Memang tak bisa dipungkiri bahwa selama 13 abad Islam memimpin dunia pernah juga memiliki penguasa yang dzolim terhadap rakyatnya. Tetapi hal tersebut tidak bisa menjadi justifikasi bahwa Islam tidak layak untuk diterapkan dan menganggapnya sama seperti demokrasi atau yang lainnya. Ini tidak bisa dibenarkan karena beberapa alasan
Oleh. Ita Harmi
(Pengamat Sosial dan Politik)
NarasiPost.Com-Belum lagi selesai kasus pembunuhan enam anggota FPI di ruas tol KM 50 Jakarta-Cikampek, sekarang masalah baru datang lagi, yakni dijadikannya Habib Rizieq Shihab (HRS) sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya, Jakarta. Seperti yang diberitakan oleh media-media nasional, polisi melakukan penahanan terhadap HRS atas kasus penghasutan yang terjadi pada saat kedatangan HRS dari Arab Saudi beberapa waktu lalu. Tak cukup sampai di situ, seminggu pasca kedatangannya, HRS menggelar pernikahan putrinya. Inilah yang membuat polisi menjadikan acara tersebut sebagai alasan atas pelanggaran pasal tentang kerumunan di tengah ancaman bahaya Covid 19.
Adapun pasal yang dituduhkan terhadap HRS adalah pasal 160 KUHP tentang upaya penghasutan yang berisi:
"Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah."
Bersamaan dengan Imam Besar FPI tersebut, pihak kepolisian juga sekaligus menetapkan lima tersangka lainnya yang juga merupakan anggota FPI, sebagai pihak yang dianggap bertanggung jawab atas kerumunan yang terjadi. Mereka dikenakan pasal 93 Undang-Undang No 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, sebagaimana yang dilansir dari CNN Indonesia (11/12/2020).
Beredarnya sejumlah video di Youtube saat HRS mengabarkan kepulangannya ke Indonesia dari Saudi Arabia beberapa waktu lalu, oleh pihak kepolisian dijadikan sebagai barang bukti penghasutan yang dilakukan HRS kepada khalayak ramai.
Saat ini HRS ditahan di Rutan Narkoba Polda Metro Jaya. Penahanan akan dilakukan selama 20 hari setelah kedatangan HRS ke kepolisian pada 12 Desember 2020 kemarin. Kadiv Humas Polda Metro Jaya Argo Yuwono menjelaskan bahwa penahanan HRS dilakukan dengan alasan agar tersangka tidak melarikan diri, menghilangkan barang bukti, tidak mengulangi perbuatannya (membuat kerumunan), dan pastinya untuk memudahkan proses penyidikan. (Merdeka.com, 15/12/2020)
Tentunya kabar ini sangat mengejutkan semua pihak. Wakil Ketua Umum MUI, Anwar Abbas, seperti yang dikutip dari jpnn.com (11/12/2020) berpendapat bahwa tindakan yang diberlakukan terhadap Imam Besar FPI tersebut juga harus berlaku bagi semua pihak yang melakukan pelanggaran serupa agar terjadi keadilan . Secara fakta, bagaimana bisa seorang ulama yang tidak pernah merugikan negara sekalipun, baik secara moril ataupun materil, diperlakukan sedemikian rendahnya? Bila menyikapi tentang pasal yang dituduhkan kepada HRS, yakni pasal 160 KUHP tentang penghasutan, maka penghasutan manakah yang dimaksud oleh pihak penyidik?
Jika yang dimaksud adalah menghasut untuk melakukan tindak pidana, maka kejahatan apa yang sudah dilakukan oleh beliau? Beliau juga tidak pernah terbukti melakukan kekerasan terhadap penguasa umum, atau tidak mengikuti perundang-undangan yang ada. Justru kedatangan beliau ke Polda Metro Jaya adalah dalam rangka memenuhi panggilan kepolisian dan ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang ada.
Di lain sisi, bagaimana bisa sejumlah video dijadikan sebagai barang bukti penghasutan oleh penyidik? Sementara penyebaran video porno yang jelas-jelas dilakoni oleh seorang selebriti tidak bisa membuatnya ditahan di sel tahanan? Kenapa pihak kepolisian tidak memberlakukan hal yang sama terhadap seorang ulama?
Bila pasal yang dituduhkan adalah tentang membuat kerumunan di masa berlangsungnya pandemi saat ini untuk menjerat beliau, lalu bagaimana dengan kerumunan kampanye pilkada yang nyata-nyata telah membuat klaster baru penyebaran Covid 19? Diketahui dari data KPU pusat bahwa pasca pilkada yang berlangsung pada 9 Desember 2020, sebanyak 79.241 anggota KPPS positif reaktif Covid 19. Apakah polisi tidak memberikan perlakuan yang sama terhadap para Cakada yang telah membuat kerumunan dalam kampanyenya? Tidak. Sekali lagi tidak.
Maka dari sini teranglah bahwa penahanan yang dilakukan oleh pihak penyidik terhadap ulama adalah tindakan nyeleneh, terlalu dibuat-buat dan berlebihan, serta yang terpenting adalah tidak berkeadilan.
Hal ini tentu saja bisa diterjemahkan dalam berbagai sudut pandang. Bisa saja, dengan kepulangan HRS ke tanah air akan mengguncangkan kekuasaan para penguasa saat ini. Sebab beliau terbukti telah mampu membangkitkan geliat politik umat Islam sejak Ahok menista surat Al Maaidah di tahun 2016 yang lalu. Sehingga hal tersebut menjadi trauma tersendiri bagi penguasa-penguasa yang merasa kepentingannya menjadi genting atas hadirnya beliau di Indonesia.
Kemungkinan lain juga dari penangkapan yang tidak logis ini adalah untuk mengalihkan perhatian masyarakat tentang kecurangan-kecurangan pilkada di tengah Corona. Maklum saja, bahwasanya banyak terdapat kerabat penguasa juga turut hadir sebagai Cakada di beberapa daerah. Sehingga masyarakat tidak lagi peduli dengan kecurangan-kecurangan yang terjadi. Pada akhirnya masyarakat pun legowo terhadap hasil penghitungan suara.
Ironis. seakan leher rakyat ada di tangan penguasa. Hidup dan mati rakyat ditentukan oleh penguasa. Penguasa tak ubahnya berlaku sebagai Tuhan. Hanya penguasa yang berhak membuat standar kebenaran, tentunya kebenaran yang sesuai kepentingan mereka. Tragisnya, inilah demokrasi yang sesungguhnya.
Demokrasi dalam regulasinya menjadikan kedaulatan atau hak membuat hukum ada di tangan manusia. Maka wajarlah bila hukum yang tercipta adalah yang sesuai dengan manfaat dan kepentingan mereka saja. Tidak ada standar kebenaran yang pasti. Hukum bisa berubah tergantung dari kepentingan si pembuat hukum. Bila hukum yang dibuat menguntungkan pihak tertentu, maka ia berlaku. Namun saat hukum dirasa merugikan, ia bisa diubah sesuai selera. Adanya amandemen Undang-Undang Dasar dalam setiap masa adalah bukti bahwa hukum juga bisa diubah sesuai dengan keadaan, waktu, dan tempat.
Itu baru masalah pembuatan hukumnya. Bagaimana dengan pelaksanaan hukumnya? Tentu lebih kacau lagi. Menimbang bahwa dalam pembuatan hukum saja bisa "dimainkan" sedemikian rupa, apalagi dalam pelaksanaan jalannya hukum. Contoh kasus Pemimpin Besar FPI di atas adalah bukti yang tidak bisa dibantah lagi.
Hilangnya keadilan dalam hukum membuat slogan "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" seperti cerita legenda yang tak pernah ada. Pada faktanya slogan tersebut menjelma menjadi "dari rakyat, oleh dan untuk penguasa". Bila keadilan sudah tiada, lantas hendak kemana rakyat membawa derita?
Bagaikan perbandingan jauhnya jarak antara langit dan palung bumi, begitu pulalah jauhnya perbedaan antara demokrasi dan Islam. Demokrasi lahir dari buah pikir akal manusia, sementara Islam lahir dari sang Pencipta langit dan bumi.
Kedaulatan dalam Islam hanya dan hanya ada di tangan Syara', yaitu Allah Subhanahu wata'ala. Sebagaimana yang dikatakanNya berulang kali dalam Al Qur'an, "innil hukmu illa lillah, Tidak ada hukum kecuali hanyalah kepunyaan Allah". Maka hak membuat hukum hanya ada pada Allah. Tentu saja hukum yang dimaksud adalah hukum-hukum pokok yang tidak menyangkut masalah teknis.
Allah Maha Tahu, sementara manusia hanya seonggok makhluk yang lemah dan terbatas akalnya. Allah tau apa yang terbaik bagi ciptaanNya, sementara manusia hanya mengetahui apa-apa saja yang terbaik menurut akalnya. Baik menurut manusia, belum tentu baik pula untuk kehidupannya.
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui."
(TQS. Al Baqoroh : 216)
Sebab itulah, standar kebenaran dalam Islam hanya diletakkan ditangan Syara' saja. Sementara dalam pelaksanaannya, Islam sangat memperhatikan aspek keadilan.
Rasulullah sholallahu 'alaihi wassalam bersabda,
"Wahai manusia sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah apabila seorang bangsawan mencuri, maka mereka membiarkan akan tetapi apabila seorang yang lemah mencuri maka mereka jalankan hukuman kepadanya. Demi Dzat yang Muhammad berada dalam genggaman Nya kalau seandainya Fathimah binti Muhammad mencuri niscaya aku akan memotong tangannya."
(HR. Bukhari dan Muslim)
Lihatlah bagaimana Rasulullah sendiri bersumpah atas nama Allah bahwa beliau akan menegakkan hukum kepada siapa saja termasuk kepada ahlul baitnya. Tidak ada tebang pilih hukum, apakah ia orang kaya, berkedudukan, punya pengaruh, bahkan sedarah sekalipun dengan penguasa.
Hal ini juga dilanjutkan oleh Umar bin Khathab. Umar radiyallahu 'anhu saat menjadikan Amr Bin Ash sebagai Wali (gubernur) di Mesir, mendapatkan pengaduan dari seorang yahudi tua yang sangat keberatan dengan perlakuan Wali negerinya yang semena-mena. Hal tersebut dikarenakan sang Wali hendak membangun sebuah masjid yang paling gagah, namun lahan pembangunannya mengenai tanah si yahudi. Amr bin Ash tidak mau memberikan kompensasi apapun pada si yahudi, dengan alasan tanahnya hanya berupa rawa dan seonggok gubuk tua yang hampir roboh.
Mendengar kejadian tersebut Umar bin Khathab geram. Beliau lalu mengambil sebuah tulang lalu menggoresnya dengan pedang. Begitu tulang tersebut sampai ditangan Amr bin Ash, dia menjadi gemetar ketakutan, sementara si yahudi tua menjadi bingung. Lalu bertanyalah ia kenapa sang Wali seperti itu. Amr bin Ash mengatakan bahwa goresan pedang di tulang tersebut artinya Amirul Mukminin meminta ia agar berlaku adil seperti lurusnya goresan di tulang tersebut. Apabila ia tidak berbuat demikian, maka dirinya akan "diluruskan" dengan pedang oleh Umar bin Khathab sendiri.
Demikianlah Islam, tidak tebang pilih dalam melaksanakan hukum, sekalipun terhadap nonmuslim. Sebab memang dalam Islam, muslim dan nonmuslim memiliki hak hukum yang sama.
Memang tak bisa dipungkiri bahwa selama 13 abad Islam memimpin dunia pernah juga memiliki penguasa yang dzolim terhadap rakyatnya. Tetapi hal tersebut tidak bisa menjadi justifikasi bahwa Islam tidak layak untuk diterapkan dan menganggapnya sama seperti demokrasi atau yang lainnya. Ini tidak bisa dibenarkan karena beberapa alasan.
Pertama, "Al islamu ya'lu wa laa yu'la", Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya. Inilah yang dikatakan oleh Rasulullah sholallahu 'alaihi wassalam sebagai suatu jaminan bahwa tidak ada yang mampu menandingi keagungan dan kemuliaan Islam. Kedua, hadirnya Islam ke dunia justru untuk melawan kedzaliman dan kejahiliyahan manusia. Lalu bagaimana bisa Islam disebut sebagai sistem yang dzolim? Ketiga, terjadinya kedzoliman penguasa saat itu bukan karena Islam yang mengajarkan demikian, akan tetapi karena kesalahan dari individu penguasa sendiri. Islam itu syaamilan (menyeluruh) dan kaamilan (sempurna) dari Penciptanya, sebagaimana ditetapkan dalam Al Qur'an dalam surah Al Maaidah ayat 3. Sementara manusia hanyalah makhluk lemah yang diberikan potensi hawa nafsu, bila ia senantiasa tidak meng-upgrade hubungannya dengan Allah maka ia akan dikuasai hawa nafsunya untuk berlaku sewenang-wenang saat berkuasa. Sebagaimana yang terjadi saat ini.
Oleh karena itu, Islam adalah satu-satunya solusi atas ketimpangan hukum dan keadilan yang terjadi hari ini. Sebab mengembalikan hukum dan keadilan kepada yang memiliki standar kebenaran yang hakiki adalah seutama -utama perbuatan. Kembali kepada aturan Allah Ta'ala.
Demokrasi saat ini hanya memperalat seorang ulama untuk mengalihkan perhatian umat dari hilangnya 6 nyawa kaum muslim tanpa alasan yang jelas. Padahal banyak masalah berat yang harus diselesaikan oleh pemerintah. Jangankan 6 nyawa yang melayang di ruas jalan tol, 600 lebih nyawa anggota KPPS yang melayang di waktu yang hampir bersamaan usai pilpres 2019 tahun lalu saja tidak ada kelanjutan penyelidikannya, seolah nyawa mereka tidak berharga.
Belum lagi menyoal dua menteri yang tertangkap tangan melakukan korupsi hanya dalam waktu satu pekan saja. Penyebab kerugian 11 Trilyun Pertamina masih menjadi tanda tanya. Ataupun jauh mundur kebelakang ada kematian Munir yang sampai hari ini masih menjadi misteri.
Bila yang dipermasalahkan kepada HRS adalah kerumunan yang dibuat saat acara pribadi keluarganya, lalu bagaimana dengan acara pesta pernikahan seorang kepala kepolisian di awal-awal Corona datang? Dimana tak seorang pun dapat membantahnya sebab videonya tersebar di khalayak ramai. Tidakkah mereka mendapatkan tindakan hukum yang sama? Sebenarnya masih banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh negara ini. Maka tak patut kiranya membesar-besarkan masalah yang seharusnya tidak menjadi topik utama berita nasional saat ini.
Yakinlah, bahwa apa yang dapat disaksikan saat sekarang adalah sinyal kematian demokrasi. Demokrasi sekarang ini sedang mengkonfirmasi keruntuhannya sendiri. Maka oleh sebab itu, setelah sekian banyaknya problematika yang muncul, dalam gelap gulitanya hukum dan keadilan, sudah waktunya bagi manusia untuk mengklarifikasi tujuan penciptaannya ke dunia. Yaitu untuk beribadah melaksanakan segala perintah dari Penciptanya dengan totalitas. Tanpa tapi, tanpa nanti.
"Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?"
(TQS. Al Maaidah : 50)
Wallahu a'lam bishowab.[]