Meneropong Arah Pasal Kohabitasi dalam KUHP

Meneropong arah pasal Kohabitasi

Larangan kohabitasi dalam regulasi hanya pemanis bibir saja karena pada faktanya sistem yang ada sangat mendukung. Jika negara melarang kohabitasi secara ketat, maka pasangan wisatawan asing tidak bisa tinggal berlama-lama di Indonesia. Hal ini berpotensi mengurangi jumlah wisatawan dan tentu saja mengurangi devisa dari sektor pariwisata.

Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Yasonna H. Laoly, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham, akan terus menyosialisasikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023. Undang-undang ini dijadwalkan mulai berlaku pada awal Januari 2026. Salah satu pasal yang menuai kontroversi adalah ketentuan tentang kohabitasi atau kumpul kebo. Menurut Yasonna, ketentuan kohabitasi tidak dimaksudkan untuk mengatur hak privasi warga. Sebaliknya, pengaturan kohabitasi ini agar masyarakat tidak main hakim sendiri dan para wisatawan yang berkunjung ke Bali tidak khawatir dikriminalisasi jika menginap di hotel bersama pasangan gelapnya. (detik.com, 10/8/2023)

Lantas, apakah kohabitasi itu? Mengapa menuai kontroversi? Apa akar masalah polemiknya? Bagaimana solusi Islam atas fenomena kohabitasi? 

Kohabitasi dan Kontroversinya

Kohabitasi adalah pasangan yang hidup bersama tanpa pernikahan yang sah. Masyarakat awam mengenalnya sebagai kumpul kebo. Ada fakta menarik bila menelusuri asal istilah kumpul kebo yang  ternyata bukan bentuk sindiran bagi pelaku praktik kohabitasi. Istilah kumpul kebo ini merupakan gabungan kata koempoel yang artinya berkumpul atau bersama dalam bahasa Melayu, sedangkan kata kebo berasal dari gebouw yang bermakna atap rumah dalam bahasa Belanda. Koempoel gebouw artinya bersama tinggal serumah. Dalam perjalanannya, kata gebouw mengalami pergeseran bunyi dan makna menjadi kebo yang berarti kerbau.

Dari sejarah pembentukan istilahnya, ternyata sejak zaman Belanda sudah ada praktik kohabitasi. Akan tetapi, pemerintah Belanda tidak menganggap ini sebagai sebuah bentuk pelanggaran dan perbuatan yang amoral, melainkan hal yang biasa terjadi di negerinya. Oleh karena itu, Belanda tidak memasukkannya ke dalam Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI), yaitu kitab hukum pidana untuk Belanda dan Indonesia. Menyedihkannya, Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie (WvSNI) adalah KUHP yang selama ini digunakan di Indonesia sejak 1918 hingga kini dan akan digantikan oleh KUHP baru 3 tahun lagi.

Di KUHP baru, kohabitasi atau kumpul kebo diatur dalam pasal 412. Pasal 412 terdiri atas 2 ayat. Poin dari ayat pertama menyatakan bahwa setiap pelaku kumpul kebo bisa dipidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda kategori II, sebesar 10 juta rupiah. Ayat ke-1 merupakan delik aduan absolut. Artinya, delik ini hanya bisa diproses jika diadukan oleh orang yang merasa dirugikan, yaitu pihak keluarga. Ketentuan tentang orang yang berhak mengadukan ini terdapat di ayat ke-2. (detik.com, 12/1/2023)

Sejak awal, pasal 412 KUHP baru menuai kontroversi. Kelompok yang pro menilai aturan ini sudah tepat karena kumpul kebo perbuatan yang merusak moral, tidak sesuai norma, dan bertentangan dengan nilai-nilai agama. Sebaliknya, kelompok yang kontra menilai bahwa negara justru mundur jauh ke belakang sebab kumpul kebo termasuk ranah pribadi sehingga tidak sepantasnya diatur-atur oleh negara. Menurut mereka, di banyak negara sudah tidak ada undang-undang yang mengatur kumpul kebo. Indonesia perlu berkaca pada negara-negara yang menjamin kebebasan berekspresi warganya. 

Sementara itu, sebagian kelompok yang kontra lainnya adalah kalangan pengusaha. Mereka menilai pasal ini bisa mengancam laju investasi asing di Indonesia dan melesunya sektor pariwisata yang berakibat pada berkurangnya devisa. Jamak diketahui, wisatawan dan investor asing yang berkunjung ke Indonesia kerap membawa “pasangannya”. Bila tiga tahun lagi KUHP baru ini diberlakukan, terang saja mereka khawatir mendapat sanksi. 

Akar Masalah Polemik Regulasi Kohabitasi

Polemik regulasi kohabitasi atau kumpul kebo dipastikan tidak akan pernah selesai, selama standar penilaian yang digunakan adalah perolehan materi atau untung rugi, bukan pertimbangan agama. Sekularisme mendesain pergaulan laki-laki dan perempuan tidak ada batasan. Ironisnya, ide pergaulan bebas ini dijajakan ke seluruh dunia bahkan di negeri-negeri muslim. Anak-anak kaum muslimin diseret tanpa sadar untuk mendukung perilaku bejat ini. Di sisi lain, lembaga perkawinan tidak lagi menjadi solusi bagi dua orang yang memiliki ketertarikan satu sama lain. Bila sudah begini maka pergaulan bebas menjadi sebuah keniscayaan. 

Sekularisme yang melingkupi negeri ini telah menempatkan agama sebatas urusan pribadi dan memisahkannya dari urusan sosial politik. Ketika agama hanya dianggap sebagai urusan pribadi dan tidak lagi menjadi pijakan kuat dalam bertingkah laku, individu cenderung mengikuti naluri demi memuaskan syahwatnya. Pada akhirnya, mereka tidak ada bedanya dengan hewan bahkan lebih buruk lagi sebagaimana firman Allah Swt. di dalam Al-Qur’an surah Al-‘Araf ayat ke-179 yang artinya, 

“Dan sungguh neraka Jahanam akan kami isi dengan banyak kalangan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati, tetapi tidak digunakan (oleh mereka) untuk memahami ayat-ayat Allah, dan mereka memiliki mata, tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga, tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengarkan ayat-ayat Allah. Mereka layaknya hewan ternak bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lengah.”

Larangan kohabitasi dalam regulasi hanya pemanis bibir saja karena pada faktanya sistem yang ada sangat mendukung. Masuknya pasal kohabitasi dalam KUHP baru sudah ada dalam pertimbangan pemerintah. Jika negara melarang kohabitasi secara ketat, maka pasangan wisatawan asing tidak bisa tinggal berlama-lama di Indonesia. Hal ini berpotensi mengurangi jumlah wisatawan dan tentu saja mengurangi devisa dari sektor pariwisata.

Selain itu, larangan kohabitasi dapat memengaruhi investasi asing. Banyak perusahaan multinasional memiliki karyawan yang berasal dari berbagai negara. Jika negara melarang karyawan mereka untuk tinggal bersama pasangannya tanpa ikatan perkawinan, hal ini dapat menjadi hambatan bagi perusahaan tersebut dalam merekrut dan mempertahankan karyawan. Akibatnya, perusahaan-perusahaan ini dapat memilih untuk berinvestasi di negara lain yang kebijakan kohabitasinya fleksibel atau sama sekali tidak diatur. https://narasipost.com/opini/11/2022/penjagaan-kehormatan-melalui-kebijakan-setengah-hati/

Selain dampak langsung terhadap pendapatan devisa, larangan kohabitasi juga dapat berdampak pada citra suatu negara. Negara-negara yang aturan kohabitasinya ketat dianggap intoleransi atau konservatif oleh komunitas internasional. Hal ini tentu berdampak pada berkurangnya daya tarik negara sebagai tujuan wisata dan menurunnya jumlah wisatawan. Pada akhirnya, pendapatan devisanya berkurang. Negara pun merugi.

Demikianlah, bila larangan kohabitasi menggunakan pertimbangan materi. Pertimbangan agama sama sekali diremehkan. Padahal dampak kerusakannya sangat besar, yaitu menghancurkan tatanan masyarakat mulai dari unsur terkecilnya, keluarga. 

Islam Mengatur Pergaulan Pria dan Wanita

Interaksi pria dan wanita dalam Islam diatur secara ketat. Pengaturannya sama sekali tidak berasaskan manfaat, tetapi semata-mata berdasarkan perintah Allah. Syariat Islam mampu mencegah potensi bangkitnya naluri seksual ketika terjadi interaksi antara pria dan wanita dengan aturan yang sempurna. Sementara di sisi lain, syariat Islam juga dapat mengakomodasi terjadinya aktivitas tolong-menolong antara pria dan wanita demi terwujudnya kemaslahatan masyarakat.

Berikut ini adalah beberapa hukum syarak terkait interaksi antara pria dan wanita yang dikutip dari kitab Sistem Pergaulan Islam, karya Asy-Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani.

