Seakan naluri ibu itu pergi atau sedang mati suri. Tentu, ini bukan tanpa sebab. Faktor himpitan ekonomi, masalah rumah tangga, atau kebijakan yang memaksa seperti pembelajaran daring. Bisa memicu kondisi stress pada ibu sehingga melakukan tindakan yang di luar nala
Oleh. Astuti Rahayu
NarasiPost.Com-Katanya, kasih Ibu sepanjang masa. Namun kini malah mengundang tanya, mengapa ada Ibu yang tega terhadap anaknya sendiri? Menganiaya bahkan sampai menghabisi nyawa. Jika begini, kemana naluri Ibu yang penuh kasih itu pergi?Mungkinkah naluri itu sedang mati suri?
Miris, melihat kondisi tanah air saat ini. Diguncang permasalahan tiada henti. Datang silih berganti, tanpa dibarengi solusi yang pasti. Apa lagi di masa pandemi kini. Ekonomi yang sudah carut marut, harus berhadapan dengan ancaman resesi. Tenaga kesehatan pun sudah kewalahan melawan wabah covid-19. Ditambah lagi, kekerasan pada perempuan dan anak meningkat selama masa pandemi.
Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Kependudukan (DP3AK) Jawa Timur, Andriyanto, menduga bahwa tingginya angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di lingkungan rumah tangga karena selama pandemi Covid-19, masyarakat lebih banyak beraktivitas di rumah (Sumber:replubika.co.id/03-11-2020).
Benar saja, kasus demi kasus pun bermunculan. Seperti yang terjadi di Jakarta pusat. Seorang ibu tega menganiaya anak kandungnya yang berusia 8 tahun hingga tewas. Alasannya hanya karena sang anak sulit untuk diajari saat pembelajaran daring. (Sumber: kompas.com)
Lain halnya dengan kasus yang terjadi di Sumatera Utara. Diduga karena faktor himpitan ekonomi sang ibu stress dan membunuh 3 anak kandungnya di rumahnya sendiri. Peristiwa tersebut terjadi saat sang suami tidak ada di rumah, karena sedang pergi untuk menggunakan hak pilihnya ke TPS. (Sumber: viva.co.id/13-12-2020)
Sungguh ironis, seorang ibu yang fitrahnya memiliki naluri kasih sayang, cinta, dan kelembutan, tiba-tiba berubah menjadi monster yang menyeramkan. Tega menganiaya bahkan menghabisi nyawa anak sendiri. Seakan naluri ibu itu pergi atau sedang mati suri. Tentu, ini bukan tanpa sebab. Faktor himpitan ekonomi, masalah rumah tangga, atau kebijakan yang memaksa seperti pembelajaran daring. Bisa memicu kondisi stress pada ibu sehingga melakukan tindakan yang di luar nalar, seperti melakukan tindakan kekerasan fisik maupun psikis. Mungkin ini hanya beberapa kasus yang terungkap. Kita tidak tahu, bisa saja masih banyak lagi kasus lain yang belum terungkap ke publik. Jika kondisi ini terus dibiarkan, tentu akan memakan banyak korban.
Padahal saat ini kita berada pada sistem yang katanya dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Nyatanya, rakyat yang selalu menjadi korban. Di satu sisi rakyat sudah berupaya untuk memilih para wakil rakyat dengan harapan mendapatkan pemimpin yang adil. Namun, di sisi lain harapan hidup mereka malah tergadaikan.
Buktinya, tak bisa kita hitung berapa banyak kebijakan para penguasa yang akhirnya malah mengorbankan rakyat kecil. Seakan mereka lupa bahwa kekuasaan tersebut diperoleh karena suara rakyat. Bagaimana mereka tidak lupa. Saat menjabat mereka dibenturkan dengan dua kepentingan, yakni kepentingan para pemilik modal dan kepentingan rakyat. Tentu saja kepentingan pemilik modal lebih diunggulkan. Karena mereka memiliki materi yang dapat menguntungkan pihak penguasa. Tak heran, penguasa zaman sekarang lebih condong kepada materi. Mengingat asas kapitalisme sudah mengakar kuat di benak bangsa ini.
Alih-alih, bangsa ini bisa sadar. Kita dikecohkan bahwa permasalahan negeri ini adalah perkara individu. Padahal, berbagai permasalahan yang melanda kita adalah buah dari sistem yang diterapkan. Ketika sistemnya sudah salah maka tak heran akan menimbulkan kerusakan-kerusakan di depan mata. Contoh kecilnya saja, seorang ibu yang fitrahnya memiliki naluri sayang dan cinta terhadap anaknya, lambat laun naluri itu terkikis hingga bisa mati suri, hanya karena kerakusan para penguasa.
Berbicara mengenai perlindungan ibu dan anak, Islam punya solusi hakiki. Islam tahu betul tugas seorang ibu dalam mengasuh dan mendidik anak bukanlah hal yang mudah dan sepele. Karena hal tersebut menyangkut masa depan generasi. Maka dari itu, Islam tidak membebani lagi seorang ibu dengan tugas mencari nafkah. Tugas tersebut dipikul oleh kepala rumah tangga, yaitu suami.
Negara pun wajib menjamin lapangan kerja yang layak bagi rakyat. Karena seorang pemimpin dalam sistem Islam tahu betul tugasnya adalah sebagai raa’in (pengurus rakyat) yang bertanggung jawab mengurusi segala urusan rakyat. Ia tak mungkin lalai dengan tanggungjawabnya tersebut. Termasuk memberikan hak hidup kepada rakyatnya untuk mencari nafkah. Sehingga masalah ekonomi tidak lagi akan mengguncang ketahanan keluarga, apa lagi di masa pandemi seperti sekarang ini.
Tentu saja, negara bukan hanya memberikan hak pekerjaan yang layak bagi rakyatnya. Tetapi juga negara menjamin rakyatnya mendapatkan layanan kesehatan dan pendidikan secara murah bahkan cuma-cuma, Semua ini bisa terwujud jika negara mau menerapkan syariat Islam secara utuh di tengah-tenah kehidupan. Karena Islam adalah mabda yang mengatur segala aspek kehidupan. Baik itu aspek ekonomi, politik, muamalah, rumah tangga, kesehatan, pendidikan, dan lainnya. Melalui penerapan sistem Islam secara kaffah inilah harmonisasi kehidupan dapat tercapai. Dengan begitu naluri ibu pun dapat terlindungi dari ancaman mati suri. Wallahu a’lam bish shawab.[]