Calon khalifah tidak perlu repot-repot memasang fotonya di mana-mana karena sekadar dikenal saja tidak cukup untuk menjadi seorang khalifah. Melainkan dia harus memiliki rekam jejak keadilan dan kemampuan dalam pemerintahan sepanjang hidupnya.
Oleh. Ragil Rahayu S.E.
(Tim Redaksi NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Bagaimana perjalanan Anda hari ini? Saat berangkat dari rumah menuju tempat kerja, sekolah anak, pasar, tempat mengaji, atau tempat lainnya, kita pasti melewati jalan penuh poster di sisi kanan dan kirinya. Pada poster tersebut, tampak wajah-wajah penuh senyuman, juga slogan-slogan.
Satu, dua, tiga poster terlewati, mungkin kita masih sempat memperhatikan. Namun, ketika kita melanjutkan perjalanan, ternyata sepanjang jalan penuh berisi baliho, poster, spanduk, dll. Tidak hanya di pinggir jalan, tetapi poster juga ada di pohon-pohon, tembok, jembatan, dan di segala tempat sehingga rasa risih mulai mendominasi. Alih-alih simpati, yang muncul justru rasa terganggu.
Ya, demikianlah, pemilu masih tahun depan, tetapi jalan raya sudah menjadi belantara baliho, poster, dan spanduk. Isinya adalah kampanye partai, calon anggota legislatif, calon kepala daerah hingga calon presiden. Sosok-sosok yang selama ini jarang muncul dalam keseharian masyarakat, tiba-tiba wajahnya menghiasi jalan, lengkap dengan senyum lebar dan janji super manis.
Tidak hanya masyarakat yang risih dengan keberadaan belantara poster itu. Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus juga menyampaikan keresahan yang sama. Lucius menyoroti masifnya pemasangan spanduk, poster, dan baliho bakal calon anggota legislatif, partai politik, dan calon presiden di DKI Jakarta. Padahal sekarang belum masuk tahapan kampanye.
Dianggap Sah-Sah Saja
Masa kampanye berdasarkan ketentuan Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah pada 28 November 2023-10 Februari 2024. Akan tetapi, saat ini sudah banyak baliho, poster, dan spanduk yang dipasang sehingga membuat Jakarta menjadi kotor. Sebenarnya saat ini masih masa sosialisasi pemilu, tetapi sudah banyak yang memasang spanduk, baliho, dan poster.
Lucius menyayangkan tidak adanya panduan yang jelas tentang tahapan sosialisasi. Padahal, tahapan sosialisasi cukup lama, yaitu Desember 2022-November 2023. Selain itu, Lucius juga menyoroti peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang terkesan minim mengatasi masalah ini. Bahkan respons Bawaslu kurang memuaskan.
Ketika masalah pemasangan spanduk, baliho, dan poster ini dilaporkan, jawaban Bawaslu selalu standar. Yaitu bahwa yang penting isi spanduk-spanduk itu bukan ajakan untuk memilih pada pemilu tahun depan sehingga tidak terkategori kampanye. Oleh karenanya, menurut Bawaslu, pemasangan spanduk itu sah-sah saja untuk mengisi masa sosialisasi.
Berdasarkan Undang-Undang Pemilu, definisi kampanye adalah meyakinkan pemilih, bukan hanya ajakan untuk memilih. Dengan demikian, spanduk berisi foto-foto bakal caleg merupakan ajang kampanye. Ketika wajah terpampang di mana-mana, pasti ada motivasi untuk meyakinkan pemilih agar memilihnya pada saat pemilu.
Terkait hal ini, Komisioner KPU, August Mellaz menjelaskan bahwa KPU telah memberikan batasan-batasan bagi tahapan sosialisasi oleh peserta pemilu. Namun, pengawasannya menjadi wewenang Bawaslu.
Merespons hal ini, Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja mengungkapkan bahwa sekarang masih tahapan sosialiasi. Pihaknya tidak mempersoalkan pemasangan spanduk-spanduk karena merupakan bagian dari sosialisasi kepada masyarakat. Menurutnya, hal tersebut merupakan bentuk demokrasi. Menurut Rahmat Bagja, jika hanya memanfaatkan masa kampanye yang 75 hari, tidak akan efektif (CNN Indonesia, 12-8-2023).
Suka Melanggar Aturan, Tabiat Demokrasi
Hakikatnya, pemasangan berbagai poster berisi calon peserta pemilu adalah curi start kampanye. Sedangkan sosialisasi pemilu semestinya dilakukan oleh KPU, bukan oleh peserta pemilu. Adapun materi sosialisasi semestinya berisi informasi seputar penyelenggaraan pemilu dengan cara yang netral, tidak mengunggulkan salah satu calon.
Dengan demikian, sosialisasi pemilu hanyalah dalih para calon peserta pemilu untuk curi start kampanye. KPU seharusnya paham trik ini dan tidak terkecoh karena praktik curi start kampanye ini sudah terjadi sejak pemilu-pemilu sebelumnya. Namun, sepertinya memang ada pembiaran, baik oleh KPU maupun Bawaslu.
Praktik curi start kampanye dengan dalih sosialisasi ini sebenarnya adalah pelanggaran terhadap aturan tentang tahapan pemilu. Namun, pihak-pihak terkait yaitu KPU dan Bawaslu melakukan pembiaran dan menganggapnya hal yang wajar saja sebagai bagian dari demokrasi. Ini menunjukkan tabiat demokrasi yaitu suka melanggar aturan yang dibuatnya sendiri.
Tabiat ini tidak hanya muncul di praktik pemilu di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Bahkan di Amerika Serikat, hal demikian pun terjadi, meski dengan cara yang lebih halus. Pada 2016, terjadi kebocoran data pribadi pengguna Facebook di AS. Cambridge Analytica, sebuah perusahaan konsultan politik yang berkantor di Inggris, memanfaatkan data yang bocor itu untuk memetakan karakteristik pemilih pada pilpres AS tahun itu yang hasilnya memenangkan Donald Trump. Padahal praktik seperti ini jelas melanggar aturan, tetapi dibiarkan. https://narasipost.com/challenge-milad-np/10/2022/bertarung-dengan-demokrasi/
Praktik pembiaran pelanggaran aturan di dalam demokrasi tidak terlepas dari asas sekularisme yang mendasari sistem demokrasi. Sekularisme menjadikan politisi mudah melanggar aturan, apalagi aturan itu buatan manusia semata, sanksinya hanya administratif.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem Islam yang mengondisikan umat Islam untuk taat secara total pada aturan Allah taala. Firman Allah taala dalam QS. An-Nisa: 59,
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ
"Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasulullah dan ululamri di antara kalian."
Pelanggaran terhadap aturan Allah akan berkonsekuensi jangka panjang, yaitu hingga ke akhirat. Jika seorang muslim melanggar syariat, dia akan berdosa. Dosa tersebut akan menjadi beban dia hingga hari penghisaban, kecuali dia sudah dihukum di dunia dengan syariat Islam oleh khalifah. Hukuman di dalam sistem Islam juga tegas dan adil sehingga mencegah orang untuk melanggar aturan.
Mekanisme Islam, Sederhana dan Efektif
Praktik curi start kampanye tidak akan terjadi dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah. Syarat in'iqad (pengangkatan) khalifah mencegah hal tersebut.
Seseorang bisa mencalonkan diri menjadi khalifah jika memenuhi syarat: laki-laki, muslim, merdeka, balig, berakal, adil, dan memiliki kemampuan/keahlian. Syarat-syarat tersebut, terutama dua syarat terakhir, merupakan hal-hal yang tidak bisa dibentuk secara instan pada diri seorang calon, melainkan harus melalui proses panjang selama hidupnya.
Seseorang tidak bisa membuat pencitraan seolah-olah dirinya adil atau mampu. Rekam jejaknya seumur hidup yang akan menjadi bukti keadilan dan kemampuannya. Oleh karenanya, calon khalifah tidak perlu repot-repot memasang fotonya di mana-mana karena sekadar dikenal saja tidak cukup untuk menjadi seorang khalifah. Melainkan dia harus memiliki rekam jejak keadilan dan kemampuan dalam pemerintahan sepanjang hidupnya.
Selain itu, waktu pemilihan khalifah sangat pendek, yaitu tiga hari. Oleh karenanya, tidak ada waktu untuk memasang aneka poster, baliho, spanduk, dll. Cukuplah rekam jejak sang calon menjadi politisi selama hidupnya yang menunjukkan kelayakannya untuk menjadi khalifah ataukah tidak.
Walhasil, calon khalifah tidak butuh pencitraan sehingga tidak butuh tebar pesona melalui poster di pinggir jalan. Jalan di Khilafah pun bersih dari berbagai poster yang mengganggu. Wallahu a'lam bi al-shawab.
tes
Pemimpin yang lahir dari sistem Sekuler jauh kualitasnya dengan pemimpin yang lahir dari sistem Islam.. Sistem Islam adalah sistem terbaik sepanjang zaman..
Betul banget, Mbak.
Sepertinya nyaris di seluruh sudut kota di Indonesia, poster dan baliho berhamburan di mana-mana. Sangat merusak pemandangan sih. Apalagi, baliho dan poster itu sangat banyak anggarannya alias pemborosan. Tapi karena para calon di sistem demokrasi butuh mendongkrak elektabilitas, ya dengan pasang poster dan baliho bisa jadi salah satu caranya.
Pencitraan biar glowing instan. Harusnya, glowing beneran, ya. Tapi kualitas calon pemimpin di kapitalisme memang begitu.
Ini salah satu pemborosan dalam sistem demokrasi. Coba buat bantuin rakyat, bisa lebih bermanfaat. Mahalnya demokrasi akan melanggengkan korupsi
Makanya korupsi marak, ya.
Poster bahkan sudah masuk desa desa,, wajah tak pernah kenal bgm bisa memilih ya.. Apalagi kepribadiannya
Nggak pernah muncul, eh, tiba2 nyalon.
Benar, terkadang poster2 tersebut sangat mengganggu. Sesungguhnya eakyat tak butuh poster2 yang harganya bisa ratusan juta sekali cetak. Tapi bukti jika kepemimpinannya amanah. Beda sekali dengan cara intikhob dalam Islam
Nti pas terpilih, korupsi biar balik modal.