Sistem politik negara demokrasi memang memungkinkan menjadi lahan subur bagi para koruptor hingga membuat lingkaran setan. Siapa pun yang masuk dalam sistem ini sulit melawan arus pusaran korupsi.
Oleh: Novianti
NarasiPost.Com-Tahun 2020 tinggal menghitung hari. Semua berharap, tahun depan lebih baik terutama dalam kehidupan bernegara karena harapan rakyat memperoleh keadilan dan kesejahteraan belum terwujud sejak negara ini merdeka.
Salah satu penghambatnya adalah kejahatan korupsi. Korupsi, penyakit akut yang sudah menyelusup tidak hanya pada tingkat pusat tapi sudah menjalar hingga tingkat daerah. Padahal, maju mundurnya negara ditentukan oleh salah satunya keberhasilan penanganan korupsi.
Korupsi mengakibatkan kehancuran negara karena melahirkan ketimpangan, menciptakan kemiskinan, menghambat pembangunan manusia dan ekonomi, memperburuk layanan masyarakat, menyebabkan instabilitas yang berujung pada hilangnya kepercayaan rakyat terhadap pemerintah. Kondisi ini bisa memicu kekerasan, baik yang dilakukan oleh rakyat sebagai bentuk kekecewaan terhadap pengabaian pemenuhan hak mereka atau kekerasan oleh para pelaku untuk tetap melanggengkan praktik kejahatannya.
Namun, harapan ini nampaknya masih jauh dari kenyataan. Sepanjang tahun 2020, saat negara prihantin akibat pandemi belum mampu menyadarkan para koruptor,
Grand corruption justru terjadi, seperti perampokan uang rakyat dalam kasus Jiwasraya yang diperkirakan merugikan negara hingga 30 T sebagaimana dilansir oleh cnnindonesia.com (21/09/2020).
Di penghujung tahun, rakyat tambah kecewa dengan terkuaknya kasus bansos oleh Mentri Sosial yang diduga menerima suap sebesar 17 milyar rupiah.
Korupsi di Indonesia sudah pada tingkat extraordinary crime, sehingga menempati urutan ke tiga negara paling korup di Asia menurut lembaga pemantau indeks korupsi global. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena di masa pandemi, masih sempat-sempatnya para koruptor menari di atas jutaan orang yang menderita dan telah kehilangan nyawa.
Derasnya arus korupsi menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi penyebab dan mengapa justru makin menggila. Sudah berbagai upaya dilakukan dan setiap pergantian kepemimpinan mengusung anti korupsi. Namun, sebatas slogan karena belum ada yang berhasil membuktikan.
Korupsi-Demokrasi, Dua Sisi Mata Uang
Peneliti Political and Public-Policy Studies, Jerry Messie mengatakan bahwa maraknya korupsi disebabkan karena aturan terkait korupsi sering berubah-ubah dan keberadaan partai politik yang menjalankan sistem mahar politik. Hukuman bagi para koruptor dinilai terlalu ringan dibandingkan dengan akibat yang ditimbulkan. Dan yang mengherankan, Mahkamah Konstitusi (MK) membolehkan mantan koruptor ikut pemilihan kepala daerah. Padahal, sejumlah negara telah melarang para koruptor menjadi pejabat.
Sistem politik negara demokrasi memang memungkinkan menjadi lahan subur bagi para koruptor hingga membuat lingkaran setan. Siapa pun yang masuk dalam sistem ini sulit melawan arus pusaran korupsi.
Pemimpin dan wakil rakyat hanya bisa dicalonkan dari partai politik sementara mesin partai membutuhkan dana. Berawal dari sini, terjadi main mata parpol-para kapital (pemilik modal). Keduanya bersimbiosis mutualisme yang mendudukkan rakyat hanya sebagai alat legitimasi kekuasaan.
Motif awal korupsi umumnya untuk memperoleh uang dengan jalan pintas. Terjadinya perselingkuhan antara penguasa dengan para kapital sangat memungkinkan karena pengusaha berorientasi keuntungan dan parpol pengusung calon membutuhkan gelontoran dana.
Memberikan suap pada aparatur negara berlanjut dengan mengubah undang-undang atau peraturan agar sektor-sektor gemuk yang merupakan hajat hidup orang banyak bisa dikuasai karena berpotensi memberi keuntungan jangka panjang.
Karenanya dalam setiap pemilu rawan terjadi korupsi dalam bentuk praktik money politic atau politik uang yang diakui oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD dalam sebuah diskusi virtual mengenai pilkada, Sabtu (CNN Indonesia, 5/9). Praktik politik uang ini bukan hal yang mudah diatasi mengingat pembuktiannya sulit dan adanya kekhawatiran pelapor akan dikriminalisasi balik.
Tak heran, kasus-kasus korupsi besar terjadi berdekatan dengan perhelatan besar pemilu. Semua partai politik bergerilya mencari pintu-pintu untuk menggerakkan roda partai dan para kapital menangkapnya sebagai kesempatan.
Namun, rakyat banyak tidak menyadari, dininabobokan slogan demokrasi "dari rakyat oleh rakyat untuk rakyat". Make up tebal menutup wajah asli kejahatan demokrasi. Padahal, rakyat memberikan suara sama dengan memberikan nafas panjang bagi pelaku kedzaliman dan ketidakadilan.
Selanjutnya rakyat harus menerima kenyataan. Pemerintah makin berat melayani urusan rakyat karena sumber daya alam sudah diswastanisasi dan dimiliki para kapital. Kehidupan makin sulit. Rakyat harus berjuang sendiri memenuhi kebutuhan hidupnya.
Nanang Farid Syam (Penasehat Wadah Pegawai KPK) mengusulkan perubahan mendasar dari seluruh partai politik peserta pemilu. Parpol harus memiliki integritas dan tidak bergantung pada para kapital. Harus menjadi partai mandiri dan melakukan pengkaderan terhadap para anggotanya agar saat menjabat berkomitmen tinggi anti korupsi.
Namun usulan ini sulit diterapkan bahkan mustahil selama masih menggunakan sistem demokrasi. Demokrasi dan korupsi adalah dua sisi mata uang. Trias politika yang diklaim sebagai pengaturan kewenangan yang adil dalam pemerintahan, nyatanya menjadi sekutu untuk meraup keuntungan demi kepentingan partai, para kapital baik tingkat lokal dan global.
Cacatnya Demokrasi dalam Perspektif Islam
Demokrasi adalah sistem pemerintahan peninggalan Yunani abad 4-5 SM. Dalam perkembangannya diadopsi menjadi demokrasi modern yang diawali oleh Revolusi Perancis pada abad pertengahan di Eropa yang memimpikan adanya kebebasan, persamaan, dan persaudaraan.
Peristiwa Revolusi Perancis adalah monumen traumatik bangsa Eropa terhadap agama. Dalam kekuasaan perselingkuhan kerajaan dengan kaum gerejawan, bangsa Eropa mengalami masa kegelapan panjang. Muncullah ide sekuler, memisahkan agama dari kehidupan.
Bersamaan dengan Revolusi Perancis, terjadi revolusi industri yang memunculkan kelas baru yaitu para pemodal atau kaum kapital. Dunia Eropa mengalami titik balik, pendapat dan kekayaan negara meningkat. Ini ditopang oleh kaum kapital yang makin eksis berkat keuntungan melalui penjajahan.
Memasuki abad ke-19, negara penjajah mengubah strategi, beralih dari serangan fisik ke serangan pemikiran. Negara jajahan diberi kemerdekaan semu. Padahal, penguasa boneka sudah ditempatkan di setiap negara demi kelangsungan para kapital.
Demokrasi menjadi barang jualan yang dijajakan negara Barat. Kemakmuran negara-negara Barat diklaim buah dari demokrasi. Padahal kemakmuran itu bersumber dari penjajahan ekonomi di banyak negara.
Sistem demokrasi memberikan celah para kapital menyetir negara. Hukum bisa diubah-ubah mengikuti kondisi. Hukum jadi alat legitimasi praktik kecurangan dan kejahatan. Korupsi, suap-menyuap sudah tak bisa terelakkan.
Sementara dalam pandangan Islam, Al-Quran dan Sunnah adalah rujukan hukum yang permanen sehingga memberikan kepastian hukum jangka pendek dan jangka panjang. Tidak ada ruang perdebatan bagi adanya undang-undang selain aturan-Nya.
Kedaulatan milik As Syari' yaitu Allah Ta'ala sehingga penguasa dan rakyat hanya menjalankan peraturan yang sudah ditetapkan-Nya. Islam mendudukkan penguasa sebagai pelaksana syariat Islam yang harus melayani rakyat.
Rasulullah menegaskan ,
"Penguasa adalah penggembala dan penanggung jawab urusa rakyat."
(HR. Bukhari)
Hadits ini menjadi dasar bahwa negara adalah pihak yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pemenuhan hak-hak publik seperti pendidikan dan kesehatan secara gratis dengan kualitas terbaik.
Hal ini dicontohkan oleh Rasulullah saat menjadi kepala negara di Madinah yang mengelola secara langsung pemenuhan berbagai kemaslahatan masyarakat. Dan sistem ini diikuti oleh para khalifah, puncuk pemimpin setelah Rasulullah.
Kesempurnaan Islam telah terbukti hampir 13 abad lamanya. Sejarah panjang sistem pemerintahan Islam telah mencatat bukti bagaimana periayahan (pengurusan) rakyat terbaik oleh negara.
Dan yang paling mencirikan sistem pemerintahan Islam, ruh ketaqwaan senantiasa dihadirkan. Pelaksanaan Syariat Islam oleh penguasa dan ketaatan rakyat pada para pemimpinnya adalah bentuk ibadah yang bernilai pahala.
Kemajuan peradaban Islam dikarenakan semua kekayaan alam dioptimalkan bagi pemenuhan dan pelayanan kebutuhan rakyat. Ini sesuai tuntunan syariat Islam.
Aktivitas ekonomi individu dan pemilik modal dibatasi agar tidak mengambil hak milik rakyat dan negara. Terjadinya korupsi menjadi sangat kecil peluangnya karena syariat Islam sudah menjadi keputusan mutlak dan sanksi tegas diberlakukan bagi setiap pelanggaran.
Di tengah rasa frustasi akibat sengkarut korupsi, saatnya berpaling pada Idiologi Islam, idiologi dari Dzat Maha Tahu dan Maha Sempurna. Tentu, demokrasi buatan manusia tidak bisa menandinginya.
Memimpikan keadilan dan kesejahteran dalam sistem demokrasi adalah delusi. Mempertahankan demokrasi sama saja membiarkan rakyat berada dalam ketidakberdayaan dan hanya menjadi budak penopang keserakahan penguasa-para kapital.
Belum percaya? Mari kita tunggu hasil perhelatan pilkada yang baru dilaksanakan. Pasti janji manis selama kampanye tidak akan terbukti. Nampaknya, saatnya bersikap tegas, ganti tahun ganti sistem untuk mengubur demokrasi.[]