Buntut Panjang Pembakaran Al-Qur’an, Indikasi Cacatnya Liberalisme

Pembakaran al quran di Swedia

Karena itu, islamofobia sebenarnya merupakan indikasi dari liberalisme, buah pemerintahan sekuler. Redupnya kehadiran agama di ruang publik, justru menempatkan minoritas Islam dalam posisi sulit.

 

Oleh. Muthiah Al Fath
(Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Liberalisme di Swedia tengah berjalan menuju level yang mengerikan. Sikap rasisme dan islamofobia yang berlindung di bawah tameng HAM menimbulkan polemik yang mengancam keamanan Swedia. Di sisi lain, kebebasan berekspresi yang menjadi asas demokrasi tersebut membuat pemerintah Swedia harus memutar otak untuk melarang aksi pembakaran Al-Qur’an.

Menanggapi isu ini, Perdana Menteri (PM) Swedia Ulf Kristersson menggelar pertemuan bersama PM Denmark Mette Frederiksen guna mencari solusi atas masalah ini. Pasalnya, pihak polisi Swedia sebenarnya pernah melarang pembakaran Al-Qur’an, namun pihak pengadilan menolak dengan dalih kebebasan berpendapat (CNN Indonesia, 1/8/2023).

Liberalisme Menuai Polemik

Aksi pembakaran Al-Qur’an yang terus berulang akan memicu kemarahan negeri-negeri muslim, tak terkecuali umat Islam yang berada di Swedia. Situasi akan memanas dan berbahaya jika negara tidak bijak menanggapi permasalahan kebebasan yang kebablasan ini. Aksi penghinaan terhadap kitab suci tersebut akan berdampak negatif dan mengancam “keamanan” internal Swedia.

Rentetan aksi rasisme terhadap Islam di Swedia acap kali berujung bentrok. Aksi ini akan memancing kemarahan warga, terlebih dilakukan di wilayah kaum muslim, seperti di depan Masjid, serta Gedung Kedutaan Turki dan Irak. Misalnya saja, pada 28 Agustus 2020, aksi pembakaran Al-Qur’an di Rosengard berujung ricuh.

Bagaimana tidak, pihak kepolisian tampak mengawal dan melindungi kelompok pembakar Al-Qur’an dengan dalih telah mendapat izin dari pengadilan Swedia. Saat yang sama, menyuruh masyarakat yang mengecam aksi keji tersebut untuk menggunakan akal sehat dan tidak menggunakan kekerasan terhadap para pelaku.

Banyak pihak yang menyayangkan sikap pihak kepolisian tersebut. Akibatnya, pihak polisi dilempari batu hingga beberapa mengalami patah tangan dan kepalanya terkena lemparan batu. Kerusuhan tersebut menyebabkan tiga polisi harus dibawa ke rumah sakit dan dua orang lainnya ditangkap.

Selain itu, aksi pembakaran Al-Qur’an telah menyulut kemarahan publik global dan menciptakan krisis politik antara Swedia dengan negeri-negeri muslim. Sejumlah negara memboikot produk-produk Swedia, salah satunya supermarket di Qatar. Kemudian, Turki menolak permintaan Swedia yang mengajukan diri bergabung bersama NATO.

Dampak negatif akibat liberalisme telah nyata. Meskipun begitu, polisi dan pengadilan Swedia berbeda pendapat mengenai boleh atau tidaknya aksi pelecehan terhadap agama apa pun di depan umum. Oleh karena itu, ada masalah yang layak didiskusikan mengenai cacatnya demokrasi liberal ini. Setidaknya, banyaknya kasus ini menunjukkan kelemahan mendasar liberalisme yang terlampau menekankan pada kebebasan individu, namun abai memperhatikan batasan-batasannya. Alhasil, negara terkesan melindungi dan memfasilitasi tindakan ekstremis yang telah melukai hati umat Islam.

Liberalisme Buah Pemerintahan Sekuler

Sebenarnya, Swedia pernah menerapkan UU Penistaan Agama, namun hukum itu dihapus sekitar tahun 1970-an. Semenjak itu, ruang publik berubah menjadi arena sekuler, sehingga tidak ada pelarangan ujaran kebencian, provokatif, ataupun promosi kebencian lainnya. Oleh karena itu, jangan heran jika aksi pembakaran Al-Qur’an sah-sah saja di bawah UU Kebebasan Berpendapat.

Sejatinya, liberalisme merupakan anak kandung sekularisme yang lahir setelah terjadinya penindasan gereja pada abad pertengahan. Hal ini membuat pemerintahan Barat menolak intervensi agama sama sekali. Meskipun masih mengakui eksistensi agama, namun hukum negara, seperti penentuan standar legal atau ilegal, semua bersumber dari akal manusia.

Akibat pandangan hidup inilah, hukum dan aturan negara bersifat pragmatis. Kebijakan dibentuk dan dibatalkan berdasarkan asas manfaat. Karena itu, demi menghindari kecaman negeri-negeri muslim, pemerintah Swedia mulai mempertimbangkan membuat undang-undang atau hukum yang melarang penghinaan agama. Artinya, jika tidak ada kecaman dan aksi protes oleh publik maka pemerintah Swedia tetap membiarkan siapa pun untuk menghina Islam.

Ketidakkonsistenan konsep hukum sekularisme membuat keadilan sosial bagi kelompok minoritas begitu mahal. Lihatlah, bagaimana pihak kepolisian membuat garis polisi untuk melindungi pelaku penista agama. Saat yang sama, pihak yang dihina disuruh bersabar meskipun kitab suci mereka dibakar di depan matanya. Padahal, secara fitrah, manusia akan marah jika agama dan kepercayaannya dihina.

Pandangan sesat inilah yang membuat masyarakat Barat tidak mengharmonisasikan antara kebebasan dengan kewajiban. Kebebasan diimplementasikan untuk kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan konsekuensinya, apakah akan melukai hati orang lain atau tidak. Tentu saja, kebebasan seperti ini akan menindas dan menghancurkan manusia lain, sebab manusia rentan menyalahgunakan kekuasaannya.

Akan berbahaya jika kebebasan tanpa batas senantiasa dilindungi oleh negara. Seperti halnya izin melecehkan ajaran Islam yang dikeluarkan otoritas Swedia. Sebenarnya hal ini mencerminkan bahwa Islam tidak diterima dan dihormati di negara tersebut. Padahal, kebebasan yang kebablasan tersebut dapat dicegah melalui perangkat hukum yang tegas.

Jelas sudah, akibat liberalisme, dekadensi moral manusia makin lama makin rusak. Semua diperparah masifnya konten-konten ujaran kebencian yang tersebar tanpa filter dan kendali penguasa. Lihatlah, bagaimana Salwan Momika telah melakukan aksi pembakaran Al-Qur’an sebanyak tiga kali tanpa ada tindakan tegas oleh pemerintah Swedia. Karena itu, islamofobia sebenarnya merupakan indikasi dari liberalisme, buah pemerintahan sekuler. Redupnya kehadiran agama di ruang publik, justru menempatkan minoritas Islam dalam posisi sulit.

Islam Memelihara Kerukunan

Dalam kacamata sekularisme, menghina keyakinan orang lain merupakan hak manusia dan tidak boleh dikaitkan dengan agama. Ini sangat bertolak belakang dengan Islam. Islam memandang semua aktivitas manusia terikat dengan hukum syarak. Tidak ada perbuatan manusia yang bebas dari pertanggungjawaban dunia dan akhirat, termasuk menghina ajaran agama lain di depan umum.

"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan...” (TQS. Al-An'am: 108)

Dalam Islam, salah tugas pokok negara yaitu menjaga agama dan mengatur urusan setiap warga negara, termasuk menjamin keamanan mereka. Karena itu, terjaganya kemuliaan agama menjadi hal yang sangat penting dalam Khilafah, baik dalam negeri maupun menyangkut politik luar negeri.

Setiap umat manusia yang hidup di dalam Daulah Islam memiliki status yang sama. Meskipun kafir, selama ia tidak memerangi Islam dan tidak melanggar aturan Khilafah, maka umat Islam dilarang mengganggu dan menghina mereka. Mencaci maki sesembahan kaum kafir di depan umum akan menyulut emosi mereka dan membuat mereka balik menghina Allah Swt. tanpa ilmu. Hal ini jelas akan memicu kerusuhan, bahkan akan memakan korban. Untuk itu, Khilafah akan memfilter informasi maupun tindakan-tindakan yang dapat menjadi benih rasisme.

Kerukunan yang terwujud di dalam Khilafah bukanlah retorika kosong tanpa bukti. Keharmonisan masyarakat yang heterogen dan majemuk, antara pemeluk Islam, Yahudi, dan Kristen di Spanyol pada era Khilafah Bani Umayyah terekam indah oleh sejarawan Barat, Will Durant dalam The Story of Civilization. Bagaimana di bawah naungan Khilafah, mereka bisa hidup aman, damai, dan bahagia bersama selama 700 tahun.

Selama Islam berkuasa, kaum Yahudi di Spanyol hidup damai. Akan tetapi, setelah kekuasaan berganti ke Katolik, mereka dipaksa memilih antara masuk agama Katolik atau diusir. Akibatnya, tercatat 120 ribu Yahudi terusir dari Spanyol. Kemudian, Muhammad Al-Fatih menyelamatkan dan menempatkan mereka di Bukit Galata.

Kebaikan Islam termasuk bagian dari dakwah agar warga nonmuslim dapat melihat cahaya dan kebenaran. Dengan begitu, mereka masuk Islam dengan penuh kesadaran dan keyakinan, bukan karena paksaan. Karena secara fitrah, masing-masing manusia pasti mengklaim bahwa agama yang dianutnya benar. Pun kaum muslim meyakini Islam adalah satu-satunya agama yang benar.

“Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya.” (TQS. Ali Imran: 85)

Di sisi lain, penghinaan terhadap syariat Islam harus direspons dengan tindakan tegas oleh Khilafah. Itulah mengapa Khalifah Abdul Hamid memberikan peringatan keras kepada Eropa yang saat itu berencana mementaskan teatrikal untuk menghina Rasulullah. Sultan Abdul Hamid mengancam akan menyerukan jihad untuk memerangi Eropa, jika Prancis tidak menghentikan teatrikal yang menghina Rasulullah. Inilah sikap sejati yang harus diambil kepala negara dalam Islam, yakni bertindak keras dan tegas jika Islam dihina.

Oleh karena itu, syariat Islam yang bersumber dari wahyu Sang Pencipta merupakan solusi alternatif untuk menciptakan kerukunan, tanpa memandang agama, ras, dan suku. Hal ini karena syariat-syariatnya akan sesuai dengan fitrah manusia. Sekali lagi, berulangnya penghinaan terhadap Islam tidak bisa dilepaskan dari ketiadaan Negara Islam, yakni Khilafah yang mempresentasikan Islam dan berpihak kepada kepentingan kaum muslim.

Wallahu a’lam bishawwab []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Tim Penulis Inti NarasiPost.Com
Muthiah Al Fath Salah satu Penulis Tim Inti NarasiPost.Com. Pemenang Challenge NP dengan reward Laptop 256 GB, penulis solo Meraki Literasi dan puluhan buku antologi NarasiPost.Com
Previous
Pelajar Gemar Tawuran, Jati Diri Generasi Telah Hilang
Next
Cacing Purba Dihidupkan Kembali, Bagaimana Islam Memandangnya?
5 2 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

5 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Miladiah Alqibthiyah
Miladiah Alqibthiyah
1 year ago

Di saat para Ibu di dunia Islam membiasakan anak-anaknya hidup bersama Al-Qur'an, di belahan dunia lain justru menodai Al-Qur'an.
Umat Islam harus tegas ambil sikap. Jangan mau dinista secara terus-menerus.

Atilah Qurratul 'Aini
Atilah Qurratul 'Aini
1 year ago

Tak ada junnah, Islam selalu menjadi sasaran kedengkian dan pelecehan. Al Qur'an dibakar, Rasul dihina, umat Islam dipersekusi, dan lainnya. Sudah saatnya umat sadar, bahwa umat butuh junnah yang bisa menjaga umat. Junnah itu tak lain yaitu Khilafah.

Aidha iztania
Aidha iztania
1 year ago

Buah liberalisme sangat parah. Menista agama dianggap kebebasan. Hanya sistem Islam yang menjaga kehormatan Islam.

sartinah828
1 year ago

Pelecehan terhadap Islam yang salah satunya adalah pembakaran Al-Qur'an kok makin melebar ya. Ini jelas karena kegagalan demokrasi sekularisme dalam menjaga kebersamaan dan persatuan di antara para penganut agama. Maka benarlah hanya dengan penerapan sistem Islam, umat-umat di dunia akan bisa hidup berdampingan.

Muthiah Mila
Muthiah Mila
Reply to  sartinah828
1 year ago

Benar Mba,, akhirnya standar ganda biasa. Nda bisa bedakan mana yang bersalah, dan mana pihak yang terzalimi alias yang benar. Sistem bingung sih ini namanya

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram