"Kecacatan sistem sekularisme kapitalisme berimbas warga mengonsumsi pangan tak sehat karena didera kemiskinan, dan yang lebih parah lagi melanggar aturan agama."
Oleh. Hanum Hanindita, S.Si
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Geger wabah antraks dari Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Ditemukan kasus tiga orang meninggal dunia di Dusun Jati, Desa Candirejo, setelah sebelumnya diketahui menyembelih daging sapi yang telah mati. Salah satu dari mereka, meninggal pada Juni lalu, setelah dites hasilnya positif antraks. Data yang dicatat oleh Kementerian Pertanian hingga Rabu (05/07), ditemukan 12 ekor hewan ternak mati, terdiri dari enam sapi dan enam kambing. Di sisi lain Kementerian Kesehatan juga melakukan tes serologi dan hasilnya tercatat 85 warga positif antraks. Tradisi brandu atau purak, disebut sebagai faktor yang paling meningkatkan risiko terjadinya kasus antraks.
Kasus ini bukan pertama kali di Kabupaten Gunungkidul. Terdata wabah tersebut telah lima kali terjadi, yaitu pada Mei dan Desember 2019, Januari 2020, Januari 2022, terbaru Mei-Juni 2023 (bbc.com, 07/07/23). Saat ditanya ke salah satu warga, tujuan dari brandu pada dasarnya sebagai bentuk kepedulian kepada tetangga yang merupakan peternak. Agar peternak tidak rugi besar, daging hewan yang sudah mati atau terlihat sakit, dipotong lalu dijual dalam bentuk paket berharga murah dan uang yang terkumpul diberikan pada peternak. (cnnindonesia.com, 08/07/23)
Penyebab Budaya Brandu
Budaya brandu yang terjadi di wilayah Gunungkidul, Yogyakarta sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sana dalam waktu yang sangat lama. Jika kita lihat lebih jauh beberapa faktor penyebab suburnya budaya brandu di antaranya adalah kemiskinan dan minimnya literasi.
Pertama, budaya brandu jelas menunjukkan potret kemiskinan yang parah di tengah masyarakat. Kemiskinan adalah problematika pelik di Gunungkidul. Penduduk miskin di sana pada 2022 mencapai 15,86%. Kantong kemiskinan terletak di tujuh kecamatan, yaitu Saptosari, Playen, Gedangsari, Nglipar, Ponjong, Tepus, dan Karangmojo. Ada sejumlah 6.390 warga tergolong miskin ekstrem (harianjogja.com, 23/01/23). Kemiskinan ini berdampak pada banyak hal, salah satunya eksisnya tradisi brandu yang berbahaya untuk kesehatan masyarakat.
Sebagaimana kita ketahui, saat ini harga daging relatif sangat mahal. Bisa dibilang daging merupakan makanan yang hanya bisa dikonsumsi oleh kalangan tertentu saja. Untuk masyarakat miskin tentu akan sangat sulit mengonsumsi daging. Padahal daging adalah jenis makanan bergizi tinggi. Tingginya harga daging di pasaran dipengaruhi beberapa faktor, bahkan tak jarang ada permainan mafia di dalamnya.
Kedua, rendahnya tingkat literasi sehingga biasa mengonsumsi daging hewan sakit bahkan mati. Minimnya informasi terkait pentingnya makanan sehat bagi tubuh serta jenis makanan apa saja yang layak dan tidak layak untuk tubuh manusia, menjadikan budaya brandu tetap bertahan hingga kini. Padahal sejumlah bahaya mengintai karena kebiasaan ini. Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementan, Syamsul Ma'arif, menjelaskan bahwa sifat bakteri penyebab antraks, Bacillus anthracis, akan membentuk spora saat terpapar udara terbuka. Spora ini juga bisa bertahan di tanah selama 40-80 tahun. Karena sifat ini, konsumsi daging hewan yang terinfeksi antraks sangat dilarang. Daging yang sudah terpapar antraks bahaya untuk dimakan, bahkan dibedah atau disembelih saja tidak boleh. Sekali pun daging direbus, bakteri tidak akan hilang. Walaupun tak semua ternak yang sakit positif antraks, namun kebiasaan memakan hewan ternak yang mati adalah perbuatan keliru. Oleh karenanya, pemerintah seharusnya bertindak cepat untuk menyelesaikan kasus ini, sebelum makin menyebar dan menelan banyak korban.
Wujud Kelalaian Penguasa
Dari semua faktor penyebab suburnya budaya brandu, yang paling utama adalah karena kelalaian penguasa dalam mengurus rakyat. Sehingga tradisi yang membahayakan ini tetap berlangsung, bahkan melanggar aturan agama yang mengharamkan memakan bangkai. Kelalaian penguasa ini terjadi karena penguasa mengatur dan mengurus negeri ini beserta rakyatnya dengan menggunakan aturan sekularisme kapitalisme.
Prinsip sekularisme sendiri adalah memisahkan aturan agama dari kehidupan. Dengan kata lain, agama tidak dijadikan sebagai pegangan dalam kehidupan sekaligus menyelenggarakan kepengurusan negara. Akibatnya, kebijakan yang lahir dari sekularisme menjadi bertentangan dengan nilai agama, termasuk pembiaran negara terhadap berlangsungnya tradisi memakan hewan yang sakit atau sudah menjadi bangkai. Di dalam Islam memakan bangkai hukumnya adalah haram. Allah Swt. berfirman yang artinya, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala." (TQS. Al-Ma'idah: 3)
Memakan bangkai merupakan larangan Allah yang bersifat mutlak. Di sisi lain, memakan bangkai menghantarkan kepada kemudaratan. Bisa saja hewan mati karena terserang penyakit sejak lama atau terinfeksi penyakit baru, sehingga jika itu dimakan akan berbahaya untuk kesehatan. Selain itu, bangkai hewan sifatnya menjijikkan. Menurut Ibnu Katsir, mayoritas ulama sepakat bahwa satu-satunya bangkai yang tidak diharamkan hanyalah bangkai binatang laut selama belum membusuk. Dari sudut pandang Islam memakan bangkai akan menyebabkan amal ibadah serta amalan-amalan lain yang dikerjakannya tidak diterima di sisi Allah Swt. dan juga mengakibatkan doa seseorang tidak dikabulkan.
Di sisi lain, penerapan sistem kapitalisme telah membuat penguasa gagal dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat. Dalam kapitalisme distribusi harta kekayaan negara yang seharusnya menjadi milik umat malah hanya dinikmati oleh sekelompok elite tertentu, dalam hal ini adalah para kapitalis, pemilik modal raksasa, dan jajarannya. Maka ketimpangan semakin menjadi, kemiskinan semakin akut, berimbas kepada rakyat yang kesulitan mendapatkan makanan sehat yang bergizi karena harganya yang melambung tinggi. Wajar saja rakyat memilih membeli makanan yang sudah rusak walaupun berdalih menolong, karena sudah pasti harga daging seperti itu lebih terjangkau untuk kalangan warga miskin. Penguasa pun gagal menyejahterakan peternak lokal dan menjaga kestabilan harga daging di pasaran, karena keok dengan permainan mafia pasar. Ini juga menjadi bukti gagalnya penguasa menjamin tersedianya pangan sehat untuk seluruh rakyat dan juga kemudahan dalam mengaksesnya.
Inilah sebagian potret kelam lalainya penguasa dalam mengurus rakyat akibat penerapan sistem sekularisme kapitalisme. Kapitalisme telah memuluskan penguasaan sumber ekonomi oleh segelintir korporasi. Hasilnya adalah kemiskinan yang tiada usai. Kondisi ini terus bertahan karena regulasi yang penguasa buat memang mengokohkan dominasi korporasi dalam ekonomi. Sementara itu, kesejahteraan rakyat terabaikan. Kecacatan sistem sekularisme kapitalisme berimbas warga mengonsumsi pangan tak sehat karena didera kemiskinan, dan yang lebih parah lagi melanggar aturan agama. Oleh karena itu, penyelesaian wabah antraks di Gunungkidul tak cukup sekadar dari segi kesehatan, tetapi juga butuh penyelesaian sistemis dengan melepaskan sistem sekularisme kapitalisme.
Islam Menjamin Kesejahteraan
Sistem Islam akan menjamin rakyat hidup sejahtera dan terdidik, sehingga paham aturan agama maupun aturan terkait dengan kesehatan dirinya. Di dalam Islam, selain larangan Allah memakan bangkai, Allah juga memberikan perintah makan makanan halal dan tayib bagi muslim. Allah Swt. berfirman yang artinya, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan; karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (TQS. Al-Baqarah:168)
Pemerintah tidak boleh sekadar memberi edukasi dan imbauan pada masyarakat. Namun, harus ada tindakan tegas demi menyelamatkan nyawa manusia. Ini semua ditegakkan melalui pemberlakuan syariat kafah. Penguasa di dalam Islam dapat menerapkan langkah-langkah sebagai berikut:
Pertama, penguasa melakukan edukasi kepada warga negara terkait kewajiban memakan makanan yang halal dan tayib. Edukasi dilandaskan pada akidah Islam sehingga warga melaksanakan bukan karena semata-mata faktor kesehatan saja, tetapi juga dalam rangka ketaatan kepada Allah dan menjauhi langkah setan. Edukasi dilakukan secara luas dan terbuka ke seluruh pelosok tempat tanpa ada yang terlewati.