  1. Islam memerintahkan kepada pria dan wanita untuk menundukkan pandangannya (ghaddul bashar). Perintah ini termaktub di dalam Al-Qur’an surah An-Nur ayat 30-31.
  2. Islam memerintahkan kepada wanita untuk mengenakan jilbab dan kerudung ketika hendak beraktivitas di luar rumah. Aturan jilbab ini terdapat di dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat ke-59. Sementara itu, aturan kewajiban berkerudung terdapat di surah An-Nur ayat ke-31. 
  3. Islam melarang wanita bepergian sehari semalam kecuali disertai dengan mahramnya. 
  4. Islam melarang seorang pria dan wanita untuk berkhalwat, yaitu berdua-duaan di sebuah tempat yang tidak memungkinkan orang ketiga untuk bergabung wanita mereka tanpa seizinnya. Pengecualian berlaku jika wanita itu disertai mahramnya. 
  5. Islam melarang wanita keluar rumah kecuali atas izin suaminya. 
  6. Islam memerintahkan terpisahnya kehidupan antara pria dan wanita baik di kehidupan khusus maupun di kehidupan umum. Di kehidupan khusus, wanita hidup bersama wanita atau dengan mahramnya. 
  7. Kebolehan interaksi antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan muamalat. Keduanya terlarang untuk berinteraksi secara khusus, seperti saling mengunjungi, apalagi menjalin hubungan mesra tanpa ikatan pernikahan. 

Penerapan sistem pergaulan Islam ini telah berjalan sepanjang tegaknya Khilafah. Dengan hukum-hukum ini, Islam dapat menjaga interaksi antara pria dan wanita sehingga keduanya tetap berada dalam koridor kerja sama demi menggapai kemaslahatan. 

Jika hari ini interaksi antara pria dan wanita sedemikian rusaknya bahkan mendapat dukungan sistem kapitalisme demi meraih devisa sebesar-besarnya, itu tandanya sendi-sendi masyarakat sudah hancur. Pertanda pula untuk bersegera kembali pada syariat Islam.

 ثُمَّ جَعَلْنٰكَ عَلٰى شَرِيْعَةٍ مِّنَ الْاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلَا تَتَّبِعْ اَهْوَاۤءَ الَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ 

“Kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat dari agama itu maka ikutilah syariat itu dan janganlah engkau mengikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Al-Jatsiyah: 18) 

Wallahu a’lam bishawab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Inti NarasiPost.Com
Haifa Eimaan Salah satu Tim Penulis Inti NarasiPost.Com. pernah memenangkan Challenge bergengsi NarasiPost.Com dalam rubrik cerpen. beliau mahir dalam menulis Opini, medical,Food dan sastra
Previous
Ajang Miss Universe, antara Eksistensi dan Eksploitasi
Next
Di Tengah Belantara Poster Kampanye
4.7 3 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

8 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
R. Bilhaq
R. Bilhaq
1 year ago

Apakah mereka menghendaki keuntungan dunia sebesar-besarnya namun memperoleh kerugian sebesar-besarnya di akhirat nanti?

Muthiah Mila
Muthiah Mila
1 year ago

Setelah HIV merebak, eh negara pura-pura kaget..
Tidak tahu bahwa UU dan sistem negara yang telah melegelasasi perzinaan itu yang menjadi akar masalahnya

Sartinah
Sartinah
1 year ago

Memang UU yang dibuat saat ini termasuk tentang kohabitasi tidak bertujuan untuk memutus perzinaan secara total. Ngerinya, kalau ada orang menyaksikan kumpul kebo tapi bukan keluarga atau gak merasa dirugikan secara pribadi, gak perlu lapor. Wah ...

Haifa
Haifa
Reply to  Sartinah
1 year ago

Betul, Mba. Adanya pasal ini justru menunjukkan kalau negara sangat sekuler

Hanimatul Umah
Hanimatul Umah
1 year ago

sekarang ini pergaulan makin bebas sejalan dengan sekularisme yang makin kuat di masyarakat, benteng keluarga dan masyarakat tak mampu melindungi, bahkan cenderung lumrahisasi, hanya negara yang mampu membendung arus itu, namun kini kekuatan negara pun rapuh oleh sistem yang rusak, hanya negara yang berasas bersumber dari wahyu Ilahi yang dapat melindungi kerusakan moral bangsa.

Haifa
Haifa
Reply to  Hanimatul Umah
1 year ago

Menyaksikan kerusakan yang ada, jadi semakin rindu dengan tegaknya khilafah

Dia dwi arista
Dia dwi arista
1 year ago

UU ini tetap saja menjadi penyokong kapitalisme. Meski dr luar tampak baik karena mengatur kohabitasi. Ternyata hanya untuk yg merasa dirugikan atau hanya pihak keluarga yg bs melaporkan. Faktanya, mana ada keluarga yg mau menjebloskan anaknya ke penjara gara2 kumpul kebo? Paling dinikahkan.

Haifa
Haifa
Reply to  Dia dwi arista
1 year ago

Betul, Mba. Sejatinya kohabitasi hanya eufemisme dari kumpul kebo. Biar keluarga dan pelaku ga malu, jadilah mengadopsi istilah kohabitasi.

bubblemenu-circle

You cannot copy content of this page

linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram