Bebagai persoalan ketidakadilan hukum dipertontonkan secara kasat mata kepada masyarakat. Akibatnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan peradilan semakin meningkat
Oleh: Aminah Darminah, S.Pd.I. (Muslimah Peduli Generasi)
NarasiPost.Com-Lembaga peradilan menjadi harapan untuk memperoleh keadilan. Saat ini, rasa keadilan menjadi barang langka di negeri ini. Berbagai persoalan muncul mulai dari aparat hukum yang bermasalah hingga hukum yang diterapkan tebang pilih, tumpul ke atas dan tajam ke bawah.
Seperti penilaian Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) bahwa pengurangan hukuman bagi koruptor dan Peninjauan Kembali (PK) oleh Mahkamah Agung (MA), justru memberikan kesan buruk terhadap peradilan. Sebab, menurut pelaksana tugas juru bicara penindakan Komisi Pemberantas Korupsi Ali Fikri, pengurangan terhadap hukuman pelaku korupsi tidak akan memberikan efek jera, semakin memperparah berkembangnya pelaku korupsi di Indonesia (CNN Indonesia, 22/9/2020)
Berbanding terbalik dengan perlakuan hukum terhadap para ulama yang kritis. Menurut sekretaris Nasional Interest Lawyer Network (Pilnet) Indonesia, Erwin Natosmal Oemar, penahanan imam besar FPI habib Rizieq Shihab (HRS) berlebihan. Sebab, menurut Erwin, seharusnya penegakan hukum terhadap kasus-kasus kerumunan tidak serta merta menggunakan instrumen pidana, tetapi menggunakan hukum kekarantinaan kesehatan. Instrumen ini berlaku kepada siapa pun, tidak boleh tebang pilih (SINDONEWS.com 15/12/2020).
Bebagai persoalan ketidakadilan hukum dipertontonkan secara kasat mata kepada masyarakat. Akibatnya, ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum dan peradilan semakin meningkat. Miris, koruptor kelas kakap masih bisa melanggeng bebas. Kalaupun diberi hukuman, hanya hukuman ringan yang tidak memberikan efek jera.
Berbanding terbalik jika rakyat jelata melakukan pelanggaran hukum. Sekalipun belum terbukti bersalah, sudah dikenakan hukum dengan pasal berlapis, contohnya, kepada masyarakat yang kritis terhadap berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat.
Banyaknya kejahatan di negeri ini menjadi bukti bahwa hukum yang diberikan kepada pelaku terlalu ringan sehingga tidak memberikan efek jera, baik kepada pelaku ataupun masyarakat. Sistem hukum yang diterapkan menunjukkan betapa panjang dan berbelitnya proses peradilan di negeri ini sehingga hukuman bisa berubah, bahkan bisa bebas dari tuntutan hukum.
Terjadinya ketidakadilan penerapan hukum di Indobesia disebabkan karena beberapa hal:
Pertama, landasan hukum. Sistem hukum dan peradilan di Indonesia berdiri di atas ide sekuler. Sumber pokok hukum perdata di Indonesia berasal dari hukum perdata Prancis.
Kedua, sistem peradilan berjenjang. Terdakwa yang tidak puas dengan vonis hakim dapat mengajukan banding sehingga keputusan yang telah ditetapkan bisa dibatalkan. Hal ini menyebabkan ketidakpastian hukum karena keputusan hukum dapat berubah-ubah sesuai dengan jenjang pengadilan.
Ketiga, perilaku aparat. Bobroknya mental penegak hukum hingga muncul mafia peradilan membuat keadilan sulit untuk didapatkan oleh masyarakat bawah.
Sejarah peradaban Islam sudah membuktikan betapa keadilan bisa ditegakkan sekalipun pelakunya adalah pejabat atau keluarga pejabat negara. Khalifah Umar bin Khattab menyita unta anaknya, Abdullah bin Umar, yang digembalakan bersama unta zakat. Khalifah Umar pernah menghukum putra Amr bin Ash, Gubernur Mesir karena memukul rakyat biasa.
Kegemilangan sistem hukum dan peradilan Islam yang mampu menjamin rasa keadilan bagi masyarakat ditopang beberapa hal:
Pertama, sistem hukum dan peradilan Islam merupakan bagian dari satu kesatuan sistem Islam yang lahir dari aqidah Islam, yang bersumber dari Al-Qur'an dan as-Sunnah. Sistem ini menghalangi intervensi manusia dan diperuntukkan bagi seluruh umat manusia, baik muslim maupun nonmuslim. Penerapan hukum Islam didominasi motivasi ruhiyah sebab pelaksanaannya merupakan bagian dari ketaqwaan.
Kedua, hukun Islam bersifat tetap, konsisten dan tidak berubah-ubah sehingga memberikan kepastian hukum dan ketenangan bagi masyarakat. Tidak ada banding terhadap keputusan yang sudah ditetapkan sehingga hukum yang diterapkan tidak bisa berubah.
Ketiga, sistem hukum dan peradilan Islam memiliki karakter yang khas, yaitu bersifat zawajir (Membuat jera) dan _jawabir, (Penebus dosa di akhirat), sehingga hukum Islam yang diterapkan akan membuat jera para pelaku kejahatan dan masyarat untuk tidak melakukan tindakan serupa. Dengan demikian, kehidupan masyarakat menjadi aman dan damai.
Keempat, hakim dipilih dengan memperhatikan kualifikasi yang ketat. Dipih orang-orang yang amanah, mampu, memiliki etos kerja dan dikenal ketaqwaannya. Hakim dalam Islam mendapatkan gaji yang mampu menyejahterakan sehingga tidak tergoda dengan suap, hadiah dan sejenisnya. Disamping gaji bulanan, para hakim akan mendapatkan insentif perumahan, kendaraan, pembantu dan bantuan menikah oleh negara bagi hakim yang belum menikah.
Kelima, pengawasan oleh kepala negara dan mahkamah mazalim serta kontrol sosial dari masyarakat agar tidak terjadi pelanggaran hukum bagi aparat penegak hukum.
Demikianlah keagungan hukum dan peradilan Islam. Masihkah berharap kepada sistem hukum dan peradilan sekuler yang terbukti kebobrokannya? Saatnya umat bersungguh-sungguh berjuang agar sistem hukum dan peradilan dari Sang Khaliq segera diterapkan.
Wallahualam.[]