Islam memberikan penekanan pada konten, tujuan, dan proses pengumpulan berita harus masuk ke dalam lingkup tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Berbeda halnya dengan pandangan regulasi yang diadopsi media hari ini amat berciri khas pada Barat yang cenderung individualis-pluralis.
Oleh. Laila Hidayati
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Beberapa waktu lalu, masyarakat Indonesia kembali dihebohkan dengan kemunculan salah seorang bakal calon presiden yang menjadi aktor iklan azan di salah satu stasiun televisi. Adanya iklan ini pun menuai pro-kontra di kalangan masyarakat usai viralnya tagar #politikidentitas di Twitter selang kemunculan iklan azan yang kontroversial tersebut.
Menjelang tahun politik, para elite partai mulai mengumumkan capres dan cawapres yang akan diusung pada tahun 2024 mendatang. Tentunya, tidak berhenti sampai di situ saja, berbagai strategi politik dilakukan untuk mendulang massa dalam rangka mencari dukungan suara mulai dari spanduk yang berseliweran di mana-mana, kampanye di masyarakat, hingga strategi branding melalui media.
Dilansir dari laman www.dpr.go.id menyebutkan bahwa, Dewan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah dan penyelenggara Pemilu pun rupanya sudah menyepakati besaran dana pelaksanaan Pemilu pada tahun 2024 mendatang, yakni 76,6 triliun. Angka yang terbilang cukup fantastis ini menggambarkan bagaimana keseriusan para pemangku politik di negeri ini dalam mempersiapkan pesta demokrasi untuk menyambut pemimpin baru yang akan membawa perjalanan dan visi baru untuk kemajuan Indonesia pada tahun-tahun mendatang.
Tak sebatas euforia saja, tentu masyarakat Indonesia berharap dengan pergantian pemimpin ini dapat memberikan secercah harapan baru untuk kemakmuran rakyatnya. Mengingat pada faktanya, Indonesia masih disuguhi kesenjangan mulai dari segi perekonomian, pendidikan hingga berbagai sektor maupun regulasi yang masih saja menuai kritik di masyarakat.https://narasipost.com/opini/08/2021/urgensi-ruhiyah-dalam-meredam-konflik/
Adanya praktik kampanye yang dilakukan elite politik disambut terbuka oleh rakyat terlebih visi- misi yang dipaparkan terlihat sangat menjanjikan bagaimana gambaran kepemimpinan calon kepala negara di masa mendatang. Tak terkecuali branding melalui media yang dilakukan oleh cawapres yang diusung oleh partai PDIP yakni Ganjar Pranowo. Kemunculan iklan azan yang dibumbui dengan semangat spiritual memantik masyarakat untuk melihat sejauh mana karakter calon pemimpinnya, mengingat mayoritas masyarakat di Indonesia sebagian besar beridentitas muslim.
Propaganda Media
Tak bisa dimungkiri, hari ini di era digitalisasi di mana informasi bisa diakses kapan saja melalui media dan mudah menjangkau seluruh masyarakat, hal ini merupakan peluang bagi siapa pun untuk menjadikan media sebagai alat untuk menyampaikan kepentingan politik. Contohnya, di Indonesia pada masa Orde Baru media massa menjadi agen hegemoni dan alat propaganda pemerintah.
Jika melihat dari lingkup geopolitik, rupanya propaganda media sangat berpengaruh dalam perolehan suara. Berdasarkan artikel Denny JA salah seorang penulis asal Indonesia menceritakan bagaimana pengaruh Reddit, sebuah website informasi berpengaruh di Amerika Serikat ini melalui medium The Guardian disusupi propaganda yang dikendalikan Rusia untuk memengaruhi hasil Pemilu Amerika Serikat hingga mampu memenangkan Donald Trump.
Dapat diamati bahwa media menjadi peluang besar bagi elite politik untuk menarik simpati masyarakat. Namun, seolah kehilangan urgensinya, media tidak lagi menjadi sarana penyampaian informasi fakta dan bermanfaat bagi masyarakat. Sebaliknya, dijadikan opini yang cenderung menyampaikan motif terselubung di baliknya.
Contohnya beberapa waktu lalu, arahan wakil presiden saat memeberikan keterangan usai memimpin rapat di Istana. Dalam keterangannya menekankan bahwa media memiliki peran strategis dalam menjaga stabilitas politik menjelang Pemilu 2024. Arahan ini jika ditelisik bersifat tendensius, mengingat pada faktanya selama ini media justru dijadikan alat oleh oknum tertentu untuk mencapai tujuan pribadinya.
Jika menyaksikan situasi faktual yang sedang terjadi, peran negara dalam menyaring informasi agar fakta (kebenaran) tersampaikan di masyarakat sangatlah urgen, namun kebalikannya justru industri media mengemas informasi semata-mata hanya untuk kepentingan komersial atau arus nilai liberal yang serba bebas. Di tambah lagi, media massa mengalami kontradiksi sebagai institusi kapitalisme yang beriorentasi pada keuntungan dan akumulasi modal.
Hingga tak heran, hari ini keberpihakan media terlihat sangat jelas. Propaganda nilai melalui media terus disuguhi demi kepentingan pribadi. Ramainya tagar #politikidentitas usai viralnya iklan azan salah satu cawapres harusnya membuka mata kita bahwa negara berlepas tangan, media kehilangan urgensi, hingga agama pun seolah-olah menjadi bahan pencitraan para elite politik.
Pandangan Islam
Dalam metodologi Islam, sejak awal mempunyai prinsip kerja tersendiri dalam menyampaikan informasi (berita). Penyampaian berita ini diabadikan dalam Al-Qur’an dengan sebutan “Naba” yang berarti berita. Ibnu Taimiyah membagi kabar menjadi kabar baik dan kabar bohong. Kabar baik (shadiq) menurut salah seorang pemikir Islam, Al-Attas haruslah didasari sifat-sifat saintifik atau agama, yang dirwayatkan oleh otoritas agama yang autentik. Dilihat dari otoritasnya, otoritas mutlak yaitu Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber kebenaran tertinggi. Al-Qur’an dan hadis memberikan petunjuk dalam memperoleh dan menyaring berita.
Islam memberikan penekanan pada konten, tujuan, dan proses pengumpulan berita harus masuk ke dalam lingkup tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Berbeda halnya dengan pandangan regulasi yang diadopsi media hari ini amat berciri khas Barat yang cenderung individualis-pluralis.
Islam mendasarkan tanggung jawab sosialnya berdasarkan al’amru bil ma’ruf wannahyu’anil mungkar.
Berdasarkan perspektif politik Islam, media memilki peran strategis untuk mencerdaskan masyarakat. Dalam sistem Islam akan didapati setidaknya tiga fungsi yang bisa di-back up negara dan politik medianya, yakni sebagai perisai, sebagai filter, dan sebagai corong dakwah.
Dalam Islam, mengutamakan kualitas berita sesuai syariat (aturan) Islam adalah yang utama. hal ini didasarkan pada tujuan beramar makruf nahi mungkar (menyeru berbuat baik dan mencegah kejahatan). Sebagaimana firman Allah Swt.,
وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ ۚ وَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”
Sehingga dari sini insyaallah manusia tidak akan seenaknya membuat konten sesuai dengan kepentingan golongan tertentu. Wallahu a’lam bishawab.[]
Udah jadi kebiasaan kalau menjelang pemilu pasti banyak "rubah" yang berkeliaran. Inilah gambaran sistem demokrasi. Na'udzubillah min dzalik.
Iya ih, lucu bin aneh lihat iklannya si dia yang berambut putih itu.
.
Hati-hati, Kawan.
Jangan telan mentah-mentah saat mengunyah menu yang disodorkan media.
sebelum jadi capres ngakunya suka nonton vilm porno, namun makin ke sini makin bawa2 Islam.
Capres lagi ngiklan lewat Azan. Bukan Azan yang diiklanin. Azan gak butuh di iklanin oleh tuh capres.... He he
Betul mbak. Sejatinya media memang memiliki peran strategis dalam menyampaikan kebenaran. Sayangnya, sekarang peran itu hilang. Media justru menjadi corong penguasa, apalagi saat mendekati pemilu, media justru dipakai untuk membangun citra para calon. Ya, kalau aku sih nggak percaya mentah-mentah dengan informasi dari media saat ini terutama soal janji-janji politisi.