Islam memiliki solusi terhadap problem tersebut secara fundamental, salah satunya yakni pemberian sanksi tegas bagi pelaku pelecehan seksual dan sanksi tersebut juga memberikan efek jera kepada orang lain.
Oleh. Siti Komariah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Perang saudara di daerah Sudan masih terus mencekam. Perang antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF) yang kembali pecah pada bulan April lalu, tidak hanya banyak menelan korban jiwa, akan tetapi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan pun kian merajalela.
Menurut laporan kantor Hak Asasi Manusia PBB yang telah menerima "laporan yang dapat dipercaya" lebih dari 21 insiden kekerasan seksual terhadap sedikitnya 57 perempuan, dengan sebanyak 20 orang dilaporkan diperkosa hanya dalam satu insiden. PBB juga mengungkapkan bahwa pemerkosaan ini dilakukan sebagai taktik perang untuk meneror orang (suara.com, 03/08/2023).
Latar Belakang Perang Saudara di Sudan
Sudan merupakan negara yang terletak di kawasan Afrika Timur. Sudan resmi menjadi negara berdaulat pada tahun 1956. Konflik di Sudan yang berkepanjangan bermula dari masa kolonial pada abad ke-19 di bawah kekuasaan Mesir-Inggris. Konflik ini disebabkan diskriminasi yang terus dialami oleh etnis Darfur dan marginalisasi yang menimbulkan kekecewaan di antara kelompok etnis Darfur Afrika, akibat sikap pemerintah Sudan yang menempatkan etnis Darfur dalam pemerintahan negara. Akumulasi kekecewaan ini pun diwujudkan dengan pemberontakan gerakan pemerintahan kolonial Inggris. Perlawanan ini pun berlangsung cukup lama, hingga akhirnya pada tahun 1956 Sudan memperoleh kemerdekaan dari Inggris.
Pasca kemerdekaan, konflik Sudan masih terus terjadi dan berkembang menjadi perang saudara, antara Sudan Utara dan Sudan Selatan. Konflik ini dipicu karena pemimpin Sudan Utara yang berharap persatuan bangsa melalui penerapan hukum dan budaya Islam ke seluruh negara. Akan tetapi Sudan Selatan secara tegas menolaknya. Wajib diketahui bahwa penduduk Sudan Utara mayoritas adalah muslim, sedangkan Sudan Selatan adalah Kristen dan agama pribumi populer.
Kesenjangan ekonomi, politik, dan pendidikan antara Sudan Utara dan Sudan Selatan juga merupakan pemicu perang saudara di Sudan. Sudan Selatan menganggap terdapat ketidakadilan antara Sudan Utara dan Sudan Selatan dalam berbagai aspek, sehingga perang masih terus terjadi.
Hingga pada tahun 2005, perjanjian damai dilakukan antara kedua belah pihak dan mengakhiri perang. Dalam perjanjian damai tersebut, Sudan Selatan mendapatkan semi-otonom dan dia menetapkan referendum kemerdekaan. Alhasil, pada tahun 2011 Sudan Selatan resmi memisahkan diri dari Sudan dengan hasil referendum.
Namun, setelah Sudan Selatan memperoleh kemerdekaan. Konflik di Sudan tidak kunjung reda, bahkan lebih mencekam. Konflik ini meletus kembali pada pertengahan bulan April di tengah perebutan kekuasaan antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Paramiliter Pasukan Dukungan Cepat (RSF).
Perebutan kekuasaan terjadi setelah penggulingan penguasa diktator Omar al-Bashir yang juga pendiri RSF sebagai upaya untuk menumpas pemberontakan di Darfur yang dimulai lebih dari 20 tahun lalu karena marginalisasi politik dan ekonomi. Namun, RSF justru menjadi bumerang bagi Bashir sendiri yang digulingkan pada tahun 2019.
Pasca lengsernya Bashir, Sudan berupaya untuk beralih menjadi pemerintahan sipil yang demokratis. Namun, upaya tersebut terus mengalami hambatan yang menimbulkan persaingan dan kekerasan demi berebut kekuasaan. Hingga saat ini, pertempuran antara kedua kubu masih terus terjadi di wilayah Darfur, Khartoum, Sudan.
Hanya Sebuah Kecaman
Konflik yang terjadi di Sudan yang telah menewaskan banyak korban jiwa, menimbulkan krisis kemanusiaan, kelaparan, kekerasan seksual, penyakit, dan ribuan penduduk harus mengungsi, bahkan bisa mengancam seluruh negeri nyatanya hanya mendapatkan peringatan dan kecaman dari pemegang kekuasaan keamanan dunia, yakni PBB dan Amerika Serikat.
Sebagaimana dilansir tempo.co, pada Jumat, 25 Agustus 2023, Amerika Serikat mengutuk konflik Sudan yang meluas yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual. Menurut Departemen AS dari sumber yang dipercaya bahwa kekerasan seksual dikaitkan dengan Pasukan Dukungan Cepat Paramiliter (RSF) dan milisi sekutunya. AS juga meminta kepada kedua belah pihak untuk menghentikan pertempuran dan mengizinkan para warga sipil untuk melakukan perjalanan ke luar kota dengan aman.
Di sisi lain, PBB juga memberikan peringatan dan kecaman terhadap konflik di Sudan. Namun, peringatan dan kecaman tersebut tidak membuat kedua belah pihak yang berseteru bergeming. Gencatan senjata terus terjadi, bahkan lebih mengerikan lagi.
Jalan Perdamaian, Solusi Fundamental?
PBB sebagai badan keamanan dunia seharusnya memiliki wewenang untuk menjaga kedamaian di seluruh dunia. Dia bertugas membantu negara-negara yang terlibat konflik berkepanjangan dan tak kunjung selesai. Namun, seperti biasa PBB hanya menempuh jalur perjanjian damai, sebagaimana yang dilakukan pada konflik Palestina-Israel. Dalam konflik Sudan, PBB pun tidak mampu berbuat apa-apa selain melakukan kecaman. Bahkan hanya sekadar mengeluarkan mosi pun dan menetapkan bahwa konflik di Sudan merupakan pelanggaran hak kemanusiaan yang wajib mendapatkan sanksi, PBB pun mendapat penentangan dari berbagai negara, salah satunya Cina. Mereka beranggapan bahwa konflik di Sudan merupakan konflik internal yang akan terselesaikan oleh penguasa di Sudan.
Jalan perdamaian yang dilakukan PBB untuk menghentikan konflik di Sudan hanya solusi sementara, bukan solusi fundamental. Buktinya perjanjian damai terus dilanggar oleh kedua belah pihak. Konflik terus berlanjut dan semakin mengerikan. Inilah yang mampu dilakukan PBB ketika menyelesaikan masalah konflik antarwilayah. Kecaman demi kecaman dilontarkan. Mediasi demi mediasi dilakukan tanpa hukuman tegas kepada pihak yang melanggar. Padahal, semua itu tidak membuahkan hasil nyata. Tentu kita ingat bagaimana konflik di Palestina-Israel yang juga tidak kunjung reda. Padahal, seharusnya mereka mampu untuk menghentikan konflik tersebut dengan mudah. Karena diketahui bahwa mereka adalah penguasa dunia saat ini.
Selain melakukan jalan perdamaian yang tidak berefek, PBB juga hanya sekadar memberikan bantuan kemanusiaan untuk mengatasi berbagai krisis yang terjadi si daerah Sudan. Padahal, solusi Sudan bukan hanya sekadar jalan perdamaian ataupun pemberian bantuan dana dan memastikan bantuan sampai ke Sudan dengan selamat, namun Sudan butuh kepastian kehidupan yang aman, damai, tanpa gencatan senjata.
Inilah ilusi perdamaian dan hak kemanusiaan di alam kapitalisme. Bukti nyata bahwa sekelas penguasa dunia saja tidak mampu menyelesaikan konflik yang terjadi di berbagai negeri. Begitu pun dengan pemerintahan demokratis yang digadang-gadang akan menciptakan kedamaian antara berbagai ras, etnis, dan seluruh rakyat, nyata pun bagai "tong kosong nyaring bunyinya". Lalu, apakah kita masih berharap dunia akan damai dan sejahtera jika masih berada pada sistem kapitalisme demokrasi? Jawabannya jelas tidak.
Akhiri Konflik dengan Tuntas
Seyogianya konflik yang terjadi antara kaum muslim dan nonmuslim bukan hanya terjadi di Sudan, namun juga di berbagai belahan dunia lainnya. Mulai dari perebutan kekuasaan hingga genosida. Ini membuktikan bahwa dunia butuh pelindung yang mampu untuk melindungi dan menciptakan kedamaian. Perlindungan dan kedamaian tersebut nyatanya hanya ada pada Islam. Pada masa kejayaan Islam, kaum muslim dan nonmuslim yang tunduk pada negara Khilafah hidup berdampingan dengan baik. Hak-hak nonmuslim dilindungi layaknya kaum muslim, harta dan jiwa tidak boleh diusik, jika diusik negaralah yang akan memberikan sanksi tegas.
Islam juga memiliki pandangan yang khas tentang disintegrasi wilayah. Islam memiliki mekanisme untuk menuntaskan konflik-konflik antarwilayah dan menjamin perdamaian di dalamnya. Jika terjadi konflik antarwilayah, seperti bugat (pemberontakan) yang menimbulkan banyaknya korban jiwa, hingga terjadi kelaparan, kekerasan seksual dan lainnya. Islam akan menangani masalah ini dengan serius, apalagi kasus tersebut terjadi akibat penolakan terhadap penerapan hukum Islam.
Dalam mengatasi konflik antarwilayah, seperti yang terjadi di Sudan, Palestina dan lainnya, khalifah akan menerapkan konsep politik perang yakni oleh struktur negara urusan jihad (amirul jihad). Sebab, konflik tersebut dianggap sebagai pemberontakan terhadap suatu negara dan melanggar wibawa negara. Sedangkan melanggar wibawa negara artinya sama dengan menghina Islam sebagai ideologi sebuah negara yang sahih, sehingga Islam akan memberikan sanksi tegas yakni dengan jalan memerangi para pemberontak tersebut, karena hanya dengan cara tersebut konflik dapat dihentikan.
Hal ini sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah saat menjadi seorang khalifah. Rasulullah saw. pernah mengirimkan utusan ke beberapa negeri di luar Madinah, salah satunya Harist bin Umair al-Azdi. Saat ini Haris diutus oleh Rasulullah untuk menemui Raja Bashra, yakni Syarhabil bin Amru al-Ghasani. Namun, Raja Bashra justru menahan, mengikat, bahkan membunuh Harist bi Umair. Hal ini membuat Rasulullah mengirimkan pasukan Mu'th dan terjadilah peperangan yang disebut perang Mu'tah.
Walaupun perang dibolehkan sebagai sarana terakhir untuk menghentikan konflik berdarah, namun ada rambu-rambu syariat yang ditetapkan oleh syarak, yakni tidak boleh membunuh anak-anak dan wanita, serta merusak lingkungan dan sarana prasarana lainnya.
Islam Menjaga Kehormatan Wanita
Islam melindungi dan menjaga kehormatan, serta martabat perempuan karena perempuan merupakan aset bagi sebuah bangsa untuk mencetak generasi-generasi yang cerdas, dan memiliki pemikiran mustanir untuk membawa sebuah peradaban bangsa menuju peradaban gemilang.
Kasus kekerasan seksual memang bukan hal yang baru, namun sudah terjadi sejak masa kepemimpinan Rasulullah saw. Akan tetapi, kasus kekerasan pada masa Rasulullah dan pada masa kejayaan Islam dulu selama kurang lebih 13 abad tidak menggurita dan mengglobal seperti saat ini. Sebab, Islam memiliki solusi terhadap problem tersebut secara fundamental, salah satunya yakni pemberian sanksi tegas bagi pelaku pelecehan seksual dan sanksi tersebut juga memberikan efek jera kepada orang lain.
Sanksi bagi pelaku pelecehan seksual yakni sama dengan hukuman zina. Sanksi itu hanya berlaku bagi laki-laki, sedangkan bagi perempuan tidak dikenakan sanksi karena dia dipaksa. Sanksi tersebut yakni, bagi muhsan dia akan dicambuk dan diasingkan. Sedangkan, bagi ghair muhsan (laki-laki yang sudah menikah) maka dia dihukum rajam hingga mati. Kemudian, kedua kategori di atas juga dikenakan membayar mahar atas perbuatannya, namun dalam hal ini para ulama berbeda pendapat.
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Seorang wanita diperkosa pada masa Rasulullah saw., kemudian hukuman hudud tidak diberlakukan padanya. Akhirnya hukuman hudud tersebut dilaksanakan pada laki-laki yang telah memperkosanya, tidak juga disebutkan ia memberikan mahar kepada sang perempuan (HR Ibnu Majah).
Ini sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah dan Khalifah Umar bin al-Khattab. Pada masa kepemimpinan Rasulullah dan Khalifah Umar, ada seorang perempuan yang diperkosa, lalu Rasulullah dan Khalifah Umar memberikan sanksi sama seperti zina bagi pelaku pemerkosa, namun tidak bagi perempuan.
Allah berfirman, "Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkan dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al An’aam [6] : 145). Ayat ini dijadikan Khalifah Umar sebagai hujah untuk membebaskan si wanita dari hukuman.
Selain itu, penjagaan seorang perempuan pada masa kejayaan Islam juga terlihat di dalam kisah heroik Khalifah Mu'tasim Billah yang menyambut seruan seorang wanita yang dilecehkan oleh orang Yahudi Romawi. Kisah ini tertulis dengan tinta emas sejarah Islam dalam kitab Al-Kamil fi Al-Tarikh karya Ibn Al-Athir.
Pada saat itu ada seorang budak perempuan muslimah dari Bani Hasyim. Saat sedang berbelanja di pasar dan ketika ia duduk, kain bajunya dikaitkan di paku oleh Yahudi Romawi. Saat ia berdiri, seketika tersingkaplah auratnya. Setelah itu, budak tersebut berteriak dan memanggil nama Khalifah Mu'tasim Billah, "Waa Mu’tashimaah!” yang juga berarti “Di mana kau Mu'tasim…? Tolonglah aku!”
Setelah laporan itu sampai, Khalifah Mu'tasim menyambut seruan tersebut dengan mengirimkan puluhan ribu pasukan untuk menyerbu kota Ammuriah (Turki). Menurut riwayat, panjangnya barisan tentara ini tidak putus dari gerbang istana khalifah di Kota Baghdad hingga Kota Ammuriah.
Sungguh penjagaan yang luar biasa kepada para muslimah yang diperlihatkan oleh Islam kepada dunia. Para muslimah benar-benar dijaga dan dilindungi hingga tidak ada yang berani untuk melakukan pelecehan seksual.
Khatimah
Penyelesaian konflik dan penjagaan kepada para muslimah, serta yang mampu menciptakan kedamaian hanya bisa dilakukan oleh Islam. Islam bukan hanya agama ritual, namun dia juga seperangkat aturan untuk manusia. Islam adalah rahmatan lil a'lamin. Di dalamnya telah terdapat berbagai solusi untuk segala permasalah manusia. Oleh karena itu, kita saat ini tidak bisa berharap untuk menyelesaikan konflik atau problem-problem yang membelit manusia, kecuali dengan penerapan Islam kaffah dalam seluruh sendi kehidupan manusia.
Wallahu a'lam bissawab []
Ketika konflik dalam negeri terjadi, perempuan sering menjadi sasaran. Padahal Islam sangat melindungi dan menjaga kehormatan perempuan .
Tidak ada yang tersisa dari sistem kapitalisme kecuali penderitaan berkepanjangan yang menimpa rakyatnya. Penjagaan perempuan di sistem ini pun tak bisa didapatkan seutuhnya. Hanya Islam solusi terbaik dalam menjaga dan melindungi hak seluruh rakyat .
Miris perempuan banyak menjadi korban dari konflik dua negara, Sudan Selatan dan Sudan Utara. Kalau saja masalah tersebut kembali kepada Islam tentu konflik tersebut akan cepat teratasi dan tidak ada yang menjadi korban termasuk perempuan. Berharap ke PBB hanya isapan jempol semata.
Hanya Islam yg betul2 melindungi perempuan mau ditinjau dari sisi mana pun.
Rindu penerapan Islam agar tak ada lagi kekerasan fisik maupun non fisik pada perempuan
So, perempuan berhak bahagia lahir batin
Konflik di sistem kapitalisme memang seperti sudah menjadi tradisi ya, baik antara sesama negara muslim maupun antara muslim dengan nonmuslim. Selama solusi yang diberikan diambil dari sistem cacat kapitalisme, maka konflik akan terus terjadi.
Bener banget mba Sartinah. Solusi ditawarkan adalah solusi yang sejatinya dia adalah biang kerok dari kerusakan hidup manusia. Sama dengan boong.
Makasih mba udah mampir.
Kekerasan seksual terjadi salah satunya adalah karena wanita dianggap sebagai komoditi, barang, atau objek. Berbeda dengan Islam yang menjadikan kedudukan wanita dengan kedudukan mulia, maka untuk mendapatkannya harus melalui mitsaqon gholidzon.
Iya mba Islam sangat memuliakan Wanita.
Syukron mba Dia udah mampir
Yupz betul banget seluruh permasalahan hanya akan tuntas dengan dijalankannya syariat Islam secara sempurna dalam suatu negara.
Rindu Khilafah Islamiyah.
Syukron udah mampir mba Dewi
Umat Islam tersekat ke berbagai negara kecil. Tanpa menyadari bahwa ini kondisi yang sengaja diciptakan Barat. Akhirnya perang tak berkesudahan yang membuat umat disibukkan dan habis energinya oleh sesuatu yang makin memecah belah persatuan.
Yang anehnya mereka seakan menjadi pahlawan. Padahal mereka biang keroknya.
Syukron mba udah mampir.
MasyaAllah Islam begitu sempurna perlindungannya terhadap semua warga negaranya.
Makin rindu dengan junnah dan perisai kaum muslim ya, Mba.
Syukron udah mampir