Walaupun Putra sangat memahami, hukum Islam melarang berboncengan dengan yang bukan mahrom. Bagaimana tidak, Putra adalah aktivis dakwah, yang memahami ketidakbolehan tersebut. Hanya saja, rasa suka pada gadis itu telah membuatnya rela berpacaran untuk mendapatkan hati Zava.
Oleh: Nur Rahmawati, S.H.
NarasiPost.Com-Kuliah pun usai. Zava segera membereskan buku dan alat tulis, kemudian pulang.
"Ma! Gue duluan ya, bye!" pamit Zava sambil mengangkat tangan
pada sahabatnya, Ia pun langsung melesat menuju motor black tahun 2007.
Belum sampai menghidupkan mesin, tiba-tiba terdengar pesan masuk di HP putih miliknya. Zava tidak menghiraukan. Ia ingin segera pulang, teringat badannya yang belum tersentuh sabun sejak siang hingga sore ini.
"Segar…!" Ucap Zava setelah selesai dari kamar mandi. Tiba-tiba ia teringat pesan di HP yang belum sempat dibaca.
[Assalamualaikum, Mba Zava. Saya Putra, yang tadi minta nomor Mba.]
Sambil mengernyitkan alis, gadis itu mencoba mengingat.
"Ooh, namanya Putra!" Ucapnya sendiri, sambil mengetikkan balasan sms yang dia terima.
[Wa'alaikumussalam. Oh, iya, Mas Putra! Ada apa ya?]
[Mau tanya, Mba, apakah esok Pak Ardi sudah pulang?]
Putra menjawab setelah sms Zava terkirim.
[Malam ini juga sudah pulang kok!] Jawab Zava sekenanya.
[Oh, ya, Mba. Terimakasih!] jawab putra dengan senyum mengembang.
Keesokan harinya, Putra bergegas mendatangi rumah pak Ardi. Hati pemuda itu berbunga karena akan bertemu Zava, gebetannya. Selama ini, ia menginginkan gadis itu untuk dijadikan istri.
Putra bukanlah wartawan biasa. Ia adalah seorang aktivis dakwah. Hanya saja, karena sangat memahami bahwa sistem saat ini adalah sekuler, tidak mungkin jika ia langsung mengajak ta'aruf dan nikah ke Zava. Gadis itu belum memahami pergaulan dalam Islam.
Hanya saja, rasa ingin dan suka yang menyergap hati Putra, membuatnya mencari cara untuk bisa mengenal lebih jauh dan mengajaknya menikah dengan cara kebanyakan orang.
"Assalamualaikum!" ucap Putra lirih sambil mengetukkan jari ke pintu rumah pak Ardi.
"Wa'alaikumussalam!" jawab Zava, yang ternyata sudah tiba duluan. Ia masih asik memainkan keyboard dengan jarinya.
"Silahkan! Masuk aja! Bentar, ya, saya panggil bapak dulu," lanjut Zava Dengan senyum seadanya, ia mempersilahkan Putra masuk, sambil bergegas memanggil Oak Ardi.
Putra pun hanya mengangguk setuju.
Tidak beberapa lama, Zava keluar bersama Pak Ardi yang sudah rapi dengan jas hitam dengan dasi belang berwana dongker dan putih. Nampak serasi jika diamati.
"Oh, kamu dari Surabaya.news, ya?" sapa Pak Ardi dengan menjulurkan tangan untuk bersalaman.
"Iya, Pak, benar. Saya Putra!" jawab Pemuda itu sambil menjabat tangan Pak Ardi.
"Begini, Pak, boleh tau perkembangan kasus tanah adat yang kini Bapak tangani?" tanya Putra.
Sesekali, mata pemuda itu memandang ke arah Zava yang asik mengetik. Rasa kagum dengan kecantikan Zava nampak terlihat. Rambut yang terurai sepinggang, dengan tubuh langsing bak pragawati, melayang-layang dalam pikiran Putra.
"Jadi, begitu," jawab Pak Ardi mengakhiri penjelasan atas pertanyaan Putra.
"Baik, Pak! Sudah cukup, dan terimakasih banyak atas waktunya!" kata Putra.
Ia menekah tombol off pada alat perekam, kemudian segera pamit untuk melanjutkan tugas berikutnya.
"Mba Zava, pamit ya, terimakasih untuk bantuannya!" pamit Putra. Ia berharap, Zava menoleh padanya.
"Iya, silahkan!" jawab Zava singkat, tanpa menoleh pada Putra.
Ini tentu membuat Putra kecewa. Namun, ia semakin penasaran pada gadis cantik nan cerdas itu.
*
Siang itu, selepas kuliah, Zava tiba, memilih istirahat. Ia tidak ingin melakukan aktivitas rutin seperti biasa. Hari itu, ia merasa kurang enak badan. Ia pun merebahkan tubuh di kasur busa yang cukup besar. Belum sampai terlelap, terdengar kembali suara pesan masuk di HP miliknya.
[Assalamualaikum, Mba Zava! Maaf mengganggu! Esok, saya ada liputan balapan motor trail di kawasan jalan Delima. Apa Mba mau ikut? Kalau ikut saya, gratis. Lagian, dengar-dengar tiketnya sudah habis terjual]
Zava terdiam. Agak lama, barulah ia membalas pesan Putra. Ia merasa heran dan bertanya dalam hati,
_"Dari mana ia tau kalau saya suka balapan motor, ya?" Masih dengan kebingungannya, Zava pun membalas pesan Putra.
"Emmm, boleh juga!" Jawab singkat Zava
Hati Putra pun berbunga-bunga, membayangkan bisa bersama Zava dalam satu kendaraan. Walaupun Putra sangat memahami, hukum Islam melarang berboncengan dengan yang bukan mahrom. Bagaimana tidak, Putra adalah aktivis dakwah, yang memahami ketidakbolehan tersebut. Hanya saja, rasa suka pada gadis itu telah membuatnya rela berpacaran untuk mendapatkan hati Zava.
"Baik sore ini Saya jemput, ya! Jam 15.15," balas Putra dengan wajah berseri.
Bersambung[]