Kekuasaan sejatinya adalah amanah. Oleh karenanya, umat Islam saat ini mendesak membutuhkan penguasa amanah yang kelak menjadi junnah (perisai). Umat merindukan penguasa yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk membela dan mengayomi masyarakat. Menjaga darah, harta dan kehormatan umat sebagaimana pesan Nabi saw. dalam hadis riwayat At-Tirmidzi di atas.
Oleh: Aniyatul Ain, S.Pd
(Aktivis Muslimah)
NarasiPost.Com-Pada tanggal 7 Desember 2020, enam orang tercatat tewas dalam tragedi di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, Km 50. Tragedi memilukan itu terjadi diklaim oleh aparat karena diduga kelompok MRS (Muhammad Rizieq Shihab) telah menyerang anggota kepolisian sehingga dilakukan tindakan tegas dan meninggal enam orang (inews.id, 7/12/2020).
Namun, informasi mengenai fakta yang terjadi sangatlah berbeda ketika kita membaca Keterangan Pers FPI tentang Kronologis Penembakan Rombongan IB-HRS, yang dikeluarkan secara resmi oleh Dewan Pimpinan Pusat Front Pembela Islam tertanggal 7 Desember 2020.
Sejak kepulangannya ke tanah air, ulama karismatik itu tak henti-henti dicari-cari kesalahannya. Entah apa yang telah diperbuat? Jika memang kesalahan IB-HRS hanya pelanggaran protokol kesehatan, yang sangat disesalkan, mengapa sampai terjadi tragedi kemanusiaan? Haruskah hal itu dibayar mahal oleh nyawa enam pemuda Islam? Bagaimanapun, tindakan kekerasan tidak bisa dibenarkan. Apalagi ini sampai hilang enam nyawa manusia. Sungguh biadab!
Siapa pun berhak mengutuk tindakan yang sewenang-wenang ini. Satu nyawa saja dalam pandangan Islam lebih berharga dari dunia berikut segala isinya. Betapa mulianya syariat Islam, yang sangat menjaga kelangsungan hidup manusia.
Penjagaan Islam atas harta, darah dan kehormatan manusia teramat serius, bukan hanya ungkapan retoris layaknya seorang poltikus. Ini adalah wasiat manusia penghulu alam semesta. Sebagaimana dalam sabdanya:
"Hari apakah ini?" Mereka pun menjawab, "Hari haji akbar." Kemudian beliau bersabda:
"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian dan kehormatan kalian adalah haram (untuk dirusak) di antara kalian sebagaimana haramnya (sucinya) hari ini, di negeri kalian ini. Ketahuilah, janganlah seseorang berbuat aniaya kecuali kepada dirinya sendiri, janganlah seseorang berbuat aniaya kepada anaknya dan jangan juga seorang anak kepada orang tuanya. Ketahuilah, sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah di negeri kalian ini selamanya. Namun, akan terjadi ketaatan kepadanya dalam amal perbuatan yang kalian remehkan sehingga dia akan ridha kepadanya."
(HR. al-Tirmidzi No. 2159).
Pesan Baginda Nabi Saw di atas hendaknya kita genggam erat. Karena bagaimanapun, Nabi Saw sudah mengabarkan bahwa yang selamat adalah yang berpegang-teguh pada dua peninggalan Nabi, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika manusia ingin selamat, berpegang-teguhlah pada keduanya.
Sekup negara pun sama. Jika menginginkan keselamatan pada negara, terwujudnya kesejahteraan, keadilan, kerukunan, kestabilan ekonomi, kedaulatan dan berbagai kemaslahatan lain, hendaknya negara juga berpegang teguh kepada peninggalan Nabi. Karena kemaslahatan itu akan kita raih jika kita lebih dahulu mengedepankan dan memberikan ketaatan. Ketaatan ini tentu bukan hanya taat pribadi. Masyarakat juga negara, mutlak taat kepada Sang Pencipta.
Bukti ketaatan penguasa kepada Sang Khalik hendaknya dimanifestasikan dalam bentuk sikap kembali kepada pengaturan syariah Islam kaffah dalam mengurusi kenegaraan. Bukan menerapkam hukum buatan manusia yang sarat akan kepentingan. Manusia hanyalah makhluk. Sifat makhluk tidaklah sama dengan Khalik. Manusia sifatnya terbatas, tempatnya salah dan lupa, bergantung kepada segala sesuatu. Oleh karena itu pasti punya keterbatasan dalam membuat hukum.
