Pejabat Khianat, Dana Bansos Disunat

Negara khilafah dibangun dari akidah Islam. Maka, kedaulatan hukum hanya milik Allah Swt. Hukum buatan Allah Swt sempurna, tetap dan tidak dapat "dimainkan". Sangat berbeda dengan hukum dalam sistem demokrasi yang bisa diotak-atik.

Oleh : Eva Rahmawati
(Pemerhati Sosial)

NarasiPost.com - Di saat dunia dilanda wabah. Hampir sebagian besar negara-negara terinfeksi virus Corona. Begitupun juga dengan negeri ini. Update terakhir pada 9 Desember 2020, jumlah korban positif 592.900, sembuh 487.445 dan meninggal 18.171. (covid19.go.id). Hingga detik ini, belum terlihat tanda-tanda virus Corona akan pergi.

Dampaknya dirasakan oleh sebagian besar rakyat. Terutama dalam hal ekonomi. Rakyat hidup dalam kesulitan. Mengais rezeki demi sesuap nasi pun butuh perjuangan. Bahkan masih banyak yang kelaparan.

Dalam hal ketenagakerjaan, tak sedikit karyawan yang dirumahkan. Berniagapun tak seramai dalam situasi normal. Daya beli menurun, pedagang mengeluh rugi. Untuk menyambung hidup, banyak di antara mereka yang terpaksa cari pinjaman. Tapi sayang, di era kapitalisme tak mudah mendapatkan pinjaman tanpa tambahan (baca: riba). Yang ada bukan memberikan jalan keluar malah menambah beban.

Dikala rakyat kebingungan ada secercah harapan. Yakni berharap pada Bantuan Langsung Tunai (BLT) ataupun bansos Covid 19 dari pemerintah. Tapi, hak rakyat kembali diperebutkan. Layaknya bancakan makanan. Dana bansos Covid 19 dikorupsi. Sungguh tak punya hati.

Dikutip detik.com pada 6/12/20, Ketua KPK Firli Bahuri menerangkan korupsi yang menyeret Mensos Juliari Batubara terjadi pada program bansos berbentuk paket sembako dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun. Di dalamnya ada total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak 2 periode.

Untuk fee tiap paket Bansos disepakati oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. Keduanya melakukan kontrak pekerjaan dengan supplier yang salah satunya PT RPI yang diduga milik Matheus Joko Santoso.

Demokrasi Biang Korupsi

Korupsi semakin merajalela. Seolah tak pernah mati. Bahkan disaat pandemi. Mengakar dan mengenai siapapun. Meski negeri ini memiliki lembaga khusus yang menangani. Tapi, korupsi tetap saja meningkat.

Banyaknya kasus korupsi, bukan problem individu. Bukankah oknum pejabat yang tersandung korupsi sudah disumpah. Atas nama Tuhan dan kitab sucinya, untuk berbakti dan mengabdikan diri kepada rakyat. Akan tetapi alih-alih mengurusi, malah mengkhianati. Parahnya, terjadi di semua lini kehidupan. Pasti ada yang salah.

Akar masalahnya adalah sistem demokrasi berbiaya tinggi. Maka, dari awal butuh modal besar untuk meraih tampuk kekuasaan. Jika kantong pribadi tak mencukupi, sokongan dana dari para pemodalpun dicari.

Tak ada makan siang gratis. Di balik itu semua ada imbal balik. Ketika berhasil menjabat, para pemodal tersebut dimudahkan dalam mendapat proyek-proyek besar. Jika modal pribadi, pastinya harus kembali. Tidak mau rugi. Berharap dari gaji bulanan yang tak mencukupi. Maka, bersiap untuk mencari celah dan kesempatan mengambil uang rakyat.

Standar kebahagiaan dalam sistem kapitalisme hanya berkutat pada pemuasan jasadiah. Limpahan materi menjadi tujuan hidup. Untuk memperolehnya, tak mengenal standar halal haram. Tak peduli meskipun harus zalim terhadap rakyat.

Ini semua adalah hasil dari didikan sekularisme. Memisahkan agama dalam mengatur kehidupan. Maka, aturan yang diterapkan buatan manusia. Lebih mengedepankan hawa nafsu dan sarat kepentingan. Kepentingan para pembuat hukumlah yang diprioritaskan.

Wajar jika hukum dalam demokrasi tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Jika rakyat kecil yang bersalah, hukum akan sangat tegas ditegakkan. Tapi, jika yang bersalah para pejabat dan kroni-kroninya, hukum bisa "dimainkan". Tak heran jika korupsi kian tinggi.

Diperparah dengan sanksi yang tidak tegas. Hukuman nyatanya tidak memberikan efek jera. Sudah menjadi rahasia umum, para koruptor mendapatkan perlakuan "istimewa". Sel layaknya hotel. Service memuaskan. Memberi kesan menyenangkan. Tak seseram yang dibayangkan.

Mungkin mereka berpikir, dipenjara masih bisa hidup nyaman. Hukuman ringan. Uang hasil korupsi masih bisa dinikmati. Tak ada penyesalan. Fenomena tersebut hanya ada dalam sistem demokrasi. Rasanya tak ada tempat aman bagi uang rakyat.

Khilafah Mampu Mencegah dan Mengakhiri Korupsi

Negara khilafah dibangun dari akidah Islam. Maka, kedaulatan hukum hanya milik Allah Swt. Hukum buatan Allah Swt sempurna, tetap dan tidak dapat "dimainkan". Sangat berbeda dengan hukum dalam sistem demokrasi yang bisa diotak-atik.

Begitupun dalam proses pemilihan penguasa dan pejabat aparatur negara, tidak berbiaya tinggi. Bahkan bebas biaya. Sehingga, siapapun yang sudah menjabat, tak dipusingkan dengan pengembalian modal. Alhasil, fokus bekerja mengemban amanah rakyat. Tak ada terbersit sedikitpun untuk berlaku culas dan curang.

Di samping itu, negara khilafah senantiasa membina dan menjaga ketakwaan individu. Baik rakyat maupun pejabat. Pejabat yang bertakwa akan senantiasa menjaga keluarganya. Memberi nafkah dari yang halal saja. Haram baginya untuk mengambil hak rakyat.

Korupsi dalam Syariah Islam disebut dengan perbuatan khianat. Sanksi yang diberikan adalah ta'zir (sanksi yang jenis dan kadarnya ditentukan hakim).

Dalam sebuah hadis dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah Saw bersabda:
"Tidak diterapkan hukum potong tangan bagi orang yang melakukan pengkhianatan (termasuk koruptor, orang yang merampas harta orang lain dan penjambret)." (HR. Abu Dawud).

Bentuk sanksinya mulai dari yang ringan seperti sekadar nasihat atau teguran dari hakim, penjara, denda, pengumuman pelaku di hadapan publik, cambuk hingga hukuman mati. Teknisnya bisa digantung atau dipancung. Berat ringan hukuman ta'zir sesuai dengan kejahatan yang dilakukan.

Dengan demikian, korupsi mampu dicegah dan diakhiri hanya dalam sistem pemerintahan Islam yakni Khilafah.
Wallahu a'lam bishshowab.

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Kontributor NarasiPost.Com Dan Pegiat Pena Banua
Eva Rahmawati Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Di Lengan ada Telinga
Next
Hati yang Tersandera
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram