimana diketahui, dalam sistem ekonomi kapitalisme, status kepemilikan tanah harus berdasarkan legalitas formal seperti sertifikat. Oleh karena itu, semua lahan yang tidak memiliki sertifikat akan diklaim menjadi milik negara. Dengan klaim tersebut, maka negara merasa bebas saja mengalihkan pengelolaannya kepada swasta.

Di sisi lain, ribetnya birokrasi di negeri ini sering kali menyebabkan konflik kepemilikan lahan semakin parah. Contohnya saja masyarakat yang tinggal di suatu wilayah dan mengelola lahan tersebut untuk penghidupannya, tetapi tidak memiliki sertifikat. Kondisi ini sering kali mengakibatkan perampasan lahan oleh negara dan penggusuran tempat tinggal warga setempat.

Kedua, negara yang menerapkan tata kelola ekonomi kapitalisme-neoliberalisme telah mengaborsi peran pemerintah. Peran tersebut hanya tersisa sebatas regulator dan fasilitator semata. Selain itu, perselingkuhan penguasa dan korporasi dalam kontestasi politik menyebabkan keberpihakan penguasa yang luar biasa pada korporasi. Sedangkan perhatian pada rakyatnya hanya setengah hati. 

Sejatinya akar utama permasalahannya terletak pada sistem ekonomi kapitalisme-neoliberalisme. Sistem inilah yang telah membebaskan kepemilikan lahan oleh individu maupun swasta. Untuk menyelesaikan konflik tak bertepi tersebut, maka dibutuhkan perubahan mendasar tentang konsep tata kelola lahan yang benar dan adil. Satu-satunya konsep yang benar dan adil serta layak digunakan adalah syariat Islam yang dijalankan dalam sistem Khilafah.

Tata Kelola Lahan dalam Islam

Islam adalah agama sahih yang menjunjung tinggi rasa keadilan dan kebenaran. Kesahihan Islam bahkan sudah dijamin oleh Allah Swt. dalam Al-Qur'an surah Ali Imran ayat 19:

إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ    

Artinya: "Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam ...."

Keunggulan dan kekhasan ideologi Islam meniscayakannya memiliki aturan paripurna terhadap semua perkara termasuk konsep kepemilikan yang datang dari Sang Pencipta. Di dalamnya mengatur hak-hak kepemilikan, yakni mana saja lahan yang boleh dimiliki oleh individu, mana milik negara, dan mana pula yang merupakan milik umum. Konsep kepemilikan inilah yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme.

Islam memiliki dua konsep utama yang akan mengakhiri konflik pertanahan sekaligus menjaga keadilan kepemilikan tanah bagi rakyat. Pertama, mengembalikan status kepemilikan lahan sesuai dengan apa yang sudah disyariatkan Allah Swt. Kedua, mengembalikan fungsi negara secara benar sebagaimana yang telah dititahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.https://narasipost.com/opini/09/2023/konflik-pulau-rempang-demi-investasi-rakyat-dipaksa-angkat-kaki/

Dalam Islam, status kepemilikan tanah dibagi menjadi tiga bagian. Pembagian kepemilikan ini akan menghilangkan monopoli lahan baik oleh individu, swasta, maupun negara. Pertama, lahan yang boleh dimiliki oleh individu, seperti lahan pertanian, perkebunan, ladang, dan sebagainya. Kedua, lahan yang termasuk milik umum, seperti hutan, tambang, dan sebagainya. 

Dalam aspek kepemilikan umum, Islam melarang lahan-lahan tersebut dikuasai oleh swasta atau korporasi. Pasalnya, penguasaan lahan oleh swasta atau korporasi akan menghalangi masyarakat untuk memanfaatkannya. Selain itu, penguasaan lahan oleh swasta sangat rawan memicu konflik. Ketiga, lahan milik negara yaitu tanah-tanah yang tidak ada pemiliknya dan yang di atasnya terdapat harta milik negara, seperti bangunan milik negara, dan sebagainya.

Dengan adanya pembagian kepemilikan tersebut, maka siapa pun tidak boleh memiliki lahan yang sudah ditentukan sebagai milik umum meskipun telah diberikan izin atau konsesi oleh negara. Selain itu, Islam juga menetapkan bahwa kepemilikan lahan bersatu dengan pengelolaannya. Artinya, walaupun seseorang memiliki lahan secara sah, tetapi jika tidak dikelola selama tiga tahun maka hak kepemilikan atas tanah tersebut langsung hilang. Pun demikian sebaliknya, jika seseorang menemukan tanah yang tidak tampak ada pemiliknya maka boleh dimiliki dan dikelola. Pengaturan semacam inilah yang akan menjaga kepemilikan lahan oleh individu.

Selain status kepemilikan, Islam pun memiliki penguasa yang bervisi melayani umat dalam segala urusan. Prinsip pelayanan inilah yang membuat negara benar-benar hadir untuk membela hak-hak rakyat tanpa terkecuali, menjamin kepemilikan individu, dan menjamin kepemilikan lahan tersebut sesuai ketentuan syariat. 

Negara benar-benar menjadi pelindung, bukan merampas tanah rakyat demi membela para korporat. Dengan konsep seperti ini pula, maka tidak akan ada perampasan tanah oleh negara atas nama pembangunan untuk kepentingan umum.

Khatimah

Perampasan lahan di Pulau Rempang hanyalah satu dari banyaknya kezaliman penguasa terhadap rakyat. Kezaliman ini akan terus berlanjut selama ekonomi kapitalisme masih dijadikan solusi untuk mengatur persoalan agraria. Satu-satunya pilihan hanyalah kembali pada Islam dan seluruh syariatnya. Pasalnya, hanya sistem Islam di bawah naungan Khilafah yang benar-benar mampu memastikan kesejahteraan rakyatnya. Namun, semua ini baru bisa terwujud jika sistem ekonomi Islam diterapkan dalam bingkai Khilafah. Wallahu a'lam bishawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Waduh, Jualan di TikTok Dilarang?
Next
Pembangunan PLTU,  antara Kesejahteraan Rakyat dan  Oligarki
3.7 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

9 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Wd Mila
Wd Mila
1 year ago

Fix, itu sih bukan relokasi, tapi penggusuran secara sepihak..

Sartinah
Sartinah
Reply to  Wd Mila
1 year ago

Yes, tapi penggususan terlalu kasar mbak, maka harus diganti dengan relokasi. Lucu ya, padahal semua juga tau bedanya penggusuran dan relokasi.

Dyah Rini
Dyah Rini
1 year ago

Masya Allah , jika aturan Islam diterapkan, tidak akan ada permasalahan agraria yang pelik.. Bahkan semua masalah akan tuntas. Karena Islam datang memang untuk menjadi solusi atas seluruh permasalahan manusia. Hanya saja banyak manusia yang tidak mau diatur dengan aturan Islam, malah memilih aturan Kapitalisme yang menyengsarakan umat.

Sartinah
Sartinah
Reply to  Dyah Rini
1 year ago

Betul mbak Dyah. Seharusnya semua kembali pada aturan Islam ya agar tidak ada kezaliman terhadap rakyat

Heni Rohmawati
Heni Rohmawati
1 year ago

Sedih nian rakyat Indonesia dengan peristiwa di Rempang juga di Wadas dan sebelumnya terkait konflik agraria yang akhirnya tetap dimenangkan pihak oligark. Percuma investor seberapapun nilainya, kalau ternyata rakyat yang tak berkenan dianggap musuh negara. Padahal mereka pemilik sah yang sebenarnya diakui oleh UU yg sah. PSN bukti negara mengabaikan dan menzalimi rakyatnya sendiri.

Sartinah
Sartinah
Reply to  Heni Rohmawati
1 year ago

Betul mbak Heny. Lebih sedih lagi, bahwa kezaliman penguasa di Rempang pasti bukan jadi yang terakhir. Akan ada Rempang lainnya yang bernasib sama dengan dalih pembangunan maupun investasi.

Dia dwi arista
Dia dwi arista
1 year ago

Bahaya banget jika misal pemerintah mengeklaim tanah2 tersebut semua milik negara. Rempang jelas sudah berpenduduk sejak 1900an. Tp pulau tersebut disewakan. Zalim

Sartinah
Sartinah
Reply to  Dia dwi arista
1 year ago

Ini zalim tingkat akut memang. Lah, ngapain sibuk menghabiskan miliaran dana untuk bikin UU, toh akhirnya dilanggar sendiri oleh pengasuh negeri ini.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram