”Jelas sudah, penguasaan hutan oleh korporasi telah mengoyak kehidupan masyarakat dan merusak kelestarian lingkungan. Sementara korporasi semakin digdaya mengeruk untung atas hutan negeri ini.”
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Keserakahan para kapitalis benar-benar “sempurna”. Demi meraup untung selangit, mereka tak segan membidik setiap jengkal tanah negeri ini sebagai lahan basah meraih cuan. Para kapitalis bahkan menempatkan penguasa boneka sebagai perpanjangan tangan mereka dan membeli hukum demi memuluskan syahwat penjajahan di negeri ini. Salah satunya dengan mengalihfungsikan hutan, khususnya di Kalimantan Timur sebagai lahan monokultur sawit skala besar, pertambangan, dan kebun kayu.
Jika menyebut para kapitalis, pasti segala kepentingannya berskala besar. Lantas, berapa luas hutan yang dialihfungsikan sebagai lahan sawit? Mengapa pemerintah terkesan tak berdaya bahkan mendukung deforestasi secara ilegal di Kalimantan Timur khususnya? Apa pula dampak terhadap hutan atas tindakan korporasi yang dilegalkan negara?
Pelepasan Kawasan Hutan
Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur berencana melepas dan menurunkan status kawasan hutan melalui Revisi Tata Ruang Wilayah (RTRW). Melalui RTRW tersebut, pemerintah akan mengubah alih fungsi hutan dan peruntukannya. Ada sebanyak 736.055 hektare hutan yang akan diubah fungsi dan peruntukannya melalui RTRW, sebagaimana laporan yang dikeluarkan oleh Koalisi Indonesia Memantau.
Rincian perubahan status tersebut adalah sebanyak 83,19 persen akan mengalami pelepasan kawasan hutan, 13,83 persen akan mengalami penurunan status kawasan hutan, 2,7 persen akan mengalami peningkatan status kawasan hutan, dan 0,28 persen sisanya tidak mengalami perubahan status apa pun. Dari total 83,19 persen atau setara 612.355 hektare hutan yang akan mengalami pelepasan, terdapat 156 izin konsesi perusahaan dari sektor pertambangan, monokultur sawit skala besar, dan kebun kayu. (bbc.com, 08/07/2023)
Sementara itu, dari total jumlah tanah yang masuk dalam usulan pelepasan, sekitar 138.021 hektare merupakan lahan dengan Izin Usaha Pengolahan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK–HTI). Sedangkan jumlah korporasi yang sudah terdeteksi di wilayah tersebut yakni sebanyak 39 perusahaan. Sayangnya, dari jumlah kawasan hutan yang akan dilepas tersebut hanya ada 94.404 hektare yang ditujukan untuk program Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) dan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).
Menguntungkan Korporasi
Pengesahan RTRW atas hutan di Kalimantan Timur tersebut menuai kritik dari berbagai organisasi lingkungan yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Memantau. Mereka adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalimantan Timur, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Auriga Nusantara, dan Forest Watch Indonesia (FWI). Koalisi menuding, RTRW sangat menguntungkan korporasi dan mengorbankan kepentingan rakyat serta lingkungan.
Direktur Eksekutif WALHI Kalimantan Timur, Fathur Roziqin Fen bahkan menyebut, yang memperoleh keuntungan dari seluruh aktivitas tersebut adalah korporasi. Sedangkan rakyat tidak diakomodasi sama sekali terkait perlindungan dan pengakuan wilayah kelolanya. Selain itu, WALHI juga menilai bahwa RTRW sering dijadikan dalih untuk mengampuni aktivitas ilegal perusahaan di wilayah tersebut.
Di sisi lain, RTRW telah berdampak pada ketimpangan penguasaan lahan antara korporasi dengan masyarakat. Bagaimana tidak, dari sekitar 700.000 hektare yang akan diubah fungsi dan peruntukannya, hanya 13 persen lahan yang diperuntukkan bagi masyarakat. Sedangkan sisanya menjadi milik korporasi.
Ketimpangan penguasaan lahan yang sangat mencolok jelas berpotensi memperpanjang petaka krisis agraria di Kaltim. Hal ini bukan tanpa alasan. Berdasarkan data dari Catatan Akhir Tahun KPA (2018–2022), disebutkan bahwa terdapat 40 ledakan konflik agraria di Kalimantan Timur. Dampak dari konflik tersebut pun sangat merugikan masyarakat. Warga sekitar akhirnya kehilangan tanah dan sumber-sumber alam yang menjadi sandaran kehidupan mereka. Pada akhirnya ketimpangan penguasaan tersebut berujung pada pemiskinan struktural.
Mendegradasi Hutan
Petaka kebijakan penguasa tak hanya sampai di situ. RTRW tersebut diprediksi akan mendegradasi lingkungan melalui aktivitas deforestasi. Berdasarkan analisis data spasial yang dilakukan oleh Auriga Nusantara, disebutkan bahwa RTRW akan mendegradasi hutan alam seluas 408.225 hektare atau sekitar 55,46 persen dari jumlah luas lahan yang masuk dalam usulan RTRW.
Tak hanya merusak kelestarian lingkungan, pelepasan kawasan hutan ini juga mengancam keanekaragaman hayati yang ada di Kalimantan Timur. Pasalnya, 467.792 hektare hutan dari jumlah usulan RTRW tersebut merupakan habitat orang utan. Sedangkan 78.712 hektare lainnya merupakan habitat badak sumatra yang kini terancam punah. Jelas sudah, penguasaan hutan oleh korporasi telah mengoyak kehidupan masyarakat dan merusak kelestarian lingkungan. Sementara korporasi semakin digdaya mengeruk untung atas hutan negeri ini. Lantas, bagaimana sikap pemerintah?
Lemahnya Penegakan Hukum
Dilihat dari sisi mana pun, apa yang dilakukan oleh korporasi tersebut jelas merugikan rakyat dan negeri ini. Namun, bukan rezim kapitalis namanya jika tak memiliki belas kasih terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Alih-alih memberikan sanksi, pemerintah justru akan “memutihkan” alias melegalkan perkebunan sawit yang sudah terlanjur dibangun di area hutan. Jumlahnya pun tak tanggung-tanggung yakni sebanyak 3,3 juta hektare. Kebijakan tersebut juga telah dikonfirmasi oleh Menteri Koordinator Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Perusahaan yang sudah terlanjur menaman sawit di area hutan akan diberi pengampunan oleh pemerintah setelah mereka membayar denda administrasi. Hal ini sebagaimana yang tercantum dalam UU Cipta Kerja Pasal 110a dan 110b. Jelasnya, pengampunan yang diberikan tidak hanya dapat dilakukan melalui revisi tata ruang dan pengajuan secara mandiri oleh perusahaan kepada pemerintah, tetapi dapat dilakukan melalui mekanisme dalam UU Cipta Kerja.
Kedua ruang tersebut, yakni revisi tata ruang dan UU Cipta Kerja dapat dimanfaatkan oleh perusahaan untuk “memutihkan” dosa-dosa mereka. Juga dapat dikatakan bahwa kedua ruang tersebut dapat memuluskan kepentingan korporasi, termasuk menjadikan sesuatu yang ilegal menjadi legal. Di sinilah absurdnya kebijakan pemerintah sebagai pengurus rakyat. Bukankah sudah seharusnya pemerintah memberikan sanksi tegas terhadap perusahaan yang sudah membuka lahan sawit secara ilegal?
Namun, pemerintah justru bertingkah sebaliknya. Bukannya memberi sanksi, penguasa negeri ini malah memberikan pengampunan kejahatan lingkungan kepada para korporasi sawit. Dengan belas kasihnya, pemerintah pun memberi batas waktu mekanisme pengampunan kejahatan tersebut hingga 2 November 2023. Padahal, siapa pun tahu jika di tahun politik seperti saat ini, waktu tersebut dapat menjadi ruang transaksional antara penguasa dan pengusaha.
Pemutihan atau legalisasi sawit dalam kawasan hutan, menunjukkan bahwa negara tunduk kepada korporasi sekaligus membiarkan kejahatan lingkungan yang mereka lakukan. Bahkan, pemberian ruang pengampunan tersebut sudah dilakukan sejak 13 tahun lalu, yakni melalui berbagai mekanisme dalam UU. Fakta ini jelas menunjukkan lemahnya negara dalam menegakkan hukum terhadap para pemilik korporasi sawit.
Padahal, andai mau mengambil kebijakan dengan benar, tentu pemerintah akan berpikir bahwa denda yang dibayarkan korporasi tidak sebanding dengan kerugian yang diterima rakyat dan negeri ini. Mulai dari kerugian perekonomian sampai kerusakan lingkungan, seperti banjir, kebakaran, kekeringan, longsor, dan lainnya yang harus ditanggung oleh rakyat dan negara.
Demikianlah, mengharapkan ketegasan negara dalam menegakkan hukum kepada korporasi, ibarat mimpi di tengah hari. Penguasa yang lahir dari sistem kapitalisme liberal tak pernah sungguh-sungguh menjaga rakyat, SDA, bahkan negeri ini dari jarahan para kapitalis. Mereka justru memberi ruang seluas-luasnya pada korporasi untuk menjarah kekayaan negeri ini secara legal melalui UU. Inilah bukti kerusakan sistem kapitalisme yang diemban negeri ini.
Pengelolaan dan Penjagaan Hutan oleh Islam
Islam tak hanya fokus mengatur persoalan ibadah dan moral semata, tetapi juga mengatur seluruh urusan manusia sekaligus menjadi solusi atas setiap problematika yang ada. Termasuk di antaranya mengatur tentang pengelolaan harta milik umat. Semua kepemilikan tersebut diatur secara sempurna oleh Islam demi terwujudnya kemaslahatan.
Dalam Islam, hutan termasuk dalam kategori harta kepemilikan umum yang haram dimiliki, dikelola, apalagi dijarah oleh swasta, baik lokal maupun asing. Artinya, hanya negara (Khilafah) yang berhak mengelolanya dan mengembalikan hasilnya kepada sang pemiliknya yang sah yakni rakyat. Meski negara yang mengelolanya, tetapi hal itu akan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat. Hal ini dilakukan agar hutan tidak tereksploitasi secara besar-besaran bahkan overload seperti saat ini.
Larangan penguasaan aset milik umum oleh pihak lain didasarkan pada hadis riwayat Abu Dawud, yang artinya: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api.” Selain mengatur masalah kepemilikan, Islam juga dengan tegas melarang berbuat kerusakan di muka bumi. Hutan adalah paru-paru dunia yang menghasilkan banyak oksigen bagi kelangsungan hidup manusia. Bagaimana jadinya nasib generasi mendatang jika hutan telah terkikis habis, sebagaimana perusakan hutan di negeri ini demi syahwat para kapitalis?
Larangan berbuat kerusakan pun telah tegas Allah firmankan dalam surah Al-A’raf ayat 56, yang artinya: “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Khatimah
Di bawah sistem kapitalisme, hutan dijarah secara legal, bahkan diberikan kepada para korporat untuk dikelola. Demikianlah jika pengaturan urusan umat diserahkan kepada akal manusia yang lemah dan terbatas. Sudah cukup kesengsaraan dan kemelaratan yang ditimbulkan karena manusia meninggalkan hukum Allah Swt.
Sejatinya tidak ada hukum terbaik yang dapat mengelola SDA secara benar dan adil selain hukum Islam. Saatnya kembali pada Islam dan menjadikan syariatnya sebagai solusi dalam mengatur kehidupan. Di bawah naungan Islam, hutan dan seluruh kekayaan milik umat benar-benar dikelola berdasarkan syariat Islam agar membawa kemaslahatan bagi seluruh manusia.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Benar2 menyengsarakan rakyat.....
Kapitalisme sistem yang serakah. Tulisannya bagus.
Betul mbak Sherly, memang watak kapitalisme serakah. Syukran mbak
Seperti di Wadas menimbulkan bencana tanah longsorbdan kerusakan alam akibat pertambangan.
Betul, mbak. Pertambangan dan industri kapitalisme memang merusak lingkungan
Keserakahan kapitalis emang tiada duanya. Seolah negeri ini tercipta hanya untuk mereka. Dan mereka merasa memiliki hak penuh atas setiap jengkal tanah yang dipijaknya. Sementara rakyat hanya mampu memandangi keserakahan mereka. Negara yang diharapkan melindungi kepentingan rakyat, nyatanya berbuat sebaliknya. Maka hanya sistem Islam solusi terbaik dari problematika yang dihadapi umat.
Betul mbak, berharap pada sistem saat ini untuk menjaga aset-aset negeri, ya ibarat mimpi di siang bolong
Betul, mbak. Penguasa sesungguhnya di negeri ini adalah kapitalis. Karena itu, solusinya hanya dengan mengganti ideologi rusak ini dengan Islam
Alih fungsi hutan yang tidak sesuai dengan syariat Islam akan membawa bencana bagi alam dan manusia. Saya sendiri sudah merasakan ketika tinggal di Kalimantan Tengah yang dahulu banyak hutannya tapi sekarang malah banyak perkebunan kelapa sawit.
Sepertinya penggundulan hutan sudah merata ya mbak. Gak di Kalimantan, Sulawesi, semua sudah diganyang oleh korporasi. Nelangsa sih lihat negeriku ini
Regulasi apapun namanya digunakan unt melindungi para kapital. Pembodohan publik dgn opini sesat biasa dilakukan media2 mainstream.
Rakyat menebang bbrp pohon sekadar memenuhi kebutuhan dasar akan dituding pelaku penebangan ilegal yang berdampak massif bagi rusaknya hutan...lah, dibandingkan penggunaan oleh perusahan2 besar ya nggak sebanding.
Kuylah, suarakan terus kebenaran dgn mengedukasi umat bersama pejuang Islam kaffah.
Betul ya, karena sebenarnya negara itu prinsipnya cuma untung dan rugi. Kalau dianggap menguntungkan ya diaminkan saja. Sementara jika rakyat yang melakukan dianggap tidak menguntungkan, jadi dipermasalahkan. Miris ...
Para kapital benar-benar rakus, mereka akan selalu menggasak seluruh harta milik umat tak terkecuali hutan. Maka, wajarlah segala bencana akibat ulah manusia sendiri(para kapital dan penguasa).
Betul mbak, ini sih namanya perselingkuhan antara penguasa dan pengusaha yang mengorbankan rakyat. Serem ya ...
Jazakunnallah khairan katsiran Mom dan tim NP. Semoga bermanfaat bagi yang membacanya.
Waiyyaki mb Sartinah. Selalu keren mencerahkan tulisannya. Semakin terdepan sukses always
Aamiin, syukran mbak Mimi