Terima kasih pernah menjadi pahlawan dalam ceritaku.
Menjadi tameng untukku.
Menghentikan keluku yang pilu.
Membuang takut yang membisukanku.
Selamat jalan, yang kucinta.
Tenanglah kau di sisi-Nya
Oleh. Deena Noor
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-“Assalamualaikum …” Terdengar suara pria di seberang sana. Sebuah panggilan yang kami tunggu sejak setengah jam yang lalu.
“Waalaikumsalam …” jawab suamiku. Jantungku berdebar. Menerka kabar apa yang hendak disampaikan. Kuseka sudut mataku yang basah. Puluhan menit yang kulalui dengan kegelisahan dan kekhawatiran yang sangat.
Selepas Isya, kami menerima kabar bahwa kakakku mengalami kecelakaan di jalan dan telah dibawa ke rumah sakit. Kami mencoba menghubungi istri kakak, tetapi tidak ada respons sama sekali. Aku paham karena pasti keadaannya sangat repot di sana. Aku bisa bayangkan betapa syoknya mbakku saat mendengar kabar itu. Sama sepertiku.
“Mas, sampun mireng kabar?” lanjutnya dengan suara bergetar. Aku tahu ke mana arah pertanyaannya. Air mata yang kutahan dari tadi bersiap tumpah. Ya, Allah, benarkah kakakku …?
“Innalillahi wa inna ilaihi raajiuun. Sampun kapundut, Mas …"
Tangisku pecah seketika. Bahuku berguncang hebat menampung kesedihan yang tak mampu kukendalikan. Mulutku terbekap pilu. Sulungku memeluk erat mencoba memberi kekuatan. Namun, kakiku terlampau lemah untuk berpijak di bumi. Aku pun jatuh bersimpuh dalam derasnya air mata.
Ini seperti de javu saat bapak pergi meninggalkan dunia ini 23 tahun lalu. Tak kusangka akan mengusap air mata kesedihan yang sama untuk putranya secepat ini. Laki-laki yang menjadi wali nikahku 18 tahun yang lalu itu telah tiada.https://narasipost.com/family/05/2022/dengarkanlah-nasihat-kakak/
Suara jangkrik terdengar dari pekarangan depan rumah. Malam yang hening tak seperti biasanya. Hujan telah usai sedari tadi, tetapi gerimis di hatiku seakan baru mulai. Kepergian kakak yang tiba-tiba ini membuatku tak tahu harus apa. Aku tak tahu bagaimana menyampaikan kabar duka ini pada ibu. Aku tak sanggup.
Akhirnya suamiku yang memberitahu ibu tentang meninggalnya kakak. Pelan-pelan ia berbicara supaya ibu tidak kaget.
Sesaat kemudian kudengar lirih suara ibu memanggil nama kakak. Pilu menyayat hatiku. Tersirat betapa dalamnya kesedihan seorang ibu yang ditinggal pergi putranya. Air matanya menetes dalam kepasrahan di hadapan takdir Sang Kuasa. Oh, ibu …
Seakan tak percaya karena baru sepekan yang lalu kami berkumpul di rumah ini merayakan Hari Raya. Namun kini, kami terpisah oleh kematian. Waktu seperti cepat mengubah keadaan dari kebersamaan menjadi perpisahan.
Harus ikhlas. Meskipun hati berat menerima, tetapi takdir-Nya telah nyata. Inilah jalan-Nya.
Kamis malam pukul 23.00. Puluhan orang berkumpul di halaman rumah. Mereka berdiri ketika sesosok jenazah ditandu keluar dari ambulans. Mobil putih itu telah mengantarkannya menembus malam yang dingin seusai hujan deras. Inilah saat terakhir berjumpa sebelum berpisah untuk selamanya.
Air mataku kembali berlinang. Kesedihan bercampur segumpal sesal karena di saat pertama kali aku mengunjungi rumah baru kakak adalah saat ia meninggalkan dunia fana ini. Bukan dia yang menyambutku di rumahnya, tetapi justru aku yang menyambut jenazahnya. Belum sempat aku menemui kakak di rumah barunya, ia telah 'pindah' ke rumah yang baru lagi.
Memang sudah waktunya. Tak boleh berlarut-larut dalam kedukaan. Segera kami tunaikan hak sang jenazah. Hanya ini yang bisa dilakukan. Mencoba tabah dalam duka yang mendalam. Mencoba mencerna kepergiannya yang begitu mendadak.
Jenazah kakak telah dimandikan dan dikafani dengan baik. Wajahnya tampak biasa. Tenang seperti sedang tidur. Tak terlihat bekas luka parah akibat kecelakaan sebagaimana yang aku bayangkan sebelumnya. Perasaanku campur aduk antara sedih dan lega. Sedihku karena tak ada kami, keluarganya, menemaninya di saat-saat terakhir. Namun, ada seberkas lega karena ia tak terlalu lama menderita. Allah angkat sakitnya segera. Di atas aspal jalanan itulah, ia mengembuskan napas terakhir . Allahu Akbar …
Waktu merayap tak terhenti. Hari pun telah berganti. Peristirahatan terakhir telah disiapkan. Akhirnya, pada pukul 1 dini hari Jumat, jenazah kakak diberangkatkan ke pemakaman. Inilah saatnya perpisahan.
Saudara laki-lakiku yang penyabar itu telah tenang di sisi-Nya. Kenangan berharga bersamanya akan selalu tersimpan. Seperti halnya kisah masa kecil di mana ia menjadi pahlawanku.
Ingatanku pun melayang pada satu masa suram ketika aku masih amat belia. Masa di mana aku mengalami perundungan. Ada sejumlah teman yang merisakku. Mereka mengasariku. Mereka juga sering menyuruhku dengan kata-kata yang menyakitkan. Seakan aku ini tak berharga. Aku sendiri tak tahu kenapa mereka begitu.
Keadaan itu berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Pergi sekolah menjadi terasa berat dan menyiksa. Namun, aku tak bisa apa-apa. Aku harus menahan semuanya karena aku punya tanggung jawab sebagai ketua kelas. Kuabaikan rasa sakitku dan kusimpan sendiri masalah. Miris. Meskipun aku menjadi ketua kelas, tetapi aku tak bisa melindungi diri sendiri dari perundungan. Apalagi melawannya. Makin miris ketika mengingat mereka yang merundungku adalah mereka yang memilihku saat pemilihan ketua kelas. Lantas, untuk apa memilihku jika mereka justru tak menghargaiku?!
Aku berada di titik di mana aku benar-benar sudah tak tahan lagi. Namun, aku tak tahu bagaimana caranya melepaskan diri dari mereka. Aku tak berani bercerita kepada orang tua atau siapa pun. Hingga, tibalah momen memperingati Hari Pahlawan di sekolah. Kami, dari kelas 4-6, mendapatkan kesempatan menonton film perjuangan yang berjudul Soerabaia ‘45 di bioskop dekat sekolah. Aku dan kakak memang satu sekolah sehingga kami berada di tempat yang sama saat itu.
Memang sudah jalan-Nya. Ketika kulihat kakak dari kejauhan, seketika itulah tebersit langkah pelarian. Aku keluar dari barisan kelasku dan masuk ke barisan kelas 6. Masih kuingat betapa jantungku berdebar kencang saat itu. Tujuanku adalah kakak. Aku merasa dialah jalan keluarku satu-satunya. Aku pun segera berlindung di balik punggungnya. Ah, betapa leganya. Satu tahap berhasil kulalui.
Kupegang tas punggung kakak erat-erat. Kakak terkejut dan spontan memintaku kembali ke barisan kelas 4. Namun, aku bersikeras menolak. Aku tak mau lagi ditindas. Aku punya kakak yang pasti mampu menjadi pelindungku.
Teman-teman lain menengok ke arah kami karena aku mulai menangis. Aku tahu mungkin kakak malu. Mungkin mereka mengira aku menangis karena kakak. Situasi yang menimbulkan kesalahpahaman. Namun, lidahku kelu dan aku hanya mampu menangis. Melihatku seperti itu, kakak pun luluh dan membiarkanku mengikutinya.
Pada akhirnya, aku bisa terbebas dari para perundung. Sejak kejadian itu, sikap mereka berubah. Mereka tak lagi kasar padaku atau menggangguku. Meskipun tak ada kata maaf dari mereka, tetapi tidak mengapa. Aku bisa kembali bersekolah dengan tenang. Kehidupan sekolahku kembali menyenangkan tanpa perundungan. Dan itu berkat kakak. Dialah penyelamatku.
Kini, pahlawan masa kecilku itu telah tiada. Dia mungkin biasa saja, tetapi bagiku tidak demikian. Dia tak tergantikan. Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, dia menjadi tokoh penting yang mewarnai perjalanan hidupku. Saat ajal telah nyata menjadi garis pemisah di antara kami, maka merelakan kepergiannya adalah keharusan. Allah lebih berhak atasnya.
Sedih itu pasti. Sebab kita punya rasa dan hati. Kita bukan benda mati. Namun, ketentuan-Nya tak mungkin dimungkiri. Menerima dengan ikhlas tanpa tetapi. Memohon pada-Nya agar memberi waktu untuk memudarkan lara hati. Tak lupa memanjatkan doa terbaik untuk dia yang telah pergi.
Kehilangan memang tak pernah mudah. Apalagi kehilangan saudara sekandung yang kita tumbuh dan dewasa bersama. Ikatan darah tetap melekat bagaimana pun keadaannya. Sakit dan sedih berusaha dikuatkan dengan menyebut nama-Nya tiada henti. Mencoba bersabar dan bersandar pada ketentuan bahwa segala sesuatu di dunia ini tak ada yang abadi. Setiap yang bernyawa pasti mati. Kapan ia menghampiri adalah rahasia Ilahi. Sesungguhnya kita ini sedang menanti.
Semua telah sesuai dengan ketetapan-Nya. Begitu pula waktu yang tak pernah datang terlambat ataupun terlalu cepat. Sesungguhnya hanya pikiran sempit kita yang membatasi waktu sehingga seakan ia tidak tepat. Kematian merupakan ketetapan Allah yang pasti terjadi sebagaimana firman-Nya dalam surah Ali Imran ayat 145: “Sesuatu yang bernyawa tidak akan mati melainkan dengan izin Allah sebagai ketetapan yang tertentu waktunya.”
Tanpa banyak kata
Tak jua satu pertanda
Mengira esok kembali bersua
Nyatanya takdir berkata beda
Ujung waktumu telah tiba
Berhenti bukan jeda
Sekuat apa pun menahan
Tak mungkin melawan takdir-Nya
Terima kasih pernah menjadi pahlawan dalam ceritaku
Menjadi tameng untukku
Menghentikan keluku yang pilu
Membuang takut yang membisukanku
Selamat jalan, yang kucinta
Tenanglah kau di sisi-Nya[]
Terima kasih atas doa2 sahabatku semuanya.. semoga Allah mengabulkannya..
Setelah kepergian yg kita cintai, kenanganlah yg menemani..
Ya Allah Mbak....
Merasakan betapa berat dan sedih ditinggal orang yang kita cintai...
Apa yang Mbak alami terjadi pada diriku... seorang ibu yang berpisah dengan putri bungsu satu-satunya ... karena Allah lebih mencintai dari kedua orang tua dan kedua kakaknya ....
Lahu
Al Fatihah
Buat kakak Mbak Deena
Semoga Allah Swt. menerima semua amal ibadah kakaknya Mbak Deena Noor.
Kisah yang sangat menyentuh.
Kenangan seorang adik akan kakaknya.
Kenangan masa kecil akan selalu melekat meski kita telah dewasa. Bahkan perpisahan dengan saudara atau keluarga yang menemani masa kecil kita akan sangat terasa pedihnya. Namun itulah takdir yang tak bisa kita ubah.
Semua kenangan indah tersimpan sebagai pengobat rindu. Kalimanya mengurai membawa peristiwa seolah tergambar di benak. Semoga dipertemukan kembali di surgaNya
Masyaallah, saya jadi melo mbak, kisah nyata dibalut dengan syair nan indah. Terkadang perpisahan membuat kebersamaan yang lalu begitu manis dan berharga
semoga jannah menjadi tempat abadi baginya.. Aamiin
Ya Allah ... sedihnya ketika ditinggal orang-orang tercinta. Terkadang kerinduan itu benar-benar datang saat orang-orang tercinta sudah tiada. Tapi kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Kita masih bisa melangitkan doa untuk mereka yang tercinta. Semoga kakak mbak Dina mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah Swt.
Selalu ada kisah manis, rindu bercampur pilu mengenang masa kecil di kampung halaman.
Keren karyanya mba Deena Noor
Semoga daku bisa menirunya. Hebat seperti dikau, mohon doanya ya say
Tumbuh bersama dan menjadi pelindung di saat yang tepat, sungguh ketika Allah memanggilnya ada duka yang dalam. Namun, berusaha ikhlas tanpa tapi itulah yang harus dilakukan agar sang kaka damai di sana. Turut berduka atas wafatnya kakak mbak Dina. Semoga beliau berada di tempat yang terbaik di sisi-Nya, diampuni dosa dan khilafnya, aamiin.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiuun..Semoga khusnul khatimah...
Suasana kehilangan dan kesedihan dilukiskan dengan hati,, setiap katanya mampu menyentuh setiap hati para pembaca, hingga larut dalam kesedihan yang dirasakan penulis.. barakallah Mba Deena
Semoga kakaknya diampuni segala dosanya, diterima di sisi-Nya dan diberikan tempah terbaik. Amin.
Masyaallah.
Betapa kesedihan terbayang begitu nyata ketika kita kehilangan orang-orang yang kita cintai.
Semoga almarhum kakaknya mba@Deena mendapatkan tempat terbaik di sisi-Nya.
Duh piluuuuu rasa hatikuuuu...terkoyak rasa lara yang mendalam. Mengapa naskah ini mampu membuatku tak kuasa membendung buliran banyu mata.
Aku mewek bacanyaaaaaaaaa
MasyaAllah, gerimis aku membacanya. Kisah yang ditulis mbah Deena Noor begitu menyentuh jiwa. Kehilangan kakak tercinta.
Semoga Allah Swt. menerima semua amal ibadah kakak, diberi tempat mulia di sisi Allah dan keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan, kesabaran dan keikhlasan
Berlinang saya membacanya mbak...
Semoga almarhum ditempatkan di tempat terbaik nan terindah di sisi-Nya. Aamiin...