Kalaulah imperialisme gaya lama menggunakan invasi militer dan jurus 3G (gold, glory & gospel), maka neoimperialisme menggunakan invasi ekonomi dan politik serta menjadikan militer sebagai perisai pelindungnya.
Oleh. Tsuwaibah Al-Aslamiyah
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Rempang berdarah-darah, warga adat melayu menjadi korban dari ambisi pengusaha kapitalis taipan dengan kedok proyek strategis nasional. Investasi rasa invasi, inilah yang sesungguhnya dialami penduduk Pulau Rempang. Miris, dalam kondisi merdeka, mereka dipaksa angkat kaki dari pulau tercinta oleh pemerintah yang disetir aseng.
Persoalan agraria sering kali muncul sebagai pemicu bentrokan. Begitu pula yang terjadi di Pulau Rempang, masyarakat setempat mengalami kontak fisik dengan aparat resmi negara yakni TNI, Polri, Satpol PP, dan Direktorat Pengamanan BP Batam. Hari itu sedianya aparat akan melakukan Patok Tata Batas dan Cipta Kondisi, intinya pengosongan lahan penduduk untuk dialokasikan pada Proyek Strategi Nasional (PSN) yakni pembangunan Rempang Eco City. Tentu saja masyarakat setempat melakukan penolakan, sebab mereka merasa terusir dari tanah adat yang telah ditempati berabad-abad lamanya sejak zaman nenek moyang mereka. Akhirnya bentrokan pun tak terelakkan, korban luka-luka bergelimpangan, 6 orang warga ditangkap, bahkan anak-anak yang sedang melakukan kegiatan belajar mengajar pun terpaksa dibubarkan, sebab gas air mata memenuhi ruang kelas mereka, walhasil kepanikan dan ketakutan menyeruak. Warga khususnya anak-anak mengalami trauma berat (viva.co.id, 18/9/2023).
Sungguh miris, masyarakat kembali harus berhadap-hadapan dengan pemerintah dalam merebut kembali hak mereka. Lantas, bagaimanakah duduk persoalan konflik Rempang? Betulkah ini demi kebaikan rakyat ataukah justru ambisi investor? Bagaimana sebenarnya pengaturan kepemilikan lahan dalam pandangan Islam?
Sejarah Pulau Rempang
Berdasarkan warkat titah tertulis yang dituturkan oleh Raja Kesultanan Riau, Duli Yang Mahamulia Seri Paduka Baginda Yang Dipertuan Besar Sultan Hendra Syafri Riayat Syah ibni Tengku Husin Saleh, ditegaskan bahwa secara de facto warga Pulau Rempang merupakan kaum pribumi setempat dan bukan kaum pendatang. Mereka adalah keturunan prajurit dari Kesultanan Melayu Bintan yang berganti menjadi Kesultanan Riau-Lingga yang sudah eksis sejak abad ke-11. Leluhur mereka merupakan prajurit yang telah menempati Pulau Rempang sejak masa Kesultanan Badrul Alam Syah I sejak 1720. Kemudian, mereka pun turut maju di medan perang bersama Raja Haji fisabilillah dalam Perang Riau I pada tahun 1782-1784. Berlanjut pada Perang Riau II bersama Sultan Mahmud Riayat Syah (Sultan Mahmud Syah III) pada 1784-1787 (Kompas.com, 17/9/2023).
Uraian sejarah ini termaktub dalam kitab Tuhfat an-Nafis karya Raja Ali Haji (terbit perdana tahun 1890). Berdasarkan bukti tertulis ini, sejatinya masyarakat melayu Rempang memiliki hak atas tanah yang telah mereka huni berabad-abad lamanya, bahkan mereka telah eksis jauh sebelum Indonesia merdeka.
Selain itu, Undang-Undang Agraria menyebutkan, bahwa setiap orang yang telah lama menempati suatu lahan, maka berhak mendapatkan sertifikat hak milik atas lahan yang dihuninya itu. Selain itu, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria juga mengatur mengenai hak tanah ulayat melayu dan memudahkan rakyat untuk mengurus administrasi dan pengelolaan. Bahkan, ada juga aturan khusus di wilayah Kepri yakni Permendagri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat dan Hukum Adat, semua perangkat hukum ini seyogianya mampu memperkuat hujah masyarakat akan hak mereka atas lahan tersebut (mediaumat.com, 29/9/2023).
Akar Konflik Rempang
Konflik lahan di Pulau Rempang telah terendus puluhan tahun silam. Jauh sebelum terbentuknya Badan Pengusahaan (BP) Batam, kawasan ini telah terlebih dahulu dihuni masyarakat lokal dan pendatang. Setidaknya ada 7.500 hingga 10.000 warga yang mendiami 16 kampung adat di Pulau Rempang. Bahkan, warga telah mendiami pulau itu lebih dari seratus tahun sebelum RI didirikan. Klaim ini bukan bualan belaka, terbukti adanya kesaksian dari seorang pejabat Belanda, P. Wink yang pernah mendatangi pulau ini pada 1930 dan mencurahkan hasil kunjungannya dalam artikel berjudul Verslag van een bezoek aan de Orang Darat van Rempang (Kemendikbud Ristek, 2020). Namun sayang, para pejabat negara tak mengindahkan bukti-bukti itu, mereka tetap bersikeras menganggap Pulau Rempang kosong tak bertuan, sehingga secara sepihak diklaim milik negara.
Permasalahannya, masyarakat setempat tak mempunyai sertifikat kepemilikan lahan. Sebab sebagian besar lahan tersebut mulanya adalah kawasan hutan di bawah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Pada Oktober 1971 barulah Otorita Batam (kini dikenal dengan sebutan BP Batam) dibentuk berdasarkan inisiasi BJ Habibie dengan Keppres Nomor 41 Tahun 1973 dengan konsep Barelang (Batam, Rempang, dan Galang), ketiga wilayah ini berada di posisi strategis dan saling bersinergi untuk mendobrak perekonomian masyarakat setempat, terlebih Kepulauan Riau di kemudian hari akan memisahkan diri dari Provinsi Riau. Balerang ini diharapkan bisa menyaingi Singapura sebagai pusat perdagangan dan industri, namun faktanya justru jadi pelengkap dan pendukung ekonomi Singapura. https://narasipost.com/opini/09/2023/konflik-pulau-rempang-demi-investasi-rakyat-dipaksa-angkat-kaki/
Bara konflik Rempang bermula pada tahun 2001. Saat itu pemerintah pusat dan BP Batam mengeluarkan Hak Pengelolaan Lahan (HPL) pada perusahaan swasta yakni PT Makmur Elok Graha. Namun perusahaan tak serta merta masuk untuk mengelola lahan Rempang, di saat yang sama masyarakat setempat yang telah puluhan tahun menempati pulau ini sulit sekali mendapatkan sertifikat kepemilikan lahan. Konflik meledak pada 2023, saat pemerintah pusat, BP Batam, dan perusahaan pemegang HPL beramai-ramai menyambangi dan mulai mengosongkan lahan demi menggarap proyek strategis nasional Rempang Eco City.
Rempang: Eco City atau Ego City?
Pulau Rempang akan disulap menjadi kawasan industri, jasa, dan pariwisata dengan nama Rempang Eco City. Proyek ini akan memanfaatkan lahan seluas 7.572 hektare, tepatnya 45,89% dari total luas Pulang Rempang yang mencapai 16.500 hektare. Bukan hanya itu, di kawasan ini rencananya akan dibangun pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik Xinyi Group. Istimewanya proyek ini masuk dalam deretan Proyek Strategis Nasional (PSN) pemerintah pusat dan dikuatkan dengan adanya Keputusan Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 174 Tahun 2023 Tentang Tim Percepatan Pengembangan Investasi Ramah Lingkungan (Green Investment). Adapun proyek ini digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) yang berafilisi erat dengan pengusaha konglomerat Tommy Winata, pemilik Grup Artha Graha. Proyek ini ditargetkan menyedot investasi hingga Rp381 triliun pada 2080. Demi menyukseskan proyek ini, Kepala BP Batam telah mengerahkan aparatnya sekaligus menginstruksikan TNI, Polri, dan Satpol PP untuk mengosongkan kawasan Pulau Rempang dari seluruh penduduk asli sebelum tanggal 28 September 2023, karena pulau ini akan diserahkan kepada pengembang.
Menteri Investasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, dengan sangat optimis memaparkan bahwa banyak keuntungan yang bakal dicapai dari proyek Rempang Eco City ini di antaranya akan memberikan eskalasi bagi peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan warga Rempang-Galang, terserapnya 30 ribu lapangan pekerjaan bagi warga setempat, terjalinnya kemitraan strategis antara UMKM dengan perusahaan besar, masifnya pembangunan infrastruktur, meningkatnya kesehatan ekologis dan sosial jangka panjang, serta terciptanya legalitas atas hunian penduduk (bpbatam.co.id, 21/9/2023).
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Panjaitan, turut mendukung proyek ini dengan sepenuh hati, bahkan ketika Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) belum finish alias masih proses penyusunan pun, tidak dianggap sebagai masalah atau hambatan, proyek harus tetap dilanjutkan. Ada perbedaan keterangan, pada wawancara sebelumnya Bahlil dengan optimis menyampaikan bahwa proyek ini telah lulus Amdal. Namun apa pun itu, kedua menteri ini setali tiga uang dalam dukungannya pada proyek Rempang (Kompas.com, 29/9/2023).
Berbeda halnya dengan Manager Kampanye Pesisir dan Laut Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia, Parid Ridwanuddin, dia mengatakan bahwa pemerintah tidak menghitung keuntungan investasi Rempang secara utuh dan menyeluruh. Sebab yang menjadi sorotan utamanya hanyalah profit ekonomi yang akan dihasilkan, namun menutup mata akan dampak lingkungan, sosial, dan budaya yang akan ditimbulkan. Jika kerusakan ekologi sampai terjadi, butuh biaya yang lebih besar untuk memulihkannya lagi. Bahkan jika nyawa, humanisme, dan identitas adat lenyap, akankah terbayar dengan materi? (Tempo.co, 29/9/2023)
Bukan hanya membahayakan alam dan mengintimidasi warga setempat, proyek ini berpotensi terjadinya maladministrasi oleh BP Batam dan Pemkot Batam pada rencana relokasi warga Rempang. Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro bertutur bahwa rencana pengalokasian warga tidak sesuai ketentuan, sebab belum terbitnya HPL oleh Kementerian ATR/BPN kepada BP Batam. Salah satu kriteria terbitnya yaitu tidak adanya penguasaan dan bangunan di atas lahan yang dimohonkan (clean and clear), sepanjang belum muncul sertifikat HPL atas Pulau Rempang maka relokasi warga tak memiliki kekuatan hukum. Belum lagi sosialisasi yang belum masif dan tidak tepat sasaran, minim sekali warga yang mendaftarkan diri untuk direlokasi. Diperparah dengan sikap represif aparat kepada warga yang menggelar aksi penolakan, makin menambah runcing persoalan. Penting juga ditelusuri, apakah ada unsur kelalaian negara sehingga warga Rempang sulit sekali mendapatkan sertifikat tanah yang telah turun temurun ditempati? (Ombudsman.go.id, 18/9/2023)
Berdasarkan pemaparan di atas, tampak sekali egoisme penguasa yang disetir pengusaha. Katanya demi kepentingan rakyat, tapi kenapa suara penolakan rakyat justru tak dihiraukan? Bahkan, lembaga-lembaga ilmiah dan sosial yang selama ini getol memantau kebijakan pemerintah telah mengendus bau busuk di balik proyek ini dan memberikan masukan agar proyek ini segera dihentikan dan PSN dicabut. Namun sayang,hanya dianggap angin lalu. Jeritan rakyat senusantara termasuk nasihat para ulama untuk pemerintah agar membela hak warga melayu Rempang tak jua didengar, sehingga tak berlebihan jika proyek ini disebut Rempang Ego City.
Investasi Rasa Invasi
Konflik Rempang ini menggiring kita pada kenangan suram di masa lalu, yakni tragedi pembantaian suku asli Aborigin di Australia, Indian di Amerika Serikat, Maori di Selandia Baru, dll. Penduduk pribumi “direlokasi” alias diusir dari tanah air yang telah mereka huni berabad-abad lamanya, karena para pendatang tidak mengakui kepemilikan warga adat atas tanah mereka. Pengusiran ini berkedok pembangunan, memprioritaskan kepentingan pemilik modal dibanding kehidupan warga adat yang telah terlebih dahulu menempati kawasan itu.
Masih lekat dalam ingatan kita, bagaimana perlakuan Serikat Dagang Belanda (VOC) dan pemerintah kolonial Belanda terhadap penduduk pribumi di nusantara sebelum RI berdiri. Polanya serupa, berawal dari klaim kepemilikan sepihak, warga adat tak dianggap sebagai pemilik sah atas tanah yang mereka tempati, berujung pengusiran dan penguasaan atas lahan adat untuk dijadikan kawasan bisnis raksasa. Mengingat wilayah nusantara yang sangat kaya akan hasil bumi dan keindahan panoramanya, membuat para investor/pengusaha terpesona dan berambisi ingin menguasainya demi meraup untung besar.
Menarik sekali pertanyaan reflektif yang dajukan Margaret Kohn dan Keally Mcbride (2011) dalam studi mereka tentang teori politik poskolonial, “Apakah pemerintah negara bekas jajahan yang sebelumnya menyalahkan rezim kolonial mampu membangun model politik alternatif yang berbeda dari kolonial mereka?” Berdasarkan pengamatan Sianipar (2004), sebagian besar kebijakan yang diambil negara bekas jajahan Eropa cenderung mengikuti arah pandang dan perlakuan yang pernah dipraktikkan oleh pemerintah penjajah mereka di negeri bersangkutan (Kompas.com, 12/9/2023).
Dalam kasus Rempang ini tampak sekali ciri khas kebijakan kapitalisme-liberalisme pada sektor ekonomi yang diadopsi negeri bekas jajahan Belanda ini. Yakni perampasan lahan komunal warga adat oleh pemerintah, kemudian dipersembahkan penguasaan dan pengelolaannya kepada perusahaan swasta. Negara memang mengakui hak ulayat (tanah milik bersama berdasarkan hukum adat), asalkan tidak bertentangan dengan “pembangunan”. Pembangunan yang dimaksud di sini tentu saja berkelindan dengan kepentingan perusahaan swasta (investor). Tak bisa disangkal, sejarah 78 tahun RI mengukir segudang kisah nyata pengusiran warga adat oleh pemerintahnya sendiri. Miris.
Tak dimungkiri negeri ini telah menjelma menjadi korporatokrasi, yakni negara yang penguasanya “disetir” korporasi, politik transaksional menjadi urat nadi, raih cuan tanpa peduli rakyat sudi atau benci. Kalaulah imperialisme gaya lama menggunakan invasi militer dan jurus 3G (gold, glory & gospel), maka neoimperialisme menggunakan invasi ekonomi dan politik serta menjadikan militer sebagai perisai pelindungnya. Siapa pun akan kena libas jika tak sejalan dengan ambisi ini. Maka tepatlah, jika proyek Rempang ini digambarkan sebagai investasi rasa invasi.
Pengaturan Kepemilikan Lahan dalam Islam
Islam bukan sekadar agama, tapi juga ideologi yang memancarkan aturan yang paripurna, manusiawi lagi sesuai fitrah, memuaskan akal, dan mampu memberikan ketenangan hati. Sebagai aturan yang paripurna, tak selayaknya Islam dibatasi ruang geraknya hanya pada ibadah mahdloh, sebab daya jangkaunya jauh lebih luas daripada itu. Islam pantas didaulat menjadi problem solver dari seluruh problematika bahkan yang pelik sekalipun. Namun, hal ini akan bisa terealisasi jika ada institusi negara yang menerapkan syariat Islam yakni Khilafah.
Ketika para ilmuwan, aktivis, mahasiswa, dan intelektual bersuara tentang pembelaannya pada warga adat Rempang, itu dikatakan suatu hal yang wajar. Lantas bagaimana jika para ulama ikut berkoar-koar dan berkomentar terkait konflik Rempang? Apakah mereka dianggap sedang berbicara di luar kapasitasnya? Big no!
Jangan kira Islam hanya mengatur urusan surga neraka, tapi buta urusan agraria. Al-Qur’an yang mulia dan hadis Rasulullah saw. telah membahas dan memecahkan persoalan ini sejak masa Rasulullah saw. menjadi kepala negara di Madinah Al-Munawarah. Islam sangat menjaga harta masyarakat, termasuk lahan. Pemilikan tanah bisa diperoleh dengan berbagai cara yang halal yakni: jual-beli, hibah, hadiah, warisan, dan iqtha (pemberian oleh negara). Dahulu Rasulullah saw. pernah membagikan tanah kepada beberapa orang dari Muzainah dan Juhainah.
Uniknya, Islam pun mengatur mengenai tanah mati, yakni lahan yang tak bertuan atau tanah yang tidak dikelola atau ditempati oleh pemiliknya. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيْتَةً فَهِيَ لَهُ وَلَيْسَ لِعِرْقٍ ظَالِمٍ حَقٌّ
“Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya dan tidak ada hak bagi penyerobot tanah yang zalim (yang menyerobot tanah orang lain).” (HR. At-Tirmizi, Abu Dawud, dan Ahmad)
مَنْ سَبَقَ إِلَى مَا لَمْ يَسْبِقْ إِلَيْهِ مُسْلِمٌ فَهُوَ لَهُ
“Siapa saja yang lebih dahulu tiba pada sebidang tanah, sedangkan belum ada seorang muslim pun yang mendahuluinya, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ath-Thabarani)
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ
“Siapa saja yang mendirikan pagar di atas tanah (mati) maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Ath-Thabarani)
Dalam Islam, lahan mati yang dihidupkan oleh warga dengan cara dikelola (dipagari, ditanami, didirikan bangunan di atasnya), maka secara otomatis hak kepemilikan berpindah tangan ke orang ini walaupun dia tidak memiliki sertifikat atas tanah tersebut.
Oleh karena itu, bagi para pemilik tanah agar tidak mengabaikan apalagi menelantarkan lahannya, sebab hal tersebut menjadikan hak kepemilikannya berpindah ke pihak lain. Batas waktu maksimal penelantaran lahan adalah tiga tahun. Jika sang pemilik tetap tak mau mengelolanya, maka akan diambil paksa oleh Khilafah dan diserahkan pada pihak yang sanggup untuk mengelolanya. Ini berdasarkan ijmak sahabat pada masa Khalifah Umar bin Khattab r.a., beliau pernah berkata: “Tidak ada hak bagi pematok lahan setelah tiga tahun (ditelantarkan).” (Abu Yusuf, Al-Kharaj, 1/77, Maktabah Syamilah)
Camkan, kepemilikan lahan atas warga yang telah puluhan tahun menempati dan atau mengelola suatu lahan tidak bisa dianulir atau diambilalih oleh pihak mana pun, termasuk oleh negara (Khilafah), walaupun mereka tidak memiliki sertifikat atas tanah tersebut. Inilah bukti keadilan dalam Islam, “sesuatu” yang tak bisa diberikan oleh negara kapitalisme-liberalisme seperti saat ini. Sebab, sertifikat itu hanyalah sarana administrasi yang masih berpotensi untuk dimanipulasi, sedangkan keberadaan fisik dan aktivitas penghuni di atas tanah itulah yang akan jadi bukti kuat terkait kepemilikan lahan.
Bagaimana jika terjadi perampasan lahan oleh pihak tertentu tanpa alasan syar’i? Maka perbuatan ini dinamakan ghasab dan masuk kategori zalim. Haram hukumnya memakan harta sesama manusia dengan cara yang batil. Baik dengan perampasan secara langsung atau melalui perantara pihak lain yang memiliki power, pejabat misalnya dengan cara rasuah. Firman Allah Swt.,
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara yang batil. (Jangan pula) kalian membawa urusan harta itu kepada para penguasa dengan maksud agar kalian dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kalian tahu.” (QS. Al-Baqarah: 188)
Nabi Muhammad saw. tidak pernah menoleransi siapa pun yang telah melakukan jarimah (kejahatan) berupa merampas tanah orang lain tanpa uzur syar’i. Ancaman Beliau saw.,
مَنْ أَخَذَ شِبْرًا مِنَ الأَرْضِ ظُلْمًا، فَإِنَّهُ يُطَوَّقُهُ يَوْمَ القِيَامَةِ مِنْ سَبْعِ أَرَضِيْنَ
“Siapa saja yang mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan tujuh bumi kepada dirinya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Jika konflik Rempang ini ingin berakhir, maka penguasa dan pengusaha harus membatalkan proyek ini, legawa mencabut PSN dari kawasan ini, mengembalikan lahan ini pada pemilik sebenarnya yakni warga adat Rempang yang telah berabad-abad lamanya menghuni kawasan ini secara turun-temurun. Agar kemudaratan dan konflik tidak makin melebar. Pertanyaannya, mungkinkah pemerintah mau melakukan hal tersebut?
Sejatinya, ketuntasan kasus sengketa dan perampasan lahan hanya akan bisa terealisasi jika penguasa, pengusaha, dan warga paham serta mau menerapkan aturan terkait agraria yang telah Islam rancang. Tentu saja, bukan hanya dalam satu persoalan itu, sebab ajakan untuk menerapkan syariat Islam bersifat kaffah (menyeluruh) bukan parsial. Itu berarti agar konflik lahan ini tidak terulang kembali di kawasan yang sama atau lainnya, solusinya adalah kembali pada fitrah kita yakni Islam kaffah. Berikut mendukung juga penegakan Khilafah sebagai satu-satunya institusi negara yang mau dan mampu menerapkan syariat Islam secara keseluruhan.
Khatimah
Hanya Islam yang mampu memberikan penjagaan dan keadilan sepanjang masa untuk seluruh makhluk di muka bumi. Pertikaian tanah akan makin rumit jika dieksekusi ala kapitalisme. Dengan penerapan syariat Islama kaffah akan mengundang rida dan keberkahan dari Allah Swt. kepada penghuni langit dan bumi.
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
Solusi tuntas Rempang back to Islam kaffah
Barakallah. Selalu keren tulisannya ❤️
Penjajah menjajah secara bebas dan liar berlindung di balik kebijakan pemerintah yang berselingkuh dengan para korporat.
Rindu Islam kembali tegak di muka bumi, mengusir penjajah dengan gagah.
Selama demokrasi masih mencengkeram negeri ini,, konflik perebutan tanah antara penguasa dan rakyat tidak akan pernah berakhir...
Konflik Rempang pasti bukan yang terakhir di negeri ini. Berkali-kali pemerintah melakukan perampasan lahan warga dengan dalih tanpa sertifikat, untuk pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Tidak aneh memang, sebuah negeri yang telah disetir oleh aseng dan asing pasti akan tega merampas tanah milik rakyatnya sendiri demi kepentingan para korporat. Mantap teh ...
Masyaallah. Comment saya idem Dito dengan yang lain.
Memang Islam sudah didaulat untuk memecahkan seluruh permasalahan umat. Masihkah percaya dengan solusi yang ditawarkan oleh sistem kufur kapitalisme yang tidak bosan-bosannya menyengsarakan rakyat?
Barakallah mba@Nurjamilah
Masya Allah, tulisan yang komplit.
Masyaallah tabarakallah naskah mb Emi emang berdaging mulai fakta analisis hingga solusi semua dibahas mendalam dan tuntas...sangat wajar jika mom memberi gelar mutiara pasundan
MasyaaAllah.... tulisannya dari awal baca tak mau berhenti dan fakta analisis mendalam juga solusi yang jelas dan lengkap dari sudut pandang Islam....
Barakallahu Em... terus tularkan kebaikan dakwah lewat tulisan.
Istikamah
Tante bangga..
Barakallahu fiik
MasyaAllah, tulisan Mbak Nur Jamilah memang mencerahkan umat. Menunjukkan solusi yang jelas dan tegas, yakni penerapan sistem Islam secara kaffah. Sistem paripurna yang tidak ada tandingannya.
Baarakallahufik