Seharusnya hukum diadopsi dan ditegakkan dengan asas kebenaran. Siapa lagi sumber kebenaran, jika bukan datang dari Tuhan (Allah)? Namun, di sistem sekarang, hukum dan keadilan hanya berlaku jika “dibarter” dengan uang, kekuasaan atau pun jabatan. Ironis! Hukum hanya tajam ke masyarakat lapis bawah dan lemah. Namun, tak bergigi dan bernyali jika dihadapkan pada kalangan elit oligarki.
Contoh nyata tumpulnya hukum di alam demokrasi saat ini adalah kasus syahidnya enam pemuda Islam di tol Cikampek, Km 50. Apakah enam pemuda ini merampok harta negara? Bukankah perampok negara kelas kakap banyak berkeliaran di luaran sana? Ataukah mereka yang meninggal dengan hantaman peluru aparat ini menjual aset-aset negara? Sehingga institusi negara yang seharusnya melindungi dan mengayomi masyarakat malah berubah menjadi eksekutor berdarah dingin? Atau mereka yang menjemput syahid ketika mengawal ulama dalam kegiatan dakwah ini juga mendeklarasikan diri berpisah dari NKRI? Padahal Benny Wenda, Sang Proklamator Separatisme Papua masih aman saja tanpa ancaman atau bahkan penangkapan. Ingatlah, kezaliman dan kesewenang-wenangan rezim yang begitu telanjang dipertontonkan saat ini sejatinya adalah lonceng kematian bagi kekuasaan culas para oligarki itu sendiri.
Kekuasaan sejatinya adalah amanah. Oleh karenanya, umat Islam saat ini mendesak membutuhkan penguasa amanah yang kelak menjadi junnah (perisai). Umat merindukan penguasa yang benar-benar mendedikasikan hidupnya untuk membela dan mengayomi masyarakat. Menjaga darah, harta dan kehormatan umat sebagaimana pesan Nabi saw. dalam hadis riwayat At-Tirmidzi di atas.
Namun, penguasa dengan “karakter langit” seperti ini, tidak mungkin lahir dari rahim sistem rusak demokrasi sekarang. Mengapa demikian? Karena demokrasi adalah sistem kufur yang menjadikan manusia lancang, berani mengangkangi Tuhan. Hak prerogratif membuat hukum itu hanya milik Allah. Namun, dalam demokrasi justru manusia “dihalalkan” untuk membuat sendiri aturan kehidupan. Selain itu, sistem politik berbiaya tinggi ini sangat meniscayakan praktek-praktek korupsi dan penyelewengan kekuasaan ketika sudah menjabat nanti. Karena, jika mindset berkuasa adalah untuk bisnis politik, bisnis tetaplah bisnis, ia selalu menuntut profit untuk mengembalikan seluruh modalnya.
Hal demikian sangat berbeda dengan penguasa dalam sistem Islam. Amanah kekuasaan sangatlah berat pertanggungjawabannya. Penguasa akan selalu ingat akhirat dan tanggung jawab hisab. Sehingga ketika menjabat kelak akan berhati-hati, karena malaikat selalu mencatat di kanan dan di kiri. Penguasa pun wajib menegakkan keadilan. Karena adil lebih dekat ke takwa. Bahkan Nabi saw. akan tetap menegakkan keadilan sekalipun putrinya sendiri yang berbuat kesalahan,“Seandainya Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya.” Itulah jaminan keadilan di dalam sistem Islam. Tidak tebang pilih dalam menegakkan hukum.
Oleh karenanya, hilangnya nyawa enam pemuda muslim tidak boleh kita biarkan begitu saja. Namun, harus diusut sampai tuntas dan pelakunya diganjar dengan pantas! Hendaknya umat Islam juga semakin menyadari bahwa kekuasaan yang dibangun di atas sistem demokrasi hanya menguntungkan segelintir elit. Adapun rakyat, tak terurus dan selalu tertindas. Umat Islam juga hendaknya terus berjuang untuk menghadirkan kembali sistem Islam yang adil agar tragedi kemanusian tidak kembali hadir. Justru keadilanlah yang kelak dirasakan oleh segenap manusia, tanpa membedakan status, warna kulit, strata sosial, juga agamanya. Baik muslim maupun nonmuslim, akan terjaga baik darah, harta, kehormatan maupun nyawanya. Wallahu a’lam.[]