Kedua, penguasa menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki mekanisme sempurna dalam mengelola seluruh SDA yang telah dikaruniakan Allah. Tidak diperkenankan korporasi mendominasi dalam menguasai sumber ekonomi. Hasil pengelolaan SDA oleh negara akan dikembalikan kepada rakyat dalam rangka menyejahterakan mereka. Dengan demikian, warga tidak akan kesulitan untuk membiayai hidup termasuk memenuhi kebutuhan makan sehat.
Sistem ekonomi Islam juga memiliki skema tertentu untuk menjaga stabilitas harga bahan pangan di pasar, sehingga harga pangan akan berada dalam kondisi yang normal dan mudah dijangkau oleh seluruh rakyat. Apalagi kebutuhan pangan ini menyangkut hajat hidup orang banyak. Penguasa juga harus memastikan dan mengontrol bahwa tidak ada makanan rusak yang dijual di pasaran. Selain itu, penerapan sistem ekonomi Islam juga akan menghindari adanya penimbunan atau permainan mafia yang akan menyebabkan lonjakan harga yang parah. Dengan mekanisme seperti ini, rakyat akan mudah mengakses makanan yang sehat karena negara juga memfasilitasi.
Ketiga, penguasa memberikan jaminan kesejahteraan kepada peternak lokal dengan memberikan sejumlah modal yang cukup, edukasi perawatan ternak yang baik,dan vaksinasi yang memadai, agar hewan ternak sehat dan tidak mudah terserang penyakit.
Keempat, penguasa bekerja sama dengan ilmuwan, ahli kesehatan dan yang terkait untuk mengembangkan riset dalam rangka mencegah penyakit antraks pada hewan sekaligus meminimalisasi penyebarannya dengan cepat di kemudian hari.
Kelima, masyarakat dilarang keras mengonsumsi bangkai. Jika ada yang membagikan atau menjual daging bangkai, langsung diberikan sanksi tegas. Jika diperlukan, pemerintah dapat memberikan santunan pada warga yang hewan ternaknya mati agar tidak ada jual beli bangkai.
Tentunya semua program tersebut dianggarkan pembiayaanya melalui kas negara (baitulmal) yang secara khusus diposkan untuk kesejahteraan umat. Namun perlu disadari bahwa mekanisme seperti ini hanya bisa diterapkan manakala Islam menjadi ideologi negara dan diterapkan dalam institusinya. Jika Islam diterapkan, dapat dipastikan warga akan bebas dari kemiskinan dan hidup sejahtera. Selain itu, warga juga akan memperoleh jaminan makanan yang halal dan tayib sebagai bentuk ketaatan kepada hukum Allah.
Wallahu a'lam bishawab[]
Jujur, baru tau ada budaya seperti inj.. memilukan..
Semakin terasa butuh penerapan Islam yang paripurna. Di sistem saat ini, seseorang untuk bisa bertahan hidup terpaksa melakukan apa saja termasuk makan makanan yang membahayakan. Penguasa lalai menjamin kesejahteraan dan memastikan distribusi makanan yang sehat dan halal. Tapi, memang begini dalam sistem saat ini. Buruk.
Akibat penerapan sekularisme kapitalisme inilah berbagai tradisi yang membahayakan dan bertentangan dengan Islam banyak terjadi. Salah satunya adalah budaya brandu. Sistem ini pula yang menyebabkan kemiskinan, kebodohan, dan abainya negara sebagai pengurus rakyat terus terpelihara. Saatnya sistem rusak ini dibuang jauh dan diganti dengan sistem Islam.
Budaya brandu menjadi bukti rusaknya sistem kapitalis. Karena masyarakat hingga turun tangan untuk menangani hewan yang sakit agar tak merugikan peternak, meski nyawa menjadi ancaman. Inipun membuktikan pula bahwa kemiskinan nyata adanya. Pemenuhan kebutuhan pokok yang harusnya menjadi tanggung jawab negara, nyatanya individu menanggung beban sendiri.
Memang benar. Budaya brandu tak lepas dari peran negara sebagai pengurus rakyat. Seharusnya ini bisa dihindari mengingat kasus semacam ini bukanlah yang pertama kali.
Budaya bradu jelas dilarang Islam. Meskipun tujunnya baik tetapi di dalamnya mengantarkan mudhorot seharusnya jangan dilestarikan. Budaya ini menjadi bukti bahwa agama hanya sebatas ibadah ritual sehingga kaum muslim tidak memahami wajibnya memakan makanan yang halal dan thayib. Juga bukti abainya penguasa terhadap kesejahteraan rakyatnya.