"Kemegahan wisuda para siswa itu tidak dibarengi dengan prestasi yang tinggi. Para remaja lebih banyak menggunakan waktunya untuk hal-hal unfaedah, melakukan tindak kejahatan, bahkan tak segan mengunggah aksi kriminal mereka di media sosial. Hal ini terjadi karena pendidikan fokus pada kemampuan akademik. Sedangkan nilai-nilai agama dan moral cenderung ditinggalkan. Jika pun ada, sedikit sekali persentasenya."
Oleh. Mariyah Zawawi
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Sudah menjadi kebiasaan, menjelang akhir tahun, sekolah-sekolah mengadakan acara pelepasan siswa. Dalam acara tersebut, para siswa menampilkan pertunjukan. Ada yang menyanyi, menari, drama, atau pertunjukan lainnya. Acara itu biasanya dilaksanakan di halaman atau aula sekolah.
Namun, dalam beberapa tahun terakhir, acara pelepasan siswa dikemas dalam bentuk wisuda. Siswa-siswi SMA, SMP, SD, bahkan TK, diwisuda layaknya para mahasiswa yang menjadi sarjana. Biaya yang harus dikeluarkan oleh para orang tua pun bertambah. Karena itu, sebagian dari mereka merasa keberatan. Keluhan mereka itu pun ramai diperbincangkan di media sosial. (cnnindonesia.com, 17/6/2023)
Gaya Hidup Hedonistik
Wisuda yang dilaksanakan untuk merayakan kelulusan ini digelar dengan mewah. Tak sekadar dilaksanakan di aula sekolah, tetapi di hotel yang megah. Inilah yang kemudian menimbulkan masalah.
Para orang tua merasa keberatan dengan biaya yang harus mereka keluarkan. Mulai dari biaya sewa gedung, suvenir, sewa baju toga, biaya rias di salon, dan sebagainya. Seperti yang dikeluhkan oleh salah seorang ibu yang harus membayar Rp850 ribu untuk biaya wisuda anaknya yang lulus dari PAUD. Padahal, ia juga harus mengeluarkan biaya untuk mendaftarkan anaknya ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.
Namun, ada juga orang tua yang merasa bangga dan bahagia menyaksikan anaknya diwisuda. Mereka juga tidak keberatan jika harus merogoh kocek yang dalam. Bagi mereka, hal itu merupakan sebuah kebanggaan.
Pihak sekolah pun setali tiga uang. Mereka bangga dapat mengadakan acara wisuda bagi para siswanya. Apalagi, jika acara tersebut diselenggarakan di sebuah gedung atau hotel nan megah. Pamor sekolah pun naik karenanya.
Inilah buah dari penerapan sistem kapitalisme saat ini. Gaya hidup hedonistik meracuni otak masyarakat. Mereka memandang indah segala sesuatu yang tampak megah.
Minim Prestasi
Sayangnya, kemegahan wisuda para siswa itu tidak dibarengi dengan prestasi yang tinggi. Para remaja sekarang lebih banyak menggunakan waktunya untuk hal-hal yang kurang atau bahkan tidak berfaedah. Mereka lebih suka menonton tayangan-tayangan yang tidak bermanfaat, berhura-hura, atau mabuk-mabukan.
Banyak pula yang melakukan tindak kejahatan, mulai dari pencurian, pemerkosaan, pelacuran, hingga pembunuhan. Mereka juga tidak segan-segan mengunggah aksi kriminal mereka di media sosial. Itulah cara mereka dalam menunjukkan eksistensi diri.
Hal ini terjadi karena pendidikan yang mereka terima lebih mementingkan kemampuan akademik. Sedangkan nilai-nilai agama dan moral banyak ditinggalkan. Jika pun ada, sedikit sekali persentasenya.
Penguasaan mereka terhadap materi pelajaran pun sangat kurang. Karena itu, remaja yang berprestasi di bidang akademik, kalah banyak dibandingkan dengan yang berprestasi di dunia hiburan. Sistem kapitalisme yang diterapkan membuat para remaja lebih mementingkan uang daripada keberhasilan dalam pendidikan. Semakin banyak remaja yang memilih menjadi YouTuber, selebgram, penyanyi, aktris, dan sebagainya. Dunia hiburan memang menjanjikan materi yang berlimpah, tanpa harus bersusah payah belajar di sekolah.
Membelokkan Makna Wisuda
Wisuda sebenarnya merupakan sebuah prosesi yang sangat bermakna. Wisuda bukanlah acara seremonial belaka. Apalagi hanya untuk menjaga gengsi orang tua dan sekolah di mata masyarakat.
Saat wisuda, seorang mahasiswa akan mendapatkan sebuah gelar. Gelar itu ia peroleh setelah menempuh pendidikan selama bertahun-tahun. Gelar itu juga merupakan pengukuhan atas keahlian yang dimilikinya. Misalnya, seorang sarjana pertanian diakui keahliannya dalam bidang pertanian. Sedangkan sarjana arsitektur, diakui kepiawaiannya dalam merancang bangunan-bangunan yang indah.
Sedangkan wisuda yang dilakukan saat anak-anak PAUD hingga SMP menyelesaikan pendidikan mereka, bukanlah pengakuan terhadap keahlian mereka. Tidak ada gelar yang disematkan pada nama mereka. Sebab, mereka baru selesai menempuh pendidikan dasar dan menengah. Itu merupakan jenjang pendidikan yang diwajibkan bagi mereka.
Menurut seorang pengamat bidang pendidikan, Ina Liem, wisuda bagi siswa sekolah baru mulai muncul pada tahun 2000-an. Awalnya hanya untuk lucu-lucuan. Karena itu, wisuda sekolah yang berlebihan tidak perlu diselenggarakan. Sebab, hal itu dapat menurunkan makna kerja keras yang telah dilakukan selama menempuh pendidikan tinggi.
Sebaiknya, acara pelepasan siswa itu diselenggarakan dengan menampilkan aksi nyata para siswa. Dengan demikian, orang tua dapat melihat bukti nyata dari hasil pendidikan yang diperoleh anak-anak di sekolah tersebut. Pada saat yang sama, anak-anak dapat termotivasi untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan selanjutnya. Jadi, anak-anak dimotivasi untuk berlomba-lomba dalam menghasilkan karya, bukan dalam kemegahan dan kemewahan.
Menanggapi polemik ini, pihak Kemendikbudristek pun memberikan tanggapannya melalui Anang Ristanto, Plt. Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat. Ia menyatakan bahwa wisuda sekolah ini bersifat opsional. Sesuai dengan Permendikbud Nomor 75 tahun 2016, kegiatan yang melibatkan satuan pendidikan dengan orang tua, dapat didiskusikan dengan komite sekolah. Hal ini dilakukan agar orang tua tidak merasa terbebani dengan acara ini.
Merayakan Kelulusan Siswa dalam Islam
Islam merupakan agama yang sempurna. Di dalamnya telah terdapat berbagai petunjuk yang menuntun manusia dalam menjalani kehidupannya. Dengan petunjuk inilah, manusia akan mampu memenuhi kebutuhannya, baik kebutuhan fisik maupun naluri.
Dalam memenuhi kebutuhannya, setiap muslim harus senantiasa terikat dengan hukum syarak. Ia harus mengetahui status hukum dari perbuatan yang hendak dilakukannya. Sebab, kaidah ushul menyebutkan bahwa asal perbuatan itu terikat dengan hukum syarak.
Merayakan kelulusan sebagai bentuk syukur merupakan satu hal yang dibolehkan. Meskipun demikian, harus diperhatikan aktivitas yang dilakukan untuk menunjukkan rasa syukur tersebut. Apakah di dalamnya ada hal-hal yang dilarang oleh syarak atau tidak. Misalnya, bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, bertabaruj, meninggalkan salat, dan sebagainya.
Akan lebih baik jika rasa syukur itu diungkapkan dengan melakukan hal-hal yang positif. Misalnya, melakukan zikir bersama, membagikan sembako kepada masyarakat yang membutuhkan, dan aktivitas positif lainnya. Hal ini akan lebih bermanfaat bagi siswa.
Harus diingat pula, bahwa keberhasilan itu diperoleh bukan dari hasil usaha semata. Namun, itu merupakan rahmat dari Allah Swt. Karena itu, tidak boleh ada rasa takjub apalagi sombong dalam diri.
Yang paling penting dari itu adalah berusaha untuk mengamalkan ilmu yang didapat. Sebab, manisnya ilmu hanya dapat dirasakan dengan mengamalkannya. Karena itu, ilmu yang tidak diamalkan, seperti pohon yang tidak berbuah.
Kelak, Allah Swt. akan menanyakan sejauh mana ilmu yang diperoleh itu diamalkan. Rasulullah saw. bersabda dalam hadis riwayat Tirmidzi,
لا تزول قدما عبد يوم القيامة حتى يسأل عن عمره فيما أفناه وعن علمه فيما فعل وعن ماله من أين اكتسبه وفيما أنفقه وعن جسمه فيما أبلاه
Artinya: "Tidak bergeser dua kaki seorang hamba pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang umurnya, untuk apa ia habiskan, tentang ilmunya, untuk apa ia gunakan, tentang hartanya, dari mana ia peroleh dan untuk apa ia belanjakan, serta tentang tubuhnya, untuk apa ia gunakan."
Di samping itu, upaya untuk mencari ilmu harus terus dilakukan. Sebab, ilmu Allah Swt. sangat luas, seluas samudra yang tak bertepi. Karena itu, lulus sekolah formal tidak berarti berhenti menuntut ilmu. Wallaahu a'lam bi ash-shawaab.[]
Yups sangat2 benar sekali dana yang dipergunakan untuk pelepasan siswa yang diadakan sama sekali tidak bermanfaat dan hanya poya2 belaka, hanya ingin terlihat menarik namun kantong kresik. Wali murid yang merasa terkuras terlebih lagi, karena sebagian bukanlah berasal dari pejabat malahan hanya buruh serabutan yang penghasilannya cukup kebutuhan. Dengan demikian mereka harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa menyenangkan anaknya. Dan saya merasakan hal itu apalagi saya yang baru saja lulus dari dunia pendidikan, dan untungnya memiliki sedikit tabungan... Sehingga ortu saya tak sedikit kuwalahan! Ayolah pemerintah terkhususnya!! jadikan anak bangsa yang berprestasi dunia akhirat bukan hanya kemudharatan semata
Benar mbak, tidak seharusnya orang tua dibebani biaya yang yang tidak berkaitan langsung dengan proses pendidikan. Kalau anaknya memahami kondisi orang tua seperti mbak, mereka akan sangat bahagia.
Zaman sekuler bin kapitalis seperti sekarang, wisuda memang jadi ajang pamer di sebagian kalangan. Biayanya pun bisa melebihi biaya SPP bulanan. Padahal setelah wisuda, orang tua masih harus memikirkan biaya untuk kelanjutan sekolah.
Apalagi kalau beberapa anak lulus berbarengan. Semakin besar dana yang harus disiapkan.
Bahkan terkadang kegiatan belajar mengajar hanya sekedar formalitas belaka..
Dari TK udah trend wisuda hingga perguruan tinggi. Tergantung sekolah yg adain. Bila sekolah favorite biaya yg dikeluarkan tdk sedikit. Kasihan bagi ortu yg gak mampu agar anaknya bisa ikut wisudaan berpikir keras cari uang.
Komentar lagi ya? Tadi sudah komen kok tak masuk ya?
Wisuda sebagai bentuk syukur dalam Islam ya boleh saja. Namun dengan kelewat glamor jadi mubazir dan bisa menjadi beban orang tua
Wisuda dengan kemewahan tempat yang ditampilkan tentu menjadi beban bagi para orang tua siswa. Terlebih di era ekonomi masyarakat yang terpuruk. Meski ada juga yang senang dengan kemewahan wisuda. Meski dalam isl5 dibolehkan untuk mengungkapkan rasa syukur, namun harus dengan nilai yang positif.
Wisuda untuk untuk TK sampai SMA memang tak ada artinya, terlebih dengan kondisi orang tuanya yang ekonominya pas-pas bahkan kurang tentu ini sangat membebani.
Setuju, momen wisuda dari TK sampai SMA lebih baik ditiadakan.Seharusnya fokus pada bagaimana ortu, guru, dan pemerintah membangun kerjasama demi keberhasilan anak didik dunia akhirat.
Masyarakat sekarang lebih terpesona dengan silau dunia. Akhirat jadi urusan nomor dua.
Setuju ini, tapi di luaran banyak kontra, Paling penting seharusnya negara ikut berperan dalam masalah ini, kalau pak mendikbud tegas ga ada wisuda, mungkin seluruh jajaran ke bawah tidak mengadakan. Butuh banget sikap dinas terkait.
Banyak juga memang, orang tua yang suka dengan acara seperti ini. Mereka bisa menunjukkan eksistensi diri mereka dalam acara seperti ini.
Betul, tren wisuda yang terjadi saat ini memang tidak berkorelasi dengan keahlian yang diperoleh. Apalagi di jenjang TK, SD, ataupun SMP. Justru banyak keluhan dari orang tua yang merasa terbebani dengan biaya. Sudah seharusnya mengembalikan kelulusan sebagai bentuk syukur kepada hukum syarak.
Betul. Lebih baik dananya digunakan untuk yang lain, yang lebih bermanfaat dan memang dibutuhkan.