Vaksin Covid-19, Peluang Menggiurkan di Tengah Pandemi

Aroma bisnis terendus sangat menyengat di balik COVAX ini. Bagaimana tidak, angka permintaan vaksin secara global dan serentak di dunia sangat besar dan fantastis. Bisa mencapai 2 milyar vaksin untuk kebutuhan dunia. Tentu saja ini menjadi bisnis yang sangat menggiurkan bagi negara kapitalis.


Oleh: Nurjamilah, S.Pd.I

NarasiPost.com -- Pandemi covid-19 semakin hari semakin memprihatinkan. Hingga hari ini, di Indonesia tercatat kasus positif mencapai 341 ribu, sembuh 263 ribu dan meninggal 12 ribu. Seiring dengan semakin meningkatnya kasus positif covid-19 di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia, berbagai negara bersaing ketat menemukan vaksin Covid-19. Paling mendominasi yakni AS, Cina, dan Rusia.

AS telah menguji di antaranya vaksin Moderna dan Pfizer.
Cina dengan vaksin Sinovac Biotech dan Sinopharm Wuhan Institute of Biological Products yang uji klinisnya dilakukan di Indonesia, Bangladesh, dan UEA. Rusia dengan vaksin Sputnik V.

Untuk menjamin kesetaraan akses secara global terhadap vaksin ini, WHO bersama aliansi vaksin (GAVI) dan Koalisi untuk Inovasi Kesiapsiagaan Epidemi (CEPI) telah menginisiasi program COVAX (Covid Vaccine Global Effort) sejak awal tahun ini.

Ada 168 negara yang bergabung dengan COVAX, 76 di antaranya adalah negara berpenghasilan menengah hingga tinggi. Tetapi AS dan Rusia tidak ikut tergabung. Sisanya negara berkembang termasuk Indonesia.

Aroma bisnis terendus sangat menyengat di balik COVAX ini. Bagaimana tidak, angka permintaan vaksin secara global dan serentak di dunia sangat besar dan fantastis. Bisa mencapai 2 milyar vaksin untuk kebutuhan dunia. Tentu saja ini menjadi bisnis yang sangat menggiurkan bagi negara kapitalis.

Masalahnya, tak semua negara memiliki uang untuk membeli vaksin yang dibutuhkan, apalagi dalam jumlah sangat besar. Sehingga hal ini sangat membuka peluang bagi negara-negara miskin tersebut jadi sasaran empuk jebakan utang dan balas budi yang diberikan negara-negara besar.

Sebagaimana kita ketahui negara adidaya dikenal bukan hanya negara pedagang yang selalu cari untung sendiri tapi juga negara ideologis yang berambisi melakukan neo imperialisme.

Lantas bagaimana dengan Indonesia? Ketua Penanggung Jawab Tim Pengembangan Vaksin Covid-19 Bambang Brodjonegoro sempat memprediksi Indonesia sendiri butuh sekira 570 juta vaksin. Mengingat penelitian menunjukkan pemberian vaksin tak cukup satu kali dilakukan (tirto.id, 09/10/2020).

Kebutuhan vaksin yang sangat besar itu, mendorong pemerintah berbagai negara melibatkan pihak swasta dalam pengadaannya. Walhasil aroma bisnis pun tampak nyata. Pemerintah telah membayar kepada WHO, dana untuk Down Payment (DP) pembelian vaksin sebesar Rp3,3 triliun dari total Rp37 triliun dana yang dibutuhkan. Bio Farma pun bekerja sama dengan Sinovac Biotech Cina, serta Kalbe Farma dengan perusahaan Genexine Korea Selatan (VoA Indonesia).

Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Erick Thohir menjelaskan bahwa vaksin Covid-19 di Indonesia bakal tersedia dalam dua jenis, yakni yang bersubsidi dan non-subsidi atau mandiri. Untuk jenis mandiri, harga vaksin akan sangat bergantung kepada dinamika pasar (rmco.id).

Ketua Komisi Pengkajian dan Pengembangan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Arief Safari mengatakan berbahaya bila pemerintah terpaksa melepas vaksin Covid-19 untuk dibeli masyarakat dengan mekanisme pasar, karena akan menciptakan price gouging yaitu kenaikan harga yang gila-gilaan sebagaimana kejadian pada masker dan hand sanitizer di awal-awal pandemi (Tempo.co).

Sepertinya masyarakat kembali harus menelan pahitnya kenyataan hidup. Mendapatkan vaksin gratis menjadi mimpi di siang bolong. Padahal hal tersebut termasuk hak masyarakat dalam jaminan kesehatan yang harus ditunaikan negara.

Alih-alih menggratiskan, kondisi perekonomian negara yang carut-marut di tengah pandemi ditambah resesi, diperparah pembiayaan utang yang mencapai 1000 T. Berhasil membuat Indonesia semakin tak berdaya di bawah cengkeraman sistem kapitalisme sekuler di bawah kendali negara adidaya.

Oligarki korporatokrasi yang menjadi nafas pengaturan urusan rakyat oleh negaranya. Menjadikan penguasa dan pengusaha semakin mesra berpesta pora di atas penderitaan rakyat.

Berbeda 180 derajat kondisi saat ini dengan kondisi dahulu saat Islam diterapkan sebagai sistem dan aturan oleh negara. Masa dimana Islam dengan negara Khilafah-nya mampu mengukir kegemilangan dan menjadi pusat peradaban dunia.

Di masa itu kesejahteraan, kebahagiaan dan keberkahan hidup dirasakan oleh masyarakat. Islam Rahmatan lil 'Aalamiin bukanlah slogan semata, tapi nyata dirasakan oleh manusia secara keseluruhan.

Saat itu Khilafah menjamin kebutuhan pokok individu (sandang, pangan dan papan) serta kolektif (kesehatan, pendidikan dan keamanan) bagi seluruh warga negara baik Muslim ataupun nonmuslim.

Khususnya dalam bidang kesehatan, negara tak hanya menjamin layanan dasar seperti penyediaan tenaga medis yang profesional, fasilitas kesehatan, dan obat-obatan yang memadai, aman, dan membantu kesembuhan (kuratif); tapi juga bicara soal ketahanan pangan, kecukupan gizi, kesehatan lingkungan, mitigasi bencana atau wabah, riset saintek, dan lain-lain (prefentif, promotif).

Lantas bagaimana Khilafah bisa membiayai kebutuhan sebanyak dan selengkap itu? Pasti memakan jumlah yang besar dan fantastis.

Khilafah memiliki Baitul Maal yaitu lembaga keuangan negara yang mengelola sumber-sumber pemasukan negara, diantaranya kekayaan SDA yang berlimpah ruah sebagai karunia dari Allah diperuntukan untuk manusia.

Kekayaan SDA merupakan harta milik umum yang dikelola oleh negara (bukan swasta apalagi asing dan aseng) dan hasilnya dikembalikan lagi kepada rakyat untuk menjamin pemenuhan kebutuhan mereka, termasuk kesehatan.

Pelayanan kesehatan yang berkualitas memang biayanya mahal, tapi itu semua akan ditanggung oleh negara. Akan diberikan kepada rakyat dengan murah bahkan gratis.

Semua itu bukanlah sekedar romantisme sejarah tapi bisa direalisasikan pada kehidupan jaman now. Tentu saja syarat dan ketentuan berlaku. Karena sejatinya Islam dan Kapitalisme mustahil disatukan dan berjalan beriringan. Yang haq dan yang bathil mustahil dikompromikan.

Maka sudah saatnya kita enyahkan sistem kapitalisme sekuler ini dari kehidupan kita, karena hanya menimbulkan kerusakan dan penderitaan bagi rakyat. Ganti dengan sistem Khilafah yang menerapkan syariah Islam sebagai aturan yang sejalan dengan fitrah penciptaan manusia. Allahu Akbar![]

Picture Source by Google

Disclaimer: Www.NarasiPost.Com adalah wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya. NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected].

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Previous
RUU Cipta Karya Sah, Pekerja Resah
Next
Hati yang Gelisah
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram