Penyimpangan Ponpes Al-Zaytun Menodai Akidah, Peran Negara Lemah?

”Peran negara terlihat lemah karena tidak segera menindak lembaga pendidikan Islam dalam bentuk apa pun yang kurikulum dan materinya bertentangan atau menyimpang dari ajaran Islam.”

Oleh. Sherly Agustina, M.Ag.
(Kontributor NarasiPost.Com, Penulis, dan Pemerhati Kebijakan Publik)

NarasiPost.Com-Imam Al Ghazali mengatakan, "Agama dan kekuasaan ibarat saudara kembar. Agama merupakan fondasinya sedangkan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tak memiliki fondasi niscaya akan roboh. Segala sesuatu yang tak memiliki penjaganya pasti akan musnah."

Sejak runtuhnya tatanan Khilafah yang menjadi induk bagi seluruh umat Islam di dunia, permasalahan dan penyimpangan akidah seakan tak ada hentinya. Khususnya di Indonesia, banyak sekali muncul ajaran dan aliran menyimpang Herannya, penyimpangan tersebut berlabel Islam dan ajaran Islam, seperti ada upaya untuk menodai Islam dan ajaran Islam.

Geger, penyimpangan yang terjadi di sebuah pondok pesantren di Jawa Barat. Dilansir dari tvonenews.com, (17-06-2023), PP Al-Zaytun yang terletak di Indramayu, Jawa Barat didemo ratusan warga karena melakukan penyimpangan. Pimpinan PP tersebut menyatakan bahwa dia komunis. Adapun penyimpangan yang terjadi yaitu meyakini bahwa ibadah haji tidak perlu ke Makkah, tata cara salat perempuan di saf depan, dan puasa dianggap tidak umum. MUI mendesak pemerintah untuk segera menyelesaikan huru-hara di PP Al-Zaytun tersebut.

Sekretaris MUI Jabar, Rafani Achyar menuturkan bahwa sudah mengumpulkan data dan informasi tentang apa saja yang berkaitan dengan ponpes tersebut. Namun, upaya MUI berkunjung ke Ponpes Al-Zaytun ditolak dengan alasan sibuk untuk tahun ini. Rafani mengatakan, Panji Gumilang sebagai pimpinan Ponpes Al-Zaytun membuat pernyataan yang kontroversial yaitu dibolehkannya perzinaan asal ditebus (news.detik.com, 18-06-2023).

PP Al-Zaytun Terafiliasi NII?

PP Al-Zaytun yang sudah berdiri selama 30 tahun merupakan salah satu PP yang terbesar di Asia Tenggara dan memiliki bangunan tertinggi ketiga di dunia. Luas tanahnya mencapai 1.200 hektar terdapat peternakan, pertanian, dan bangunan mewah. Melihat kemegahan bangunan dan luasnya tanah yang dimiliki, tentu mengundang pertanyaan dana yang didapat dari mana?

Ada yang mengatakan sumber dana yang masuk ke Ponpes Al-Zaytun salah satunya dari ormas NII, yang jumlahnya miliaran tiap bulannya. Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Bidang Hukum dan HAM Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ichsan Abdullah menjelaskan bahwa PP Al-Zaytun terafiliasi gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Hal tersebut hasil penelitian yang dilakukan MUI di tahun 2002. Jika benar demikian, maka seharusnya pemerintah bertindak tegas dan cepat terhadap siapa pun yang berkaitan dengan ormas tersebut karena terang-terangan menyebut dirinya sebagai negara.

Bukankah tidak mungkin ada negara di dalam negara? Mengapa terlihat perlakuan yang berbeda dari pemerintah terhadap NII dan HTI? HTI hanya sebagai ormas yang ingin menerapkan syariat Islam untuk kemaslahatan umat di seluruh dunia. HTI hanya ormas bukan negara, tapi pemerintah begitu cepat responsnya menindak HTI dengan mengeluarkan perppu kegentingan memaksa untuk membubarkannya.

Ada upaya pengaburan dan memalingkan ajaran Islam yang sebenarnya, karena melihat opini penyimpangan dari Ponpes Al-Zaytun pemerintah tidak segera merespons secara langsung. Bahkan, PP ini dibiarkan beraktivitas selama 30 tahun. Namun, bagi ormas yang mendakwahkan ajaran Islam yang sebenarnya dihalang-halangi bahkan dikriminalisasi. Beginilah wajah buruk demokrasi di negeri ini, kebebasan hanya milik orang tertentu bukan bagi umat Islam yang ingin menerapkan syariat Islam.

Peran negara terlihat lemah karena tidak segera menindak lembaga pendidikan Islam dalam bentuk apa pun yang kurikulum dan materinya bertentangan atau menyimpang dari ajaran Islam. Padahal, umat yang menjadi korban penyebaran ajaran yang menyimpang dari Islam, akidah ternoda. Namun, begini wajah sekularisme di negeri ini bahwa ajaran agama menjadi konsumsi privat bukan publik. Karena dalam sekularisme, agama tak ada tempat di ranah umum dan negara.

Pendidikan dalam Islam

Dalam Islam, akidah umat dijaga dengan baik oleh negara. Negara tak akan membiarkan ada ajaran sesat dan menyimpang beredar dengan bebas terutama di lingkungan pendidikan. Landasan negara dan pendidikan adalah akidah Islam, maka tak ada celah kurikulum dan ajaran yang keluar dari akidah Islam.

Kurikulum dan materi pelajaran yang disusun memiliki tujuan pokok pendidikan yang harus diperhatikan, yaitu:

Pertama, membangun kepribadian islami, agar umat memiliki pola pikir dan pola sikap sesuai dengan Islam dengan cara menanamkan tsaqafah Islam berupa akidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam akal dan jiwa anak didik.

Kedua, mempersiapkan anak didik menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman (ijtihad, fikih, peradilan), maupun ilmu-ilmu kehidupan (teknik, kimia, fisika, kedokteran, dan lainnya). Peran ulama-ulama yang mumpuni akan membawa negara dan umat untuk menempati posisi puncak di antara negara-negara lain yang ada di dunia, bukan sebagai follower.

Output pendidikan Islam yaitu untuk melahirkan individu-individu terbaik yang memiliki pola pikir dan pola sikap Islam serta jiwa kepemimpinan baik skala individu, komunitas, bahkan negara. Allah telah memberikan predikat pada umat Islam sebagai umat terbaik (khairu ummah). Sebagaimana firman-Nya di dalam Al-Qur’an surah Ali Imran ayat 110, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”

Maka, ketika negara mengadopsi syariat Islam wajib mempersiapkan generasi terbaik agar dapat memimpin bangsa-bangsa lainnya. Deskripsi generasi terbaik yang diharapkan adalah generasi yang memiliki: kepribadian Islam, faqih fii ad-din, terdepan dalam sains dan teknologi dan berjiwa pemimpin. Generasi yang seperti ini yang akan menjadi pengendali eksistensi sebuah negara untuk menjadi negara yang mandiri, kuat, terdepan, dan mampu memimpin bangsa-bangsa lainnya di dunia.

Sesuai output pendidikan di atas, maka negara harus mempersiapkan standar kurikulum yang terintegrasi dengan akidah Islam dan disesuaikan dengan level berpikir (usia). Lalu, negara menetapkan metode pembelajaran yang baku dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, lembaga pendidikan tidak mudah terkontaminasi oleh materi atau ajaran yang menyimpang dari akidah Islam. Sebaliknya, kurikulum dan materi yang digunakan dalam lembaga pendidikan dibentuk untuk terus memperkokoh akidah Islam agar senantiasa taat sesuai syariat. Allahu a’lam bish shawab.[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Kontributor NarasiPost.Com
Sherly Agustina M.Ag. Kontributor NarasiPost.Com dan penulis literasi
Previous
Penyimpangan Ponpes Al-Zaytun: Kegagalan Negara Menyelenggarakan Pendidikan Islam
Next
Kemiskinan Merajalela, di Mana Peran Negara?
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

2 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Teti Rostika
Teti Rostika
1 year ago

Tulisannya enak dibaca. Mencerahkan

Sherly
Sherly
1 year ago

Jazaakillah khair, mom Andrea..❤️

Jazaakunnallah khair tim NP ❤️

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram