Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi sekuler. Siapa yang ingin berkuasa atau ingin menjadi pejabat publik harus mengantongi dana yang besar untuk bertarung dengan kandidat lainnya. Sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal adalah penyebab utama mengapa korupsi itu terjadi.
Oleh. Heni Rohmawati S.E.I.
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Nasib Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kini di ujung tanduk. Pasalnya, ketua Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIB), Megawati Soekarno Putri, menyarankan Presiden Jokowi untuk membubarkan KPK. Ia berujar bahwa KPK tidak efektif memberantas korupsi.
Apa yang disampaikan oleh Megawati adalah kritikan tajam kepada KPK. Hal ini bisa dilihat bahwa tingkat korupsi di negeri ini masih terhitung tinggi. Berdasarkan laporan semester ini, KPK setidaknya menerima laporan sebanyak 2.378 dari masyarakat yang berkaitan dugaan tindak pidana korupsi. Laporan yang sudah diverifikasi sebanyak 2.707 laporan. Data ini didapatkan selama rentang waktu Januari hingga Juni 2023. Dengan urutan daerah tertinggi DKI Jakarta, diikuti Jabar, Jatim, Sumut dan Jateng. (Antaranews, 20/8/2023)
Menuai Beragam Respons dari Berbagai Pihak
Pernyataan Megawati yang menyarankan Presiden Jokowi membubarkan KPK, mengundang berbagai respons. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Novel Baswedan bahwa upaya pemberantasan korupsi adalah hal yang sangat penting dan harus dilaksanakan oleh negara. Sayangnya, pemerintah melalui pengesahan UU dan menentukan pemimpin yang kurang tepat, telah menghancurkan KPK itu sendiri.
Kondisi ini diperparah dengan maraknya kasus korupsi yang dilakukan secara masif. Tak ayal, kepercayaan rakyat makin menurun atas pemberantasan korupsi yang belum signifikan. Demikian juga kepercayaan dunia usaha internasional turut merosot akibat korupsi ini. https://narasipost.com/opini/12/2022/ilusi-pemberantasan-korupsi-di-sistem-demokrasi/
Pro dan kontra pembubaran KPK tak bisa dielakkan. Apabila lembaga antirasuah ini tetap dibubarkan, lantas dengan apa pemerintah Indonesia akan menghentikan laju korupsi yang semakin menggila ini? Dan sedihnya lagi, berbagai badan negara masih belum menunjukkan iktikad baik memutus mata rantai korupsi. Sebagaimana KPU masih mengizinkan 13 mantan terpidana korupsi tetap bisa menyalonkan diri pada pemilu 2024 mendatang.
Pemberantasan Korupsi Setengah Hati?
Korupsi di Indonesia memang telah menggurita. Bantuan sosial seperti PKH saja masih diembat yang merugikan rakyat hingga 127,5 miliar rupiah. Lalu bagaimana dengan kasus korupsi yang merugikan Indonesia hingga triliunan rupiah seperti kasus penyerobotan lahan Riau yang merugikan hingga Rp78 triliun. Bahkan ada kasus yang lebih besar dari itu. Saat ini Indeks Persepsi Korupsi (IPK) berada pada skor 34 dan menempati rangking 110 dari total 180 negara dengan standar Transparancy International (TI). Dengan ini TI memasukkan Indonesia ke daftar negara paling korup. Mahfud Md sangat terpukul dengan hal ini. Ia mengatakan Indeks Persepsi Korupsi di Indonesia terburuk sejak reformasi. (Suara.com, 4/2/2023)
Memutus Mata Rantai Korupsi
apa yang diungkap Transparancy Internationa cukup menyesakkan. Koreksi yang memalukan atas buruknya pelayanan penguasa dan pejabat publik terhadap rakyatnya. Betapa banyak kerugian yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat di negeri ini atas ulah mereka.
Keberadaan korupsi yang makin menjadi-jadi haruslah segera diakhiri. Kapitalisme yang dijadikan orientasi politik dan ekonomi di negeri ini, nyata-nyata telah membuat negeri ini terperosok dalam keadaan yang sangat buruk. Untuk memutus mata rantai korupsi adalah dari asasnya.
Indonesia menganut sistem pemerintahan demokrasi sekuler. Dalam sistem ini, siapa yang ingin berkuasa atau ingin menjadi pejabat publik harus mengantongi dana yang besar untuk bertarung dengan kandidat lainnya. Sistem politik demokrasi yang berbiaya mahal adalah penyebab utama mengapa korupsi itu terjadi. Sehingga orientasi para pejabat yang terpilih tidak lagi mengurus rakyat dengan sepenuh hati, tetapi bagaimana agar modal politiknya bisa kembali.
Tak hanya itu, terkadang seorang calon dari partai politik diberi modal oleh pihak tertentu. Maka, ketika berhasil menjadi pejabat, ia akan ringan hati tunduk pada keinginan pihak pemodal itu. Dengan mudahnya mengabaikan hak rakyat demi kepatuhannya kepada sang penyandang dana politik.
Akhirnya kebijakan yang dibuat diputuskan berdasarkan kapitalis (pemilik modal), bukan karena kepentingan rakyat. Jadilah rakyat yang menjadi korban akibat dosa politik transaksional ini. Hal inilah yang menyebabkan mental pejabat sudah terbeli dari awal. Bukan mental mengurus, tapi mental yang rakus. Lemahnya integritas dan hilanglah rasa amanah dan tanggung jawab terhadap rakyat.
Selain itu, tidak bekerjanya sistem pencegahan. Korupsi yang terus berulang dan merugikan rakyat, menunjukkan tidak adanya mitigasi korupsi. Meskipun KPK telah berusaha, nyatanya mereka bisa menghindar dari delik hukum yang akan menjerat.
Solusi Paripurna
Menghilangkan korupsi di negeri ini bak mimpi di siang bolong selama sistem yang diterapkan adalah sistem demokrasi kapitalisme. Karena sistem inilah yang melahirkan banyak celah melakukan korupsi. Untuk menghilangkan korupsi, hendaklah dimulai dari menghilangkan penyebab pangkalnya.
Karena untuk mewujudkan sistem yang kuat dan adil haruslah ada beberapa poin-poin berikut ini yaitu:
Pertama, ketakwaan individu. Individu yang bertakwa baik rakyat maupun pejabat negara akan mudah mengontrol dirinya dari melakukan keburukan-keburukan. Sebagai dorongan ketakwaan dan rasa takutnya kepada Sang Maha Pencipta. Sehingga, meskipun ada kesempatan, maka ia tak akan melakukannya.
Kedua, kepedulian rakyat. Baik itu partai politik, organisasi apabila melihat penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat negara akan mengingatkan yang bersangkutan. Inilah amar makruf nahi mungkar. Sikap koreksi yang membangun inilah yang dibutuhkan oleh negara dalam menjaga integritas para pejabat termasuk kepala negaranya.
Ketiga, penegakan hukum oleh negara. Ini adalah benteng terakhir yang dilakukan oleh negara. Apabila negara telah menerapkan sistem yang baik. Namun, jika orang-orang yang melanggar, maka hukum harus diberlakukan. Hukum Islam apabila dilakukan akan menimbulkan efek jera yang membuat seseorang tidak akan mengulangi kesalahannya. Bukan hukum yang mudah berubah dan tidak membuat seseorang berhenti dari keburukannya.
Untuk mewujudkan itu semua, diperlukan sebuah negara yang memiliki sistem dan konsep yang utuh tentang kehidupan dan serta sistem yang baik untuk diberlakukan. Tidak lain adalah negara Khilafah yang memiliki konsep yang utuh. Penguasa dalam negara Khilafah bukanlah penguasa yang dihasilkan dari jual beli kursi kekuasaan, melainkan dari pilihan rakyat atas ketakwaan mereka.
Sebagaimana sabda Baginda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Imam adalah pengurus rakyat, dan bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.”(HR. Bukhori)
Demikianlah sistem Islam akan melahirkan para pemimpin yang takut kepada Allah taala sehingga akan bersungguh-bersungguh mengurusi rakyatnya. Dan sebaliknya, sistem demokrasi sekuler telah melahirnya banyak pejabat korup yang tidak takut kepada Rabb semesta alam. Sudah saatnya umat memperjuangkan tegaknya sistem Islam yang akan memuliakan hidupnya.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Kalau bicara korupsi memang kompleks, tidak semata-mata urusan satu pihak, yaitu KPK. Seharusnya semua lembaga negara komitmen pada pemberantasan korupsi. Tapi yang jelas, komando ada di kepala negara. Itulah sebabnya Khilafah dahulu bisa mewujudkan pemerintahan yang bersih, karena khalifahnya tegas dalam menerapkan syariat.
Selama kapitalisme bercokol di negeri ini, kasus korupsi akan terus ada dan makin menggurita. Solusi nyata hanyalah dengan diterapkan syariat Islam.
Miris, ketika korupsi menjadi sebuah tradisi.
Sistem yang datangnya bukan dari Allah akan selalu menimbulkan berbagai permasalahan. Hanya sistem Islam solusi segala problematika kehidupan
Sistem kapitalisme membuka lebar peluang pejabat melakukan korupsi. Dan hal ini didukung dengan pengesahan UU yang mempersulit KPK dalam bertindak. Hari ini, partai bernama Korupsi bersatu menyuarakan penghentian satu2nya lembaga antikorupsi. Karena jika hanya 1,2 pelaku namanya oknum, tp kalau berramai2, namanya partai.
Korupsi oh korupsi yo tidak akan berhenti di dalam kapitalisme. Justru makin disuburkan, karena standarnya saja materi jadi kekuasaan atau pun, jabatan apapun dijadikan sebagai ajang untuk mengumpulkan pundi-pundi materi.
Miris ya, korusi saat ini sudah seperti kanker yang terus menggerogoti negeri ini. Pemberantasan korupsi di tengah sistem demokrasi yang mahal sepertinya hanya akan jadi ilusi. Satu kasus ditangani, akan muncul seribu kasus lainnya.