Pentingnya menjaga kewarasan seorang ibu, di tengah himpitan sistem kapitalisme yang mencabut fitrah manusia. Bagaimana langkah untuk menyikapinya?
Oleh Ummu Nazara
(Member Akademi Menulis Kreatif)
NarasiPost.Com-“Seorang ibu adalah pemimpin rumah tangga suami dan anak-anaknya, dia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya…” (HR. Muslim)
Beban yang menumpuk pada pundak seorang ibu pada masa sekarang semakin berat. Apalagi pandemi global yang melanda dunia belum berakhir, bahkan semakin menunjukkan tanda-tanda peningkatan. Bagaimana tidak berat? Dalam rumah tangga, seorang ibu tidak hanya mengurus dan melayani suami, namun, sekaligus sebagai pengasuh, pemelihara dan pendidik pertama bagi anak-anaknya. Belum lagi ditambah beban berat dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok, membuat sang ibu harus memutar otak agar dapat memenuhi kebutuhan gizi keluarga sehari-hari.
Sekolah online juga sangat menguras energi para ibu karena tugas guru di sekolah ditransfer ke rumah. Bagi para ibu yang bekerja, beban tersebut menjadi lebih berat dan beresiko ketika anak tidak didampingi atau diawasi sang ibu. Dalam pekan ini, para ibu agak bernafas lega karena semester gasal telah berakhir dengan ditandai pembagian rapot anak sekolah. Para ibu dapat beristirahat dari tugas sebagai guru bayangan di rumah. Tapi rasa khawatir tetap menghantui, tentang bagaimana nasib pendidikan anak-anak di semester depan, di tengah liburan akhir tahun yang mencekam karena angka persebaran Covid-19 telah merata.
Sebagai seorang muslimah, menyandang gelar ibu merupakan predikat yang luar biasa mulia. Surga menanti para ibu ketika semua amanah tertunaikan dengan penuh keikhlasan. Apalagi didukung dengan rida suami tercinta sebagai partner dalam berumah tangga.
Sebaliknya, ketika amanah terbengkalai hingga rida suami tak didapatkan, maka bukan surga yang menanti. Sungguh betapa lunglai jiwa ini.
Maka tak sepantasnya para ibu mengeluh dan meminta dispensasi dari Allah ketika berbagai kewajiban terpaksa bertemu pada satu waktu. Secara fitrah, wanita diberi perasaan lebih lembut dan peka sebagai wujud dari naluri keibuan. Jika naluri tersebut dibiarkan menguasai, maka kemuliaan sebagai seorang ibu bisa jatuh.
Itulah pentingnya menjaga kewarasan seorang ibu, di tengah himpitan sistem kapitalisme yang mencabut fitrah manusia. Bagaimana langkah untuk menyikapinya?
Pertama, membuat skala prioritas. Prioritas ini harus dilihat dari kasus per kasus. Misalnya, sang ibu memiliki jadwal mengaji. Pada saat yang bersamaan, anak sedang sakit. Maka tidak boleh membenturkan antara satu kewajiban dengan kewajiban yang lain hingga berakibat fatal, malah tidak tertunaikan semuanya.
Ibu bijak dan ideologis tentu akan menunaikan kewajiban mendampingi anak yang sedang sakit karena sang anak lebih membutuhkan. Adapun mengaji, sebagai bagian kewajiban menuntut ilmu bisa diundur untuk ditunaikan lain waktu tanpa menggugurkan kewajiban tersebut. Maka ketenangan akan didapatkan karena mampu menunaikan kewajiban sebagai ibu dan hamba Allah.
Kedua, kerja sama saling ta’awwun antara suami dan istri. Bukankah Rasulullah saw. adalah panutan terbaik dalam berumah tangga? Berbagi tugas dengan suami tidak akan menjatuhkan marwah suami sebagai qowwam, terlebih pada perkara teknis, agar pekerjaan rumah tangga bisa selesai tepat waktu, sehingga tidak melalaikan hak anak. Misalnya, suami membantu istri menjemur pakaian, sementara istri memasak. Bersyukur jika ada asisten rumah tangga, maka itu akan meringankan tugas istri, sehingga mampu menjalankan tugas pokok sebagai pendidik generasi.
Tapi jika tidak ada asisten, maka perlu kerja sama yang harmonis agar sang ibu tidak terbebani dan terkungkung dengan pekerjaan teknis.
Ketiga, mengurangi jiwa konsumerisme pada produk ketahanan pangan keluarga. Misalnya dengan bercocok tanam sayuran dan apotek hidup serta beternak. Tidak harus memiliki lahan luas dalam bercocok tanam karena bisa dilakukan dengan menggunakan polybag dan pot. Memelihara ikan juga tidak harus di dalam kolam yang luas hingga menguras dana.
Dengan langkah demikian, diharapkan akan mampu menjadi produsen, minimal sebagai konsumsi keluarga sendiri. Hal tersebut akan menjadi solusi dalam memenuhi gizi keluarga dan kebutuhan dapur. Tentunya akan meringankan sang ibu dalam menghadapi harga-harga kebutuhan yang melambung.
Keempat, menciptakan jawil imani (suasana keimanan) keluarga dengan tholibbul ilmi dan melakukan sunnah-sunnah nafilah. Misalnya, mengaadakan kultum setiap selesai sholat berjama’ah di rumah hingga latihan berpidato bagi anak-anak untuk menguji kemampuan retorika mereka. Selain itu, tertib dalam belajar tsaqofah dan ilmu alat dalam mempelajari islam sesuai jadwal.
Sunnah nafilah bisa dilakukan dengan puasa sunah bersama keluarga, qiyamul lail, tilawah dan tadarus hingga bersedekah. Dengan membangun suasana keimanan setiap hari dan setiap saat maka pola jiwa akan terjaga sehingga sang ibu tidak mudah stress ketika menghadapi berbagai masalah.
Kelima, suami dan istri sama-sama berdakwah kepada masyarakat. Dengan demikian, ada aktivitas mengajak orang lain melakukan perbaikan di tengah masyarakat semua orang termasuk para ibu mampu menghadapi tekanan. Hidup dalam sistem yang tidak islami memang membutuhkan mental baja agar tahan banting. Maka, harus bahu membahu memperjuangkan kehidupan yang lebih baik sesuai dengan aturan Allah SWT.
Demikianlah beberapa langkah yang dapat diakukan oleh para ibu agar kuat bertahan, tidak gampang mengeluh dan ikhlas dalam menjalani kehidupan pada sistem kapitalisme. Insyaallah, dengan menjaga emosi, pola pikir serta pola sikap, akan semakin terjaga kewarasan para ibu. Semoga Allah SWT menyegerakan pertolongan-Nya agar sistem Islam segera tegak kembali sehingga kemuliaan sejati para ibu terwujud sempurna. Wallahu’alam bishowwab.[]