“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (TQS. Al-Ahzab: 23)
Oleh. Putri Achmad
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Lingkungan yang dibentuk sekularisme, memang sangat sulit menghasilkan manusia-manusia tangguh dalam menghadapi tantangan kehidupan. Itu biasa. Namun, bukan hal mustahil jika ada manusia-manusia brilian yang mampu menghadapi tantangan-tantangan kehidupan. Merekalah manusia luar biasa. Dan salah satu yang sangat berpeluang untuk menjadi manusia-manusia luar biasa di zaman ini adalah pejuang Islam, pengemban dakwah karena kunci keberhasilan melewati setiap tantangan kehidupan ada dalam genggamannya, yaitu Islam.
Tetiba, saya ingat engkau, mbak Al. Dahulu, sebelum kau tak bisa berjalan lagi karena sakit yang kau derita, berangkat ke Jogja dengan motor jadulmu dan ada teman yang ikut bonceng. Padahal, perjalanan dari Semarang ke Jogja dengan motor bebek jadul bisa dibilang enggak mudah. Tapi, saya lihat kau menikmati kondisi itu. Seperti naik mobil atau naik pesawat. Namun, setelah sakit yang kau derita bertambah berat, kau harus memilih amanah dakwah apa yang tetap bisa kau lakukan dengan segala keterbatasanmu saat itu. Akhirnya, pilihanmu jatuh pada amanah menulis.
Tetiba, saya ingat Anda, Bu Yul. Dalam kondisi sakit yang semakin tak ringan, sebenarnya anda punya alasan syar’i untuk izin tidak ikut salah satu agenda dakwah, namun anda tidak ambil ‘rukhshah’ itu. Prinsipmu, kau ingin wafat dalam kondisi tetap berdakwah. Walaupun, harus mengikuti acara online dengan posisi berbaring, Anda coba tetap mengikuti agenda dakwah semampu yang Anda bisa.
Bu, Mbak kalian berdua hanya segelintir contoh dari banyak contoh para pengemban dakwah yang memiliki kepribadian climber. Ya, aku pinjam istilah yang dikenalkan oleh Paul Scholz. Bukan tanpa alasan tetiba saja kalian berdua muncul dalam benakku, raga bisa hancur, namun keteladanan dari kalian tidak lekang dimakan waktu.
Beberapa hari ini, saya dilanda kegelisahan. Gelisah yang masih terasa sampai saat ini. Gelisah karena di zaman yang makin absurd, ternyata banyak dari kami yang telah bertekad untuk menjadi pejuang Islam dan penjaga Islam terpercaya, nyatanya masih suka merasa aman di zona nyaman. Demikian pula sebaliknya, merasa nyaman di zona aman. Padahal, tak sedikit dari kami sudah dibekali tsaqafah pergerakan yang tidak bisa dibilang minim. Alias, kami sudah banyak melahap buku-buku pembinaan sebagai bekal bergerak, berdakwah ke tengah-tengah umat. Namun, sebagian dari kami enggan mengasah kemampuan agar mampu melewati tantangan demi tantangan. Seperti mengenyam pendidikan, meniti tangga demi tangga level pendidikan formal.
Sayangnya, dalam masalah tantangan dakwah tidak demikian. Jika sudah berhasil melewati satu atau dua tantangan, kami mencukupkan diri pada kondisi tersebut. Apalagi jika kami sudah merasa mampu dalam satu dua hal, kami enggan menerima tawaran amanah spesial lain. Tak sedikit tawaran tugas-tugas dakwah yang lebih menantang ditujukan kepada kami, tapi kami berdalih, “bukan lagi masanya aku di situ, harus ada regenerasi.”, “jangan saya lagi, enggak ada lainnya?” Benar, pemberdayaan dalam sebuah tim dakwah harus ada, itu saya setuju. Tapi, bukan itu yang ada dalam pikiran kami. Bukan itu alasan kami menolak amanah dakwah. Intinya, kami mager, sudah pewe, posisi wuenak.
Di antara kami ada yang sudah merasa ahli jadi pengisi majelis-majelis taklim, maka kalau harus membuka lahan dakwah baru, apalagi di tempat yang baru, kenalan lagi dengan masyarakat yang ada di tempat baru, hadeuh… apa kata dunia? Seorang ustazah kok turun gunung? Atau, jika sudah suka dengan amanah dakwah di kalangan ibu-ibu, merasa ahli disana, ketika amanah baru menyapa untuk mengelola dakwah remaja, dalih pun keluar lagi. Sudah bukan masanya saya dakwah ke remaja, sudah lewat. Padahal, kalo dipikir-pikir justru orang yang sudah pernah melewati masa remaja, harusnya lebih paham tentang dunia remaja dan seluk-beluknya.
Serupa dengan kami yang sudah mahir jadi OC dalam sebuah agenda dakwah, enggan beralih jadi SC. Secara, beban amanahnya lebih berat, kemampuan yang dituntut juga ekstra. Kami lupa bahwa potensi hidup manusia di mana pun dan kapan pun selalu sama, tujuan dari aktivitas manusia dari bangun tidur sampai tidur lagi, juga sama. Bedanya, cuma perkembangan bentuk-bentuk pemenuhan kebutuhan hidupnya saja. Dahulu, manusia memenuhi rasa laparnya bisa langsung mengambil dari alam, sekarang sudah lebih canggih dan beragam. Dahulu, manusia menuntut ilmu cukup dengan hadir dalam majelis-majelis para ulama atau para ilmuwan. Sekarang, mejelis ilmu ada macam rupa, bentuk, dan jenisnya.
Nasihat ini khusunya untuk saya dan pengemban dakwah di mana pun kalian. Ngakunya, sih umat Muhammad saw., meneladani beliau, termasuk dalam berdakwah. Tapi, banyak enggak sinkron antara ucapan dengan perilaku, antara teori dengan praktik. Muhammad pastinya bukan tipe camper. Pastilah beliau climber, itu sudah terbukti dan enggak usah diragukan. Beliau enggak pernah memanfaatkan posisinya sebagai nabi dan rasul sebagai privilege tidak perlu susah payah berdakwah, cukup para sahabatnya saja. Rasul paham apa tugasnya dan itulah yang akan jadi teladan bagi umatnya.
Bahkan, saat harus melobi pemuka masyarakat di Thaif, beliau harus terima ditolak, dicaci maki, ditimpuki. Itu sekelas manusia pilihan Tuhan Semesta Alam. Lah, apalah kita dibanding beliau? Kok, naif banget, ya?! Lugu dan polos. Ternyata, kami masih menjadi pribadi berkarakter mager alias camper, belum memenuhi karakter climber. Tipe pendaki gunung yang gigih agar sampai ke puncak. Merasa cukup dengan apa yang ada, tapi bukan kanaah, melainkan menyerah. Malas berjuang, enggan berkorban yang lebih dari sebelumnya. Mirip seperti ciri-ciri generasi muda saat ini, M A G E R. Malas upgrade kemampuan dalam berdakwah.
Kami lupa bahwa dakwah itu kewajiban, bukan hobi apalagi profesi. Roda dakwah yang digerakkan oleh sebuah gerakan dakwah, organisasi dakwah ataupun partai Islam ideologis akan selalu berputar karena SDM-SDM yang mau berdakwah, bukan karena mampu berdakwah. Mau mencoba, mau belajar, mau diarahkan, mau bangkit setelah gagal. Memang beda-beda tipis dua kata ini, mau dan mampu. Tapi, efeknya berbeda signifikan terhadap aktivitas dakwah. Orang yang mau akan berusaha meskipun saat itu dirinya masih belum mampu, tetapi mampu hanya akan dilakukan jika seseorang merasa sudah mampu. Nah, masalahnya untuk urusan mengemban suatu amanah dakwah kebanyakan dari kami merasa tidak atau belum mampu. Pertanyaan klise saat tawaran amanah menghampiri, “apa saya mampu?”Jujurly, sebenarnya para pemimpin kami ingin banget pertanyaan itu dilanjutkan dengan kalimat, “ok, saya mau mencoba. Tolong bimbing saya.” Yes! Kuylah, gaskeun….
Sebagai penutup tulisan amatiran ini yang lebih tepatnya sebagai autokritik untuk kami para pengemban dakwah, saya teringat kisah Thomas Alva Edison, semoga kisah ini menambah kuat motivasi kita. Edison saja yang sangat ingin menemukan jenis lampu yang tepat untuk menerangi ruangan, harus mencoba sebanyak 9955 percobaan, sebelum akhirnya berhasil menemukan jenis lampu pijar yang bisa bertahan lama. Apalagi saya, kamu dan kalian?! Orang-orang yang telah menyatakan diri untuk membawa cahaya yang akan menerangi dunia ini setelah gelap gulita kurang lbih seabad. Masih tertarik jadi camper? Silakan, dan jangan menyesal nantinya jika akan ada orang-orang yang menggantikan kita menggapai puncak tertinggi perjuangan mulia ini.
“Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah, maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka tidak mengubah (janjinya).” (TQS. Al-Ahzab: 23)
Wallahu a'lam bishawab.[]
motivasi yang berarti... syukron Bu...
MasyaAllah sangat bermanfaat untuk pengingat diri. Jazakumullah khoiron katsiron untuk penulis dan NP
Self reminder, kadangkala menjalani kehidupan di era Kapitalisme terasa begitu berat saat amanah dakwah pun tak ringan diemban.
Saat itulah circle para pejuang Islam begitu sangat berharga. Bergantian saling memotivasi, dan menasihati terasa sangat2 berharga...love u all.
Masyaallah tabarakallah
Sungguh luar biasa para pengemban dakwah yg mukhlis mereka tak pernah menyerah atau mengeluh meski kondisi sdg sakit tetap menjalankan amanah.
So, naskah ini memotivasi banget buat yg lagi futur. Keren
Maayaallah, motivasi yang bagus sekaligus sebagai cambuk buat para pengemban dakwah yang sudah berazam untuk konsisten di jalan dakwah. Semoga kita diberikan kekuatan untuk berdakwah di zona aman maupun di luar zona nyaman.