"Seharusnya Pertamina menguasai dan mengelola seluruh blok migas yang ada di dalam negeri. Kemudian hasil pengelolaan tersebut dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya yang sah. Bukan justru berkelana hingga ke Gurun Sahara untuk memburu migas, sementara yang sudah nyata di negeri sendiri justru diserahkan pengelolaannya pada swasta lokal maupun asing."
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Pertamina telah mengepakkan sayapnya ke mancanegara. Kali ini, perusahaan nasional tersebut kembali diberikan wewenang untuk mengelola Blok Menzel Ledjmed Nord (MLN) di Aljazair. Dalam penandatanganan yang dilakukan di Algiers, pada 15 Juni 2023 lalu, pemerintah Algeria kembali memercayakan pengelolaan Blok MLN pada Pertamina selama 35 tahun ke depan. Demi mengelola blok migas tersebut, pemerintah sampai rela berkelana ke Gurun Sahara di Afrika. Lantas, apa kabar pengelolaan blok migas di dalam negeri?
Sumbangsih bagi Negeri
Pengelolaan blok migas MLN di Aljazair sejatinya sudah dilakukan Pertamina sejak 2014 silam. Operasi blok tersebut dilaksanakan oleh Pertamina Algeria EP, yang merupakan anak perusahaan Pertamina International EP. Perusahaan tersebut mengelola operasi hulu internasional di empat benua dan 12 negara.
Dalam keterangan resminya pada Sabtu (17/6), Direktur Utama PT Pertamina (Persero), Nicke Widyawati, menyebut bahwa Blok MLN merupakan penyumbang migas andalan dari luar negeri bagi perusahaan. Dengan konsep akuisisi bring the barrel home, Pertamina bertekad menjaga ketahanan energi nasional. Dalam perpanjangan kontrak yang baru, disebutkan bahwa Pertamina memperoleh beberapa izin dari pemerintah setempat. Selain memproduksi minyak mentah, Pertamina diizinkan membangun pabrik elpiji dengan kapasitas 1 juta metrik ton per tahun yang akan diboyong ke Indonesia. (CNNIndonesia.com, 18/06/2023)
Diketahui, kapasitas minyak yang terkandung di Blok MLN sendiri berjumlah 35 ribu barrel of oil per day (BOPD) dan memiliki 58 solar panel yang menghasilkan 1,141 kilowatt hour (kWh) per tahun. Dengan jumlah yang dihasilkan tersebut diprediksi akan berdampak pada penurunan emisi sampai 7.507 ton CO2 per tahun. Selain itu, dikelolanya Blok MLN oleh Pertamina, diharapkan dapat mengurangi impor elpiji dan memperkuat neraca perdagangan Indonesia.
Apa Kabar Blok Migas Dalam Negeri?
Keseriusan Pertamina dalam mengelola blok migas di luar negeri menjadi langkah besar demi terpenuhinya pasokan energi nasional. Mungkin hal itu bukanlah permasalahan jika di negeri ini tidak memiliki blok migas di perut buminya. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Negeri ini dikaruniai kekayaan alam melimpah yang terbentang dari ujung timur hingga ke barat. Sayangnya, mayoritas blok migas dalam negeri justru dikelola dan dikuasai asing.
Sebut saja tiga blok migas yang kini pun sudah dikuasai asing. Blok migas tersebut dikelola oleh British Petroleum dan anak perusahaan Petronas PC North Ketapang SDN. BHD. Keduanya merupakan raksasa migas asal Inggris yang telah memenangkan lelang untuk mengelola tiga wilayah kerja, yakni Agung I (area Bali dan Jawa Timur), Agung II (Sulawesi, NTB, dan Jawa Timur), dan North Ketapang (sekitar Jawa Timur). Penandatanganan kontrak kerja sama yang sudah dilakukan sejak 2021 dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menghasilkan total komitmen kerja pastinya sebesar US$12.140.000 atau Rp179,6 miliar (kurs Rp14.800). (Detik.com, 20/06/2022)
Blok migas lainnya adalah Blok Mahakam. Blok migas ini menjadi salah satu yang terbesar di Indonesia dengan jumlah cadangan (saat pertama kali ditemukan) sebesar 1,68 miliar barel minyak dan 21,2 triliun kubik gas alam. Meski sudah kembali ke tangan pemerintah dan dikelola oleh Pertamina, tetapi Blok Mahakam pernah dikuasai asing selama 50 tahun. Blok Mahakam dikelola oleh kontraktor asal Prancis dengan sistem Production Share Contract (PSC) atau kontrak bagi hasil, sejak 1967 sampai tahun 2017. Bukankah waktu 50 tahun sangatlah lama untuk mengeruk kekayaan negeri ini?
Sementara itu, persentase nilai kontrak kerja sama Blok Mahakam sendiri sebesar 70:30 untuk gas dan 85:15 untuk minyak bumi. Dari sistem bagi hasil tersebut, nilai kontribusi bagi pemasukan negara adalah Rp120 triliun per tahunnya. Jika ditelisik lebih jauh, sejatinya nilai persentase tersebut terbilang sangat kecil untuk pemasukan negeri ini, mengingat sumber daya alam yang dikelola tersebut adalah milik rakyat Indonesia sendiri.
Itu baru beberapa di antaranya yang berasal dari sektor migas. Masih banyak lagi SDA lainnya yang telah beralih kepemilikan ke tangan asing. Padahal, jika pemerintah mau mengelolanya secara mandiri tanpa campur tangan asing, niscaya nilainya jauh lebih besar bagi pemasukan negara. Hal ini tentu akan berdampak bagi kesejahtaraan rakyat.
Liberalisasi Migas
Dalam banyak kesempatan, pemerintah selalu beralasan bahwa ketidakmampuannya mengelola migas karena terkendala minimnya teknologi dan biaya yang cukup besar. Karena itu, pemerintah menganggap perlu menggandeng pihak lain untuk melakukan eksplorasi. Sayangnya, pihak tersebut adalah swasta yang hanya bekerja untuk meraup untung.
Jika diulik secara mendalam, ketidakmampuan pemerintah mengelola SDA secara mandiri bukanlah karena faktor teknis, tetapi terletak pada masalah yuridis, ideologis, dan politis. Ini adalah konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme. Misalnya saja dalam aspek yuridis. UU negeri ini telah mengizinkan perampokan sumber daya alam secara legal.
Hal ini dapat dibuktikan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas). UU tersebut telah membuka akses selebar-lebarnya bagi swasta lokal maupun asing untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi SDA, baik di sektor hulu (eksplorasi) maupun hilir (membuka SPBU asing). UU ini pun akhirnya mengebiri peran negara sebagai pemilik dan pengelola migas. Negara yang seharusnya mengelola, kini hanya menjadi regulator.
Tak hanya itu, UU Migas juga telah menjadikan seluruh kegiatan usaha migas, baik di sektor hulu maupun hilir semata-mata berdasarkan mekanisme pasar. UU inilah yang semakin menguatkan liberalisasi sektor migas di negeri ini. Padahal, pelegalan privatisasi dan liberalisasi tersebut akan berdampak pada dua hal: Pertama, hilangnya pendapatan negara dari pengelolaan SDA. Hal ini dapat dibuktikan dari UU Kontrak Karya yang membuat negara tidak berdaulat atas sumber daya alam dalam negeri. Tak hanya gagal mewujudkan swasembada energi, negeri ini pun kini menjadi net importir migas.
Kedua, ketika sumber daya alam diprivatisasi oleh swasta, maka pihak yang paling terdampak adalah rakyat. Dampaknya adalah kebutuhan pokok tak terbeli, kemiskinan pun melonjak karena rakyat semakin sulit mengakses kebutuhan hidup. Pun demikian dengan akses pendidikan dan kesehatan yang kian tak terjangkau.
Berkaca dari pengelolaan Blok MLN di Aljazair oleh Pertamina, sejatinya pemerintah bukan tak mampu mengelola SDA sendiri. Namun, upaya tersebut terganjal oleh kebijakan liberalisasi sektor migas yang menjadi konsekuensi penerapan sistem kapitalisme. Jika alasannya karena pembiayaan yang mahal dan minimnya teknologi, bukankah Pertamina sudah mampu mengeksplorasi migas di Blok Mahakam dan lainnya tanpa bantuan asing, bahkan sanggup mengakuisisi Blok MLN di Aljazair?
Melihat kedudukannya sebagai perusahaan nasional, sudah seharusnya Pertamina menguasai dan mengelola seluruh blok migas yang ada di dalam negeri. Kemudian hasil pengelolaan tersebut dikembalikan kepada rakyat sebagai pemiliknya yang sah. Bukan justru berkelana hingga ke Gurun Sahara untuk memburu migas, sementara yang sudah nyata di negeri sendiri justru diserahkan pengelolaannya pada swasta lokal maupun asing. Inilah kesalahan tata kelola migas di bawah asuhan sistem kapitalisme.
Pengelolaan Migas dalam Islam
Islam memiliki paradigma yang khas mengenai sumber daya alam yang tidak dimiliki oleh sistem kapitalisme. Sebab, Islam adalah agama sempurna yang diturunkan oleh Allah Swt. sebagai pedoman hidup bagi manusia. Islam tak hanya sempurna dalam mengatur urusan ibadah, tetapi sangat paripurna dalam mengurus semua aspek, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam.
Dalam sistem ekonomi Islam, kekayaan alam yang jumlah depositnya cukup banyak termasuk ke dalam harta kepemilikan umum. Tersebab kedudukannya sebagai kepemilikan umum, membuat SDA tersebut haram dimiliki atau dikuasai oleh individu, kelompok, maupun swasta. Sebagaimana tercantum dalam hadis Abu Daud, yang artinya: "Kaum muslim itu berserikat dalam tiga hal yaitu air, padang rumput, dan api."
Walhasil, semua tambang migas yang depositnya tidak terbatas (termasuk Blok Mahakam, Blok Cepu, Blok Masela, Blok Rokan, dan yang lainnya), masuk dalam kategori milik umum yang haram dikuasai oleh pihak lain. Karenanya Islam memerintahkan negara untuk mengelola SDA tersebut secara mandiri tanpa invervensi pihak mana pun. Hal ini dilakukan agar hasilnya dapat diserahkan seutuhnya kepada rakyat.
Pengelolaan tambang migas memang harus dilakukan oleh negara karena tak dapat dinikmati secara langsung oleh rakyat. Sebab, dibutuhkan teknologi tinggi dan biaya yang besar agar migas tersebut bisa dimanfaatkan. Karena itu, hanya negara yang berhak mengelolanya dan menjelajahi SDA tersebut sebelum diberikan kepada rakyat dalam berbagai mekanisme.
Beberapa mekanisme pemberian hasil pengelolaan SDA oleh negara (Khilafah), antara lain: Pertama, melalui mekanisme langsung. Khilafah dapat memberikan subsidi migas secara langsung, sehingga rakyat dapat memperoleh listrik, BBM, dan energi lainnya dengan harga yang terjangkau. Dalam hal ini rakyat hanya dibebankan biaya produksi saja. Sebab, negara diharamkan mengambil keuntungan dari pengelolaan dan distribusi migas tersebut.
Kedua, dengan mekanisme tidak langsung. Khilafah akan menjamin kebutuhan dasar publik secara mutlak, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan bagi seluruh rakyatnya. Dalam hal ini Khilafah akan membiayai seluruh fasilitas sarana dan prasarana sampai rakyat bisa mengakses semua kebutuhan tersebut secara gratis.
Pembiayaan seluruh kebutuhan dasar tersebut pasti membutuhkan biaya yang besar. Seluruh biaya tersebut diperoleh dari pengelolaan sumber daya alam yang dimasukkan ke dalam baitulmal, tepatnya pada pos kepemilikan umum. Hasil pengelolaan SDA tersebut boleh dijual kepada industri atau diekspor ke luar negeri, tentunya setelah kebutuhan konsumsi energi rakyatnya terpenuhi.
Jika Khilafah akan menjual SDA tersebut kepada industri, maka boleh mengambil keuntungan yang wajar. Namun, negara juga boleh mengambil keuntungan maksimal dengan mengekspornya ke luar negeri. Semua keuntungan yang diperoleh dari penjualan tersebut akan masuk ke baitulmal. Negara juga dapat menggunakan keuntungan tersebut untuk mengelola kepemilikan umum, baik dalam urusan administrasi, perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran, maupun distribusi.
Khatimah
Inilah paradigma Khilafah terkait sumber daya alam. Dengan seluruh mekanisme tersebut, SDA tidak hanya mampu menyejahterakan seluruh rakyat, tetapi dapat menjadi kekuatan bagi negara. Mekanisme tersebut mustahil ditemukan dalam sistem kapitalisme yang cacat sejak lahir. Inilah saatnya bagi seluruh negeri-negeri muslim untuk mengakhiri dominasi kapitalisme di dunia dan menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab[]
Memang negara ini sudah salah kelola SDA sendiri. Rahmat tak terkira dari Allah Swt. tersebut tidak bisa dinikmati rakyat. Karena tidak dikelola sendiri dengan berbagai alasan. Anehnya negara melalangbuana ke negara lain untuk eksplorasi tambang. Benarkah untung? Atau buntung?
SDA tidak hanya mampu menyejahterakan seluruh rakyat, tetapi dapat menjadi kekuatan bagi negara. Mekanisme tersebut mustahil ditemukan dalam sistem kapitalisme yang cacat sejak lahir. Inilah saatnya bagi seluruh negeri-negeri muslim untuk mengakhiri dominasi kapitalisme di dunia dan menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Karena hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruh semua masalah sekecil apapun itu bisa terselesaikan
Mencari yang jauh, yang dekat dilupakan. Padahal bayangkan jika finansial itu dioptimalkan untuk pengelolaan dalam negeri. Betul, ada aspek yuridis dan idiologis yang akan menghalangi SDA dalam negeri.
Memang benar, jika kekayaan alam dalam negeri dikelola sendiri, pasti akan sejahtera.
Betul mbak-mbak semua, dipikir dari sudut mana pun, apa yg dilakukan pemerintah memang di luar nalar. Mereka bangga dengan gebrakan Pertamina mengeksplorasi di luar negeri, tetapi tdk merasa rugi ketika SDA-nya diambil asing.
Perih nian menyaksikan kondisi negeri yg kaya raya SDA tetapi hanya menikmati remah2nya, sementara perusahaan asing dn pemilik modal meraup untung besarnya. Udah gitu. Demi cari untung gede eh malah cari2 lahan ke LN ..kebangetan 'kan!
...
...
Sistem kapitalisme yg diterapkan hari ini meluluhlantakan kesejahteraan rakyat. Wayahnya ganti dengan sistem Islam
heran.. tapi tidak terlalu heran, karena inilah sistem kapitalisme..
"Rumput tetangga lebih hijau dari punya sendiri". Kayanya peribahasa ini cocok menggambarkan keadaan tersebut. Mencari sampai gurun, padahal punya sendiri pun melimpah. Sistem kapitalis kadang rasa lucu. Namun dampaknya tetap serius menyengsarakan jelata.
Kalau dipikir-pikir memang aneh. Blok migas di negeri sendiri dikelola orang lain. Terus, kita harus jauh-jauh pergi ke gurun untuk mengelola blok migas orang lain pula. Ini akibatnya kalau mengikuti aturan manusia.