Bank Dunia menyarankan agar pemerintah meningkatkan cakupan, kecukupan, dan sasaran paket perlindungan sosial. Pemerintah juga perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan memprioritaskan program ini untuk melindungi masyarakat yang miskin dan lemah.
Oleh. W. Wardani
(Peggiat Medsos)
NarasiPost.Com-Pendemi covid-19 telah berlangsung hampir satu tahun. Seiring dengan pendemi tersebut, permasalahan di berbagai aspek kehidupan pun bermunculan. Walau sebenarnya permasalahan tersebut sebelum pendemi sudah ada. Seperti meningkatnya jumlah pengangguran, tingginya angka kemiskinanan, meningkatnya kasus kriminalitas, lambatnya perputaran roda ekonomi dan berbagai persoalan lainnya. Namun pendemi memperparah permasalahan tersebut. Ancaman krisis multidimensi terbayang di depan mata, jika pendemi ini tidak segera berakhir.
Untuk memitigasi dampak covid-19, pemerintah Indonesia membuat berbagai program pengaman sosial. Diantaranya pemberian bantuan sosial (bansos), pemberian Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada pekerja, serta bantuan lainnya. Bank Dunia menyampaikan bahwa stimulus program perlindungan sosial dari pemerintah merupakan kunci untuk menyelamatkan perekonomian masyarakat dari krisis covid-19.
Besaran anggaran yang dialokasikan untuk mitigasi dampak covid-19 dinilai oleh Bank Dunia sudah cukup. Dengan catatan, harus diimplementasikan segera dan tepat sasaran. Hasil stimulasi Bank Dunia, menyatakan, kalau pemerintah tidak memberikan perlindungan sosial, maka sebanyak 8,5 juta masyarakat Indonesia bisa terperosok ke dalam jurang kemiskinan akibat krisis ini. (Nasional kontad.co.id, 20-12-2020).
Sayangnya eksekusi pemberian bantuan sudahlah lambat, salah sasaran pula. Demikian kritik yang disampaikan banyak pihak termasuk Bank Dunia. Program tersebut disinyalir tidak menyentuh kelompok yang seharusnya mendapatkan, yaitu mereka yang terdampak dari sektor informal.
Bank Dunia menyarankan agar pemerintah meningkatkan cakupan, kecukupan, dan sasaran paket perlindungan sosial. Pemerintah juga perlu memperhatikan dengan sungguh-sungguh dan memprioritaskan program ini untuk melindungi masyarakat yang miskin dan lemah.
Namun yang menjadi pertanyannnya, apakah cukup dengan memperluas cakupan program, mitigasi pendemi covid-19 akan sukses? Apakah cukup dengan memperbaiki mekanisme prosedur penyaluran bantuan akan menyelesaikan permasalahan? Dalam artian bisa menghindarkan jutaan orang tergelincir dari jurang kemiskinan?
Seperti yang telah kita ketahui, sejak kemerdekaan, negeri kita berkhidmat pada sistem demokrasi, yakni sistem yang lahir dari rahim sekulerisme dan berpijak pada asas liberal dan kapitalis. Sistem yang berbiaya mahal. Untuk bisa menduduki jabatan tertentu banyak modal yang dikeluarkan. Entah itu modal sendiri atau menggaet para cukong. Akhirnya setelah menjabat, orientasinya adalah bagaimana mengembalikan modal yang telah dikeluarkan atau membalas budi para cukong tadi. Jalan pintasnya pada akhirnya dengan memanfaatkan program-program demi meraih keuntungan pribadi. Urusan menjalankan tugas dikesampingkan
Ditambah adanya pemahaman tolak ukur perbuatan adalah asas manfaat. Mana yang memberikan manfaat akan diembat, tidak peduli kalau itu bukan haknya. Para tikus berdasi itu tidak memikirkan bahwa setiap perbuatan nanti akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah di yaumul hisab nanti. Sungguh sangat sekuler. Mereka memisahkan agama dari kehidupan, yang memang diniscayakan dalam sistem demokrasi. Jadilah praktek korupsi marak terjadi.
Lihatlah korupsi dana program bansos secara berjamaah oleh Mensos dan kroninya. Perbuatan yang tidak tahu malu, mengambil hak rakyat miskin. Akibatnya pengentasan kemiskinan hanyalah oase.
Banyaknya program dan cakupan luasnya kenyataannya tidak menjamin keberhasilan pengentasan kemiskinan. Penyelesaian salah sasaran dengan mekanisme kapitalistik seperti perbaikan prosedur bukanlah solusi mendasar. Karena permasalahan yang sebenarnya terletak pada sistemnya, yaitu sistem demokrasi. Itulah mengapa kemiskinan nampaknya tetap mendera negeri kita. Bukan karena rakyatnya yang malas. Tetapi karena sistem demokrasi ini yang menoleransi lahirnya kemiskinan massal atau kemiskinan sistemik. Kemiskinan yang diakibatkan karena sistem yang salah untuk mengurusi rakyat.
Penyelesaian masalah kemiskinan yang tidak mendasar, seperti mengganti prosedur ataupun program, hanya akan mereproduksi problem sejenis. Tidak ada ujung pangkal penyelesaiannya, selama sistem demokrasi ini masih dipertahankan. Untuk itu, sudah selayaknya sistem cacat ini dicampakkan. Diganti dengan sistem sahih yang mampu menuntaskan masalah kemiskinan secara permanen.
Bertolak belakang dengan sistem demokrasi, sistem Islam tegak di atas akidah yang sahih, mempunyai seperangkat aturan untuk mengatur kehidupan atas dasar ketakwaan kepada Allah. Maka negara akan menjalankan fungsinya sebagai pengurus umat dan memastikan diterapkannya hukum syara.
Negara akan menjaga tingkat ketakwaan individu dan masyarakat. Kontrol dari masyarakat akan dibudayakan. Dengan demikian penyelewengan dalam menyelenggarakan pemerintahan akan diminimalisasi.
Masalah kemiskinan sangat erat dengan masalah perekonomian. Keterbatasan akses rakyat miskin kepada sumber daya mengakibatkan kesenjangan antara si miskin dan si kaya. Untuk mengatasi hal tersebut, dalam sistem Islam dikenal adanya pengaturan masalah kepemilikan.
Kepemilikan menurut Islam adalah izin dari Allah kepada seseorang atau sekelompok orang atau negara untuk memanfaatkan suatu barang. Kepemilikan dibedakan menjadi 3 yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara.
Kepemilikan individu adalah semua barang yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak dan jumlahnya tidak terlalu banyak. Sebab-sebab yang dibolehkan Islam untuk mendapatkan kepemilikan indvidu bisa melalui bekerja, pewarisan, hibah dan sedekah atau pemberian cuma-cuma dari negara. Adanya pemilikan individu ini akan memotivasi orang untuk giat bekerja. Apalagi negara menjamin adanya berbagai lapangan pekerjaan.
Sedangkan kepemilikan umum adalah segala barang atau benda yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti barang tambang, hutan, laut, dll. Dalam kepemilikan umum ini negara boleh mengelola dan mengatur pemanfaatannya. Pengelolaan SDA oleh negara akan membuka banyak lapangan kerja. Kemudian hasil pengelolaannya dikembalikan kepada rakyat. Bisa diwujudkan dalam pembangunan fasilitas kesehatan, pendidikan, transportasi dan sebagainya.
Yang terakhir, kepemilikan negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum Muslim. Pengaturan dan distribusi harta kekayaan tersebut diserahkan kepada kepala negara. Contohnya zakat, pajak dari orang kafir dzimni (jizyah), pajak dari tanah taklukan (kharaj), ghanimmah, harta orang murtad dan harta orang yang tidak mempunyai hak waris.
Selain masalah kepemilikan, dalam Islam juga diatur masalah distribusi kekayaan. Pengaturan distribusi kekayaan ini dilalukan melalui mekanisme sebagai berikut. Pertama, adanya kewajiban zakat dan pembagiannya kepada 8 golongan orang yang berhak menerima zakat. Kedua, pemberian hak kepada seluruh masyarakat untuk memanfaatkan harta milik umum. Ketiga pemberian kepada seseorang dari harta negara dan pembagian harta warisan.
Dengan menerapkan sistem Islam, kebutuhan pangan, sandang, papan, pendidikan, kesehatan dan keamanan akan dipenuhi oleh negara. Indikator ekonomi tidak diukur hanya berdasarkan angka, namun fokus pada pemenuhan kebutuhan pokok per individu. Dengan demikian ketika ada individu yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, akan diketahui dengan cepat, dan diatasi dengan segera. Tidak menunggu rakyat menjadi miskin. Tidak menunggu hujaman kritik. Dengan demikian bisa dikatakan sistem Islam solusi tuntas berantas kemiskinan. Wallahu a’lam[]