"Dolar menjadi alat AS dengan memanfaatkan dominasinya sebagai mainan kekuasaan pada aspek politik dan ekonomi. AS bahkan menetapkan sanksi ekonomi terhadap negara atau individu tertentu, dengan mewatasi kanal mereka kepada sistem keuangan internasional yang didominasi dolar."
Oleh. Fitria Zakiyatul Fauziyah CH
(Kontributor NarasiPost.Com dan Mahasiswi STEI Hamfara Yogyakarta)
NarasiPost.Com-Kondisi saat ini bak perang panas yang lebih berbahaya daripada perang dingin. Bankir yang sangat berpengaruh di Rusia, Andrei Kostin memperkirakan akhir dari kejayaan dolar AS semakin dekat. Hal ini terlihat dari menguatnya mata uang Cina, yaitu Yuan melawan seluruh mata uang dunia. Pria yang juga sebagai CEO VBT ini menyebutkan krisis saat ini mengantarkan pada perubahan besar ekonomi dunia. Di mana, Cina akan mengambil alih jubah kekuatan ekonomi teratas.
Menurutnya, era sejarah panjang dominasi dolar AS akan segera berakhir. Ia pikir waktunya telah tiba ketika Cina secara bertahap akan menyingkirkan pembatasan mata uang. Sebab, Amerika Serikat dan Uni Eropa tidak akan bisa mengancam Rusia untuk tidak menggunakan dolar lagi.
Pasalnya, saat ini banyak negara yang mengubah transaksi internasionalnya, tidak lagi menggunakan dolar AS maupun euro untuk sementara waktu. Kesempatan ini dimanfaatkan Cina yang berencana memasung bahkan menghapus penggunaan dolar AS di negaranya. Karena itu, Cina tengah merumuskan kebijakan agar mata uangnya dapat dikonversi ke mata uang lain, atau bertransaksi antarmata uang dengan negara lainnya. (Cnnindonesia.com, 11/06/2023)
Dolar Amerika memang telah mendominasi sejak awal abad ke-20 ketika menggantikan poundsterling sebagai mata uang cadangan global. Namun, apakah dedolarisasi akan terjadi? Sepertinya terlalu pagi menyimpulkan renminbi (RMB) akan mengambil alih posisi dolar AS.
Fenomena Dedolarisasi
Bola terus bergulir. Ketegangan geopolitik antara Rusia dan negara Barat telah mendatangkan sanksi pada Rusia. Rusia tak bisa lagi melakukan transaksi internasionalnya dalam dolar AS. Selain Rusia, beberapa negara juga mulai menyusun Memorandum of Understanding (MoU) kerja sama bilateral dengan RMB. Seperti Argentina dan Pakistan sepakat untuk menggunakan RMB dalam perdagangannya dengan Cina.
April 2023, Alexander Babakov, Deputi Ketua Parlemen Rusia, Duma, mengatakan bahwa Rusia mendorong pelaksanaan mata uang baru berbasiskan sekeranjang mata uang yang terdiri dari rubel Rusia, real Brasil, rupee India, RMB Cina, dan Rand Afrika Selatan (Afsel). Mata uang ini akan digunakan oleh negara-negara BRICS: Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan dalam bertransaksi.
Runtutan peristiwa ini telah memunculkan pertanyaan dan juga spekulasi, apakah akan terjadi dedolarisasi? Spekulasi kian diperkuat lagi ketika data berbicara bahwa peran dolar AS dalam cadangan devisa banyak bank sentral di dunia menurun. Benarkah hal itu?
Pertanyaan penting yang harus dijawab adalah apakah dedolarisasi benar akan terjadi? Apakah RMB akan mengambil alih peran dolar AS sebagai mata uang cadangan devisa (reserve currency)? Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan. Perrtama, data memang menunjukkan bahwa porsi dolar AS dalam cadangan devisa di banyak bank sentral di dunia menurun pada tahun 2022.
Guru Besar Ekonomi University of California Berkeley, Barry Eichengreen, menunjukkan ada dua alasan penurunan, yakni apresiasi mata uang dolar AS telah memaksa banyak bank sentral di dunia untuk mengintervensi guna mempertahankan nilai tukarnya. Intervensi untuk mencegah depresiasi mata uangnya mengakibatkan bank sentral melepaskan dolarnya. Tentu akibatnya ialah cadangan devisa dolar turun. Serta kenaikan tingkat bunga di AS membanting harga obligasi dolar AS menurun. Sebab, cadangan devisa banyak diposisikan dalam aset yang sensitif pada kenaikan bunga, seperti obligasi. Maka cadangan devisa dalam dolar AS juga menurun. Jadi, penurunan itu bukan karena dedolarisasi.
Kedua, peran RMB dalam aset global dan transaksi masih tergolong kecil. Lihat data yang disampaikan Eichengreen (2023) bahwa porsi dolar Amerika dan euro dalam transaksi Society of Worldwide Interbank Financial Telecomunicaton (SWIFT) masing-masing masih di angka 40 persen. Hal yang sama juga terjadi dalam transaksi ekspor global, di mana bagian dolar AS dan euro masing-masing 40 persen. Bagaimana dengan RMB? Relatif sangat kecil perannya, baik dalam SWIFT maupun ekspor global.
Ketiga, penggunaan RMB masih terbatas, sebab Cina masih memberlakukan pengawasan devisanya. Mudahnya bagaimana orang dapat bertransaksi atau berinvestasi di RMB bila RMB tak mudah diperjualbelikan di kancah internasional. Cina mulai melakukan relaksasi, akan tetapi kontrol devisa masih substansial. Ini menerangkan mengapa aset global pada porsi RMB hanya 4 persen. Eichengreen mengatakan RMB bisa saja didapatkan melalui pinjaman Cina untuk proyek-proyek infrastruktur Belt and Road Initiative (BRI). Menurut Eichengreen, peran RMB akan meningkat secara bertahap.
Bahaya Hegemoni Dolar AS
Sistem Bretton Woods ketika masih berlaku, nilai dolar masih disangkutkan dengan emas, seperti uang $35 dolar AS bisa ditukar dengan 31 gram (1 ons emas). Kemudian pada 18 Agustus 1971, AS di bawah kepemimpinan Richard Nixon mulai mencetak dolar tanpa jaminan emas lagi, disebabkan faktor ekonomi, politik, dan militer. Walhasil, dolar AS berpindah ke sistem nilai tukar yang mengambang bebas, dan nilai mata uangnya ditetapkan pasar internasional.
Akibatnya, Amerika Serikat sebagai negara pencetak dolar dapat dengan mudah membeli barang bahkan SDA dari negara-negara berkembang melalui mata uang dolar mereka. "Pada saat terjadi depresi ekonomi, Bank Federal mencetak uang secara sembarangan, bahkan mencