Sungguh miris, Indonesia yang merupakan penghasil sawit terbesar harus berulang kali menghadapi prahara minyak goreng.
Oleh. Afiyah Rasyad
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Duhai, kemelut minyak goreng di negeri ini seakan enggan berlalu. Sudah belasan purnama, kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng sepertinya betah menemani rakyat yang kian melarat. Bahkan kasus minyak goreng yang berkepanjangan seakan menjadi bola liar yang sangat susah dikendalikan dan dijinakkan.
Ancaman Ritel Menganga
Desas-desus isu minyak goreng terus berkibar di negeri ini. Satu masalah belum usai, terbit lagi masalah lainnya yang tak kalah pelik. Beberapa potret buram prahara minyak goreng kian membara, mulai dari kelangkaan, penimbunan, mafia minyak goreng, korupsi hingga ancaman ritel terhadap negara.
Pengusaha ritel mengancam akan membuat minyak goreng langka lagi di pasaran. Mereka menebar ancaman karena belum mendapatkan kepastian dari pemerintah soal pembayaran utang Rp344 miliar (CNNIndonesia.com, 19/8/2023). Utang negara kepada pengusaha ritel begitu besar dan belum ada kepastian terkait pembayarannya. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) mengaku geram karena belum juga mendapatkan kepastian dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait pembayaran selisih harga minyak goreng (rafaksi) pada program satu harga tahun 2022.
Tampaknya negara memang sengaja tidak segara membayar utang tersebut. Hal itu tecermin dari pernyataan Wakil Menteri Perdagangan, Jerry Sambuaga. Ia menilai langkah yang ditempuh Aprindo tidak akan membuat minyak goreng langka. Ia pun meyakini bahwa masyarakat memiliki banyak akses untuk memperoleh minyak goreng.https://narasipost.com/opini/04/2021/ambruknya-ritel-di-masa-pandemi-bukti-kerapuhan-kapitalisme/
Polemik utang rafaksi minyak goreng ini bermula ketika pemerintah melalui Kemendag menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS). Regulasi ini mengatur tentang biaya yang ditanggung oleh pengusaha guna menyediakan minyak goreng kemasan yang kala itu harganya Rp17.000,00-Rp24.000,00 per liter dan kemudian dijual Rp14.000,00 per liter.
Namun, aturan tersebut telah dicabut dan diganti dengan Permendag No 6/2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit. Lebih lanjut, pada Pasal 10 Permendag No. 6/2022 disebutkan bahwa pelaku usaha yang terdaftar dalam Permendag No. 3/2022 masih dapat menyelesaikan tugasnya untuk mengadakan minyak goreng kemasan hingga 31 Januari 2022 (kompas.id, 19/8/2023).
Tidak adanya landasan hukum itu kemudian menjadi penguat bagi negara untuk santai dalam urusan pembayaran utang rafaksi minyak goreng tersebut. Polemik utang piutang antara negara dan pengusaha ritel ini bisa saja berakhir di meja hijau. Akibatnya, prahara minyak goreng makin menganga, ancaman terhadap negara kian nyata.
Bukan Sebatas Soal Niaga
Sungguh miris, Indonesia yang merupakan penghasil sawit terbesar harus berulang kali menghadapi prahara minyak goreng. Sudah menjadi rahasia umum, negara begitu sering absen dalam pengaturan dan pengelolaan tata niaga pangan sehingga memberikan peluang dan jalan mulus bagi mafia untuk menguasainya. Dari sini, pemenuhan kebutuhan minyak goreng yang merupakan komoditas vital ditempuh melalui jalan kerja sama dengan sejumlah ritel. Dengan demikian, negara tidak memerlukan modal, cukup membayar rafaksi minyak goreng untuk menyetok minyak goreng di pasaran. Itu pun negara kesulitan membayarnya dengan alasan tak ada landasan hukum.
Sayang berjuta sayang, negara lagi-lagi terjebak dan mendapat ancaman serius terkait prahara minyak goreng. Hal itu wajar terjadi sebab negara menganut sistem ekonomi kapitalisme. Negara tak sebatas absen dalam urusan pengaturan dan pengelolaan minyak goreng, tetapi pengelolaan dan pemenuhan segala kebutuhan rakyat diserahkan pada korporasi.
Prahara minyak goreng bukan semata soal niaga, tetapi pandangan negara berupa sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi pemicunya. Dengan diserahkannya pemenuhan hajat hidup rakyat kepada korporasi, negara tak akan pernah mampu berdikari. Jangankan membayar utang ratusan miliar, menentukan visi satu tahun ke depan tanpa intervensi korporasi rasanya sulit dilakukan.
Sistem Ekonomi Islam
Islam merupakan agama sekaligus ideologi. Islam memiliki seperangkat aturan kehidupan, termasuk aturan terkait harga komoditas. Aturan tersebut berasal dari Sang Pencipta dan Pengatur kehidupan. Dalam Islam, negara haram mematok harga barang komoditas apa pun. Negara haram mewajibkan rakyat membeli dengan patokan harga yang telah ditetapkan. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang artinya,
"Harga pada masa Rasulullah saw. pernah membumbung, lalu mereka melapor, ‘Ya Rasulullah, seandainya saja harga ini engkau patok (tentu tidak membumbung seperti ini).’ Beliau saw. menjawab, ‘Sesungguhnya Allahlah Maha Pencipta, Maha Penggenggam, Maha Melapangkan, Maha Pemberi rezeki, dan Maha Menentukan harga. Sesungguhnya aku sangat ingin menghadap ke hadirat Allah, sedangkan tidak ada seorang pun yang menuntutku karena suatu kezaliman yang aku lakukan kepadanya dalam masalah harta dan darah.'” (HR. Ahmad).
Kelangkaan memang bisa saja terjadi, tetapi mematok harga bukanlah solusi. Jika terjadi kelangkaan, menyerahkan pengurusan barang komoditas kepada swasta dan asing juga tidak diperkenankan karena khawatir akan terjadi penimbunan. Negaralah yang harus mengurai kelangkaan itu dengan tatanan syariat Islam dalam urusan mekanisme pasar.
Islam melarang adanya penimbunan atau ihtikar. Negara akan memberikan sanksi kepada siapa pun yang melakukan penimbunan, baik saat stok barang tersedia ataupun langka. Para penimbun harus menjual barangnya sesuai dengan harga pasar.
Apabila terjadi kenaikan harga komoditas karena kondisi tertentu, seperti terjadi perang, paceklik, bencana alam, atau kondisi lain karena krisis politik yang membuat kebutuhan pokok menjadi langka, negara wajib mengambil langkah strategis yang sesuai syariat Islam. Hal itu dilakukan agar negara tetap bisa bertanggung jawab dalam menjamin dan memelihara kemaslahatan rakyat.
Saat terjadi kelangkaan, negara wajib menyediakan barang komoditas yang langka di pasar dengan mendatangkannya dari wilayah lain yang melimpah stoknya. Sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin Khaththab pada masa paceklik yang disebut tahun kekeringan. Saat itu, kelaparan mendera Hijaz. Akibat kelangkaan makanan pada tahun itu, harga langsung melangit, tetapi Khalifah Umar tidak mematok harga.https://narasipost.com/video/tersandera-ekonomi-neoliberal-harga-minyak-goreng-naik-indonesia-tak-berkutik/
Beliau justru mengirim surat kepada para wali di wilayah Syam dan Mesir. Akhirnya beliau berhasil mendatangkan makanan dari Mesir dan Syam ke Hijaz sehingga harga turun tanpa melakukan pematokan harga. Dari sini jelas, peran negara sangat penting dalam memelihara urusan rakyat.
Langkah preventif juga akan ditempuh oleh negara dalam sistem ekonomi Islam. Ada tiga jenis kepemilikan dalam pandangan Islam, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Negara wajib menegakkan kepemilikan sesuai ketentuan syariat. Kepemilikan umum akan dikelola sepenuhnya oleh negara dan didistribusikan untuk pemenuhan kebutuhan rakyat.
Adapun kepemilikan negara yang berasal dari fai, kharaj, jizyah, hima, dan rikaz juga akan dialokasikan pada jaminan pemenuhan kebutuhan asasi rakyat, selain untuk gaji pegawai, pengadaan dan industri senjata, infrastruktur, dan lainnya. Sementara itu, zakat hanya akan diserahkan kepada delapan asnaf (golongan). Kepemilikan individu diserahkan pada tiap individu rakyat, tetapi negara tetap mengontrol agar cara memperolehnya tetap dalam koridor syariat. Apabila berdagang, ia harus jujur, tidak curang, tidak menimbun, dan keterikatan pada hukum syarak lainnya harus diterapkan.
Negara juga akan menegakkan sistem pertanian yang berdaulat. Petani akan didukung dengan progran intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian untuk menciptakan ketahanan pangan dari hulu hingga hilir. Bahkan negara akan memberikan modal bagi petani yang memang membutuhkannya tanpa kompensasi apa pun. Pintu ekspor komoditas vital juga tidak akan sembarangan dibuka. Keran impor akan ditutup rapat, apalagi saat negara panen raya.
Adapun terkait utang, negara tidak akan meliriknya, apalagi sampai menjadikannya sumber pendapatan. Utang adalah sebuah kepastian yang harus dibayar. Islam memang membolehkan negara berutang dalam kondisi tertentu, yaitu ketika baitulmal kosong melompong. Namun, utang itu hanya ditujukan kepada rakyat muslim yang kaya dan tanpa riba. Jika baitulmal alias kas negara telah terisi kembali, utang itu harus segera dibayar, tidak menunggu orang yang memiliki harta menagihnya. Negara haram mangkir bayar utang.
Penutup
Stabilitas harga dan ketersediaan komoditas akan tercipta ketika negara menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh. Penerapan Islam secara kaffah akan melahirkan penguasa, pejabat, dan pegawai negara yang bertakwa, serta kepemimpinan yang amanah dan profesional. Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah, penguasa akan senantiasa berhati-hati dalam berucap, berbuat, serta menetapkan kebijakan sebab mereka sadar akan ada pertanggungjawaban di keabadian. Wallahua'lam bi al-shawab.
Miris banget. Negeri dengan penghasil kelapa sawit terbesar tapi minyak gorengnya mahal. Bahkan meskipun kerja di pabriknya langsung tetap saja harga minyak mahal
Inilah resiko yang akan ditanggung negara jika kebutuhan rakyat diserahkan kepada swasta.
Negara jadi malas memelihara urusan rakyat nggih dan tak paham bahwa mengelola SDA pasti bisa menyejahterakan.
Rindu minyak goreng harga merakyat, tapi kualitasnya nomer 1.
Sepertinya kerinduan mak-mak ini tidak akan pernah terbalaskan ya, Mba?
Krn masalahnya kompleks dan sistemis mulai dari kelangkaan, penimbunan, mafia minyak goreng, korupsi sampai ritel yang main ancam :'(
Betul. Bahka , kerinduan akan harga merakyat itu bukan hanya pada minyak goreng Mbak. Harga komoditas yang murah dan kulitas nomor wahid pun selalu dirindukan.
Sayang, kapitalisme terus jadi penghalang. Kerinduannya jauh panggang dari api
ini salah satu akibat diterapkannya sistem ekonomi kapitalisme..
Inggih, leres
Belum kelar juga urusan minyak ya..
Padahal negeri ini lumbungnya minyak goreng, lo. Begitulah kalau memakai sistem demokrsi, negara pasti tunduk pda korporasi. Kasihan, rakyat yang menanggung derita.
Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Begitulah nasib rakyat
Tata kelola kapitalistik membuat problem minyak goreng terus terjadi. Plus soal utang, negeri ini kok ya memang hobi banget ngutang. Bukan cuma sama asing, tapi di dalam negeri pun begitu. Dan rakyatlah yang paling terkena imbas dari karut-marutnya persoalan minyak ini.
Utang luar negeri ini candu Mbak. Dia akan terus bertambah tanpa tahu cara berkurang. Hiks
Kapitalisme biang masalah, dan terus akan menambah masalah. Bukan hanya masalah minyak goreng, tapi juga masalah lainnya. Rakyat yang selalu jadi korban.
Barakallah, cikgu ❤️
Benar Teh. Rakyat selalu ditumbalkan.
Aamiin.
Wafiik barokallah, Teh
Masyaallah inilah akibatnya jika negara tidak riayah terhadap urusan umat, semua diserahkan kepada korporasi, apa coba manfaat adanya penguasa kalau semua diserahkan kepada korporasi, rakyat terus yang menjadi korban,,
Nah, pertanyaan serupa. Ngapian yack, berkuasa kalau ndak tahu cara mengopeni rakyat? Eh