Krisis pangan akan terus berulang selama dunia masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme.
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pemerintah India pada hari Kamis 20 Juli 2023 memerintahkan penghentian ekspor beras nonbasmati. Dikutip dari cnbcindonesia.com (21/7/2023), beras putih nonbasmati menyumbang sekitar 25% ekspor beras India ke seluruh dunia. Tujuan pemerintah India menghentikan keran ekspor adalah untuk mengurangi harga domestik sehingga inflasi dapat ditekan. Untuk diketahui, beberapa pekan ini harga beras di India naik ke level tertinggi selama beberapa tahun terakhir. Faktor cuaca yang tidak menentu telah mengancam jumlah produksi.
Keputusan India Mengkhawatirkan Dunia
Keputusan pemerintah India untuk menyetop ekspor beras putih nonbasmati ini tentu saja mengguncang pasar dunia. Krisis pasokan pangan makin mendekati kenyataan seiring dengan harga yang terus melambung. India merupakan produsen beras terbesar kedua setelah Cina. Nilai ekspor berasnya baik basmati maupun nonbasmati sebesar 40% dari ekspor beras dunia, penutupan keran ekspor ini pasti berdampak signifikan. Berikut ini beberapa alasan kekhawatiran dunia ketika India menutup keran ekspor beras.
Pertama, pasokan beras global akan mengalami penurunan berarti. Negara-negara yang selama ini mengimpor dari India pasti akan merasakan langsung dampaknya.
Kedua, ketika ketersediaan beras di pasar global akan menurun, harga beras global akan terdorong naik.
Ketiga, tatkala pasokan beras berkurang, dunia rawan mengalami krisis pangan dan meningkatnya ketidakstabilan sosial. Gro Intelligence, sebuah firma analis pertanian, dalam laporan terbarunya memprediksi larangan itu akan memperparah krisis pangan bagi negara-negara yang sangat bergantung pada beras. Bayangkan saja, bila beras yang menjadi makanan pokok bagi lebih dari 3 miliar orang ini terganggu pasokannya. Mengganti bahan makanan pokok dari beras ke sumber karbohidrat lainnya tentu tidak mudah dan murah.
Keempat, negara-negara yang bergantung pada impor beras India akan mencari alternatif pasokan ke negara lain. Hal ini dapat menyebabkan persaingan dan peningkatan harga beras di pasar global. Penting diingat juga tentang permainan para spekulan dalam memanfaatkan kondisi tidak menentu ini.
Kelima, saat India menghentikan ekspor berasnya, kebijakan ini berarti sinyal bahwa ada masalah dalam pasokan beras di dalam negeri Tanah Hindustan tersebut. Hal ini dapat memicu kekhawatiran global tentang keamanan pangan dan stabilitas ekonomi India. Kondisi ini dapat memengaruhi sentimen pasar dan perdagangan internasional secara luas.
Mungkinkah Dunia Keluar dari Krisis Pangan?
Apa yang dilakukan India serupa bom waktu bagi negara pengekspor beras lainnya. Negara-negara ini bisa sewaktu-sewaktu turut menutup keran ekspor bila pasokan dalam negerinya menurun. Efek dominonya, harga beras akan terkerek naik seiring kenaikan harga di pasar internasional.
Krisis pangan, rawan pangan, harga pangan selangit, dan intaian bencana kelaparan merupakan lagu lama kapitalisme yang terus menghantui. Selama masih menggunakan sistem ini, selama itu pula dunia tidak akan pernah aman dari intaian kelaparan. Sebagaimana juga, dunia tidak akan pernah berhasil mencukupi pasokan pangan apa pun jenis sumber pangannya.
Di dalam sistem ini, produksi sampai distribusi barang dan jasa dikendalikan oleh sektor swasta untuk mencapai keuntungan. Negara hanya mendapat tempias laba dan pemasukan dari pajak yang tidak seberapa jumlahnya dari para kapitalis. Beberapa alasan di bawah ini makin menegaskan bahwa sistem kapitalisme merupakan biang kerok kekhawatiran dunia atas ketersediaan pangan.
Pertama, komersialisasi pertanian. Dalam sistem kapitalisme, pertanian umumnya dikendalikan oleh perusahaan besar. Perusahaan-perusahaan besar ini otomatis akan menguasai pasar karena tujuan produksinya memang untuk mendapatkan laba sebesar-besarnya. Demi keuntungan maksimal, para pengusaha rakus ini akan menggunakan lahan secara berlebihan. Tanpa mempertimbangkan keseimbangan ekosistem, mereka akan dengan mudahnya memperluas areal pertaniannya dengan deforestasi. Mereka juga abai dengan penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang aman bagi lingkungan sekitar dan tidak merusak unsur hara tanah secara jangka panjang.
Kedua, terjadinya spekulasi di pasar keuangan. Di bawah sistem kapitalisme, perdagangan komoditas pangan, seperti gandum, jagung, dan beras dilakukan di pasar keuangan. Transaksi di pasar keuangan tentu saja dipengaruhi oleh spekulasi harga. Ketika para spekulan membeli dan menjual kontrak berjangka, mereka dapat menciptakan fluktuasi harga yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi yang sebenarnya. Kondisi ini bisa menaikkan harga secara tiba-tiba dan menyebabkan krisis pangan bagi negara-negara yang tidak mampu bertransaksi.
Ketiga, fokus pada keuntungan perusahaan dan memenangkan persaingan. Dalam sistem kapitalisme, keputusan ekonomi didasarkan pada keuntungan maksimal yang bisa diraih oleh perusahaan. Perusahaan-perusahaan raksasa ini akan berupaya mati-matian baik legal maupun ilegal untuk memenangkan persaingan. Orientasi mereka hanya uang dan uang untuk kepentingan perusahaannya.
Di dalam sistem ini, sama sekali tidak ada wacana kesejahteraan bagi rakyat. Tidak ada pula diskursus tentang kemandirian pangan tanpa campur tangan pihak swasta. Para pemangku kepentingan berlaku laiknya pengusaha yang juga fokus pada mendapatkan keuntungan maksimal. Bila perusahaan untung besar, percikan keuntungan yang diberikan pada negara juga besar. Pemerintah tidak peduli dengan keberlanjutan lingkungan, ketahanan pangan dalam negeri, dan kepentingan masyarakat.
Keempat, ketimpangan distribusi kekayaan. Kapitalisme dapat menjadi penyebab ketimpangan distribusi kekayaan yang ekstrem. Sebagian besar kekayaan hanya berada di tangan sekelompok kecil orang, yaitu pengusaha kelas kakap. Di saat masyarakat tidak memiliki akses yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan, krisis pangan bisa terjadi. Sistem ini identik pula dengan ketidakadilan ekonomi, kesenjangan sosial, dan kemiskinan. Faktor-faktor ini yang berkontribusi pada ketidakmampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri, sedangkan pemerintah tidak berpikir bahwa memenuhi kebutuhan rakyat yang kekurangan adalah tanggung jawabnya. Bagi negara kapitalis, kebutuhan pangan menjadi kewajiban individu untuk memenuhinya.
Kelima, paham nasionalisme yang dibawa kapitalisme berhasil menumbuhsuburkan persaingan dan mematikan rasa kemanusiaan. Krisis pangan di satu wilayah menjadi berita baik bagi para kapitalis sebab menunjukkan pangsa pasar baru.
Dari poin-poin di atas dapat disimpulkan bahwa krisis pangan akan terus berulang selama dunia masih menggunakan sistem ekonomi kapitalisme.
Islam Tuntaskan Masalah Pangan dan Pertanian
Sistem ekonomi Islam sangat berbeda secara diametral dengan sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ekonomi Islam selalu berupaya untuk menerapkan berbagai kebijakan sesuai syariat Islam demi terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap individu masyarakat. Selain itu juga, negara akan bersungguh-sungguh mengupayakan tersedianya kebutuhan sekunder dan tersier dengan harga terjangkau. Kesejahteraan rakyat merupakan prioritas utama dalam sistem ekonomi Islam. Upaya pemenuhan ini tidak lepas dari kebijakan politik pertanian Islam.
Dalam kebijakan politik pertanian Islam, agar produksi pertanian tahan krisis, negara akan melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi pertanian dilakukan dengan jalan penyediaan sarana dan prasarana produksi pertanian terbaik, seperti alat-alat pertanian modern, bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan yang diperlukan dalam rangka meningkatkan produktivitas pertanian. Demi menyukseskan program ini, negara dapat menyubsidi petani dalam penyediaan bibit unggul, pupuk, dan obat-obatan. Negara akan mengedukasi petani dengan teknik-teknik pertanian modern yang efektif dan efisien. Bila didapati petani yang tidak mampu, negara akan memberikan modal agar mereka dapat mengelola lahan pertaniannya. Dengan hibah, petani tidak memiliki beban membayar utang.
Sementara itu, ekstensifikasi pertanian dilakukan dengan cara memperluas lahan pertanian yang ada. Ini dapat dilakukan dengan membuka lahan baru atau mengalihfungsikan lahan yang tidak produktif menjadi lahan pertanian. Negara juga akan memberi lahan pertanian kepada siapa saja yang mampu bertani, tetapi tidak memiliki lahan. Lembaga ini di dalam Khilafah bernama diwan atha’. Selain itu, negara akan mendorong masyarakat agar menghidupkan tanah mati, memagarinya, dan memanfaatkannya sebagai lahan pertanian. Rasulullah saw. bersabda, “Barang siapa yang telah memberi pagar pada sebidang tanah, tanah itu menjadi miliknya.” (HR. Abu Daud)
Selain intensifikasi dan ekstensifikasi, kebijakan politik pertanian dalam Islam juga harus memperhatikan aspek kelestarian lingkungan. Negara akan memfasilitasi pestisida dan bahan kimia yang ramah lingkungan, serta tidak menebang hutan sembarangan. Bahkan, negara dapat memaksa siapa saja yang punya lahan pertanian agar menanami lahannya.
Tatkala memasuki masa panen, negara akan memberikan kemudahan bagi petani untuk mengolah hasil pertaniannya dan membelinya dengan harga tinggi. Demi menjaga kestabilan harga, negara akan menghilangkan aktivitas penimbunan dan menahan produk dengan tujuan menaikkan harga. Telah diriwayatkan oleh Al Hakim dan Imam Al Baihaqi dari Abu Umamah Al Bahili bahwa Rasulullah saw. telah melarang penimbunan makanan. Kepada pelaku penimbunan, khalifah akan memberikan takzir.
Kebijakan berikutnya, sebagai negara yang mempersatukan seluruh dunia, Khilafah akan menghitung secara cermat seluruh kebutuhan pangan tiap wilayah tanpa ada yang terlewati. Khilafah akan memastikan pasokannya aman sehingga tidak ada bedanya wilayah yang sedang surplus atau paceklik. Seluruh wilayah Khilafah sejahtera.
Khatimah
Sekian puluh tahun bercokol, sistem kapitalisme hanya menimbulkan kemudaratan. Rakyat dibuat sengsara dan jauh dari kata sejahtera. Kini, sudah masanya digantikan oleh sistem Islam yang terjamin kesahihannya dan tahan krisis pangan. Ketika Madinah mengalami paceklik, Khalifah Umar bin Khattab meminta bantuan kepada Amru bin Ash yang saat itu menjabat sebagai wali di Mesir. Penduduk Madinah pun selamat dari bencana. Dalam kisah lain, Sultan Abdul Majid dari Kekhilafahan Turki Usmani telah mengirimkan bantuan ke Irlandia tatkala negeri itu mengalami bencana kelaparan besar pada tahun 1847. Khalifah Abdul Majid mengirimkan lima kapal penuh makanan maka terbebaskanlah penduduk Irlandia dari musibah kelaparan. Dua peristiwa ini hanya sebagian kecil keandalan Khilafah dalam menciptakan ketahanan pangan. Masihkah meragukan keandalan Khilafah?
Wallahu a’lam bishawab. []
Benar banget. Sistem pemerintahan Islam tidak akan bergantung pada impor pangan. Tapi akan melakukan pemberdayaan pangan dalam negeri.
Analisa yang bagus mbak...
Benar, kapitalisme hanya menimbulkan kerusakan. Krisis di mana-mana termasuk krisis pangan. Sudah seharusnya membuang sistem yang rusak ini.
Untuk negara sebesar Indonesia, tetap saya bilang memprihatinkan karena masih sangat bergantung pada impor. Seharusnya negara memaksimalkan potensi yang ada dalam negeri, bukan justru memilih jalan instan.