Sejatinya, keimananlah vaksin terampuh milik kita. Namun, vaksin ini tak gratis. Bahkan cenderung mahal, sebab harus diperjuangkan, menuntut pengorbanan dan keistiqomahan menjalaninya
Oleh. Rengganis Santika
NarasiPost.Com-Wabah Covid-19 yang melanda dunia selama setahun ini, nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Bahkan, realitas yang terjadi justru wabah kian menghebat. Negara-negara Eropa, Amerika latin dan Asia kembali memberlakukan lockdown. Banyak negara membatalkan sekolah tatap muka. Sementara, di tanah air sendiri terjadi peningkatan kasus terkonfirmasi positif. Dalam dua minggu terakhir, peningkatan kasus rata-rata mencapai 5000 an orang per hari, dengan kematian setiap hari rata-rata 120 orang. Situasi semakin sulit, apalagi ketika para pakar medis dan ahli virologi dikejutkan dengan adanya temuan mutasi virus Covid-19 di Inggris.
Fakta ini tentu akan berdampak pada semakin sulitnya penanganan virus karena karakter virus berubah-ubah. Adanya mutasi virus juga mengakibatkan keefektifan vaksin akan terkendala, sebab strain virus telah berbeda. Padahal, penggunaan vaksin saat ini dianggap sebagai harapan satu-satunya untuk keluar dari wabah. Vaksin jadi semacam kabar gembira di tengah kebuntuan solusi mengatasi pandemi. Di sisi lain program vaksinasi global yang tengah gencar disosialisasikan, dan di beberapa negara sudah mulai berjalan, ternyata masih mengundang pro dan kontra dari sisi keefektifan, kehalalan, dan kebahayaannya. Perlu dipahami, bahwa keefektifan vaksin dalam membentuk imunitas ditentukan pula oleh kondisi fisik dan psikis seseorang.
Selain itu, lagu yang akhir-akhir ini "viral" di layar kaca, yaitu "Iman, Imun, Aman", mungkin ada benarnya juga. Dampak keimanan bagi emosional dan psikologi memang sudah lazim. Namun, benarkah iman bisa membentuk imun sebagaimana vaksin? Sejauh mana peran iman dalam mendukung kesehatan serta kesembuhan seseorang?Semua pertanyaan ini penting untuk dijawab. Apalagi, di tengah tragedi kesehatan global saat ini, kesehatan menjadi barang mewah dan sesuatu yang sangat berharga.
Perhatikanlah fenomena yang terjadi di masyarakat, demi kesehatan semua mendadak peduli pola hidup sehat. Memilih makanan sehat, olahraga, bahkan mengkonsumsi obat-obat herbal kini menjadi trend. Termasuk melakukan berbagai aktivitas anti stress. Sebab, imunitas dipengaruhi juga oleh faktor kemampuan pikiran dalam mengelola stress. Sementara, perasaan dan pikiran dipengaruhi oleh tingkat keimanan.
Fakta ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ibu Jo Marchant Ph.D seorang pakar mikrobiologi dan genetik yang bekerja di rumah sakit terkemuka di Inggris. Dalam bukunya yang laris manis menjadi best seller dunia, yaitu "The Cure", ibu Jo bertanya apakah keyakinan pada Tuhan dapat menyembuhkan penyakit? Dalam uraian "Looking for God" ternyata keyakinan spiritual akan keberadaan sang khaliq (pencipta) dan keimanan seseorang terhadap keberadaan Allah atau Tuhan tidak hanya menyehatkan secara emosional, namun juga mampu memengaruhi kesehatan dan kesembuhan secara signifikan. Beberapa penyakit mematikan dan berbahaya seperti jantung, stroke, meningitis dan hipertensi termasuk kanker dapat dihindari, dikendalikan bahkan sembuh dengan keyakinan dan keimanan seseorang.
Bahkan pada penyakit-penyakit ekstrim seperti kasus HIV AIDS, efek keyakinan spiritual sangat berpengaruh. Penelitian yang dilakukan Gail Ironson yang melakukan wawancara terhadap 100 orang yang baru saja terdiagnosis positif mengidap virus HIV AIDS, virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh yaitu sel darah putih (CD4). Sehingga, penyandang HIV akan mudah sakit bahkan berujung kematian. Penderita HIV AIDS (ODHA) diwawancarai tentang keyakinan spiritualnya. 45% memiliki keimanan yang makin tinggi setelah terdiagnosis, 42% tidak berubah atau sama saja keimanannya dari sebelumnya dan 13% justru makin tidak religius.
Hasilnya sangat mengejutkan. Setelah 4 tahun pengamatan, yang 45% ini memiliki kadar virus yang paling rendah dalam sel darah, juga kadar CD4 nya yang tidak banyak berkurang. Bahkan, imunitasnya bertambah dibanding kelompok lain. Dalam sebuah penelitian tahun 2005, pada penderita AIDS dengan keimanan yang baik, setelah 11 tahun tidak menunjukkan gejala sakit apapun, bahkan memiliki kadar CD4 yang baik sehingga tidak memerlukan treatment HIV AIDS.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Kenneth Pargament dan Amy Wachholtz, tentang meditasi sekuler dan meditasi spiritual. Kelompok sekuler diminta memikirkan bahagia dengan frase-frase seperti rumput hijau, taman yang indah. Sedangkan, kelompok spiritual diminta mengingat frase-frase agamawi seperti Tuhan Maha Kasih (dalam Islam Allah Ar-Rahman). Mereka diminta melakukan meditasi setiap hari 20 menit selama 2 minggu. Hasilnya, tingkat toleransi terhadap sakit dari kelompok spiritual lebih tinggi, dan mereka lebih tahan ketika berada dalam kolam dingin 2x lipat daripada kelompok sekuler. Penelitian ini pun dilakukan pada 83 orang penderita migrain, tentu kelompok sekuler lebih mudah merasakan sakit.
Selain itu, keimanan seseorang yang terlibat dalam kelompok dengan tujuan dan visi besar juga bisa memengaruhi kesehatan dan kesembuhan seperti yang dijelaskan ibu Jo Marchant Ph.D. Hidup dengan jama'ah, kelompok, seperti komunitas yang bergerak di bidang sosial dapat menjadi terapi kesehatan dan penyembuhan. Penulis pribadi pun pernah memiliki pengalaman serupa, yaitu, ketika didiagnosis mengalami hepatitis B dan mengidap batu empedu, sehingga harus operasi dengan resiko biaya besar. Alhamdulillah, dengan keyakinan pada Allah ta'ala diiringi dengan ikhtiar yang dilakukan, serta tanpa mengurangi intensitas aktivitas dakwah, seiring waktu tanpa disadari penyakit berangsur pulih tanpa operasi. Sehingga, virus hepatitis B pun dinyatakan negatif.
Sebuah penelitian dalam paradigma sekuler tentu asasnya tak lebih sekedar manfaat, yaitu demi kesehatan. Kita memahami keimanan orang-orang kafir tidak sahih. Namun, sebuah keimanan tak sahih pun mampu memberi dampak penyembuhan. Hal ini, karena hukum alam memang menganut objektifitas berlaku universal, tanpa memandang akidah dan ideologi. Logikanya, tentu bagi kaum Muslimin yang punya keimanan, akidah yang sahih pasti akan berdampak jauh lebih dahsyat. Bukan hanya demi kesehatan saja, namun dapat menjadi daya dorong kuat meraih rida Allah Swt.
Keimanan dalam Islam juga berdampak kolektif, sebab pemikiran Islam yang sahih mampu menjadi obat sekaligus "vaksin" penyakit sosial serta antibodi bagi masyarakat dari virus peradaban saat ini, yakni kapitalisme sekuler. Islam adalah vaksin bagi kegilaan dan ketidakwarasan masyarakat kapitalis. Sebab, kegilaan kapitalisme sudah di luar standar manusia. Dimana, nyawa dan harga diri tak lebih mahal daripada syahwat harta, wanita dan kuasa. Lebih gila lagi, di tengah krisis akut pandemi Covid-19 dan resesi ekonomi, kapitalisme masih bergairah mengais untung dalam kesempitan orang lain!
Masyarakat kini autogalau atas vaksin Sinovac yang belum jelas efektifitas dan kehalalannya. Apa boleh buat senjata iman yang kokoh barangkali bisa jadi semacam analgesik (penghilang sakit) sementara terhadap kecemasan. Pada dasarnya, vaksin yang dianggap canggih pun seperti Pfizer, modern, tak akan ada gunanya bila jiwa kita jauh dari iman.
Sejatinya, keimananlah vaksin terampuh milik kita. Namun, vaksin ini tak gratis. Bahkan cenderung mahal, sebab harus diperjuangkan, menuntut pengorbanan dan keistiqomahan menjalaninya. Sebagaimana yang diungkapkan Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nidzomul Islam(peraturan hidup islam) bab Thoriqul Iman (jalan menuju iman), bahwa iman yang kokoh harus diperoleh dengan cara berpikir agar dapat membawa pada kebangkitan dan perubahan hakiki. Jadi bukan hanya untuk sehat jasmani saja. Iman tidak boleh taklid atau muncul dari perasaan (wijdan), sebab hakikat iman seperti ini adalah iman yang lemah dan rapuh.
Maha benar Allah, kini kita semakin paham mengapa Rasulullah Saw begitu sehat hingga menjelang wafatnya, hanya mengalami 2x sakit, yaitu ketika diracun wanita Yahudi dan jelang wafatnya. Di usia jelang 60 tahun saat manusia modern umumnya ketika pensiun hanya melakukan aktivitas hobi mengurus ikan, burung, tanaman atau ikut klub jantung sehat. Usia yang terkategori nonproduktif, sakit-sakitan, namun Rasulullah memberi contoh di usia 60 tahun fisiknya tetap prima, berkuda memimpin pasukan perang Tabuk ke Syam wilayah Romawi dalam keadaan panas terik dengan logistik minim, tentu dengan kepiawaian pedang Zulfikarnya. Ternyata rahasianya bukan sekadar hidup sehat ala sunnah Rasulullah namun justru yang paling asasi sehatnya beliau karena terinstal iman yang kokoh dan tujuan hidup besar lagi mulia, yaitu tegaknya aturan Allah secara kaffah di muka bumi hingga Islam jadi rahmatan lil 'alamin…
Wallahu 'alam bishawwab[]
Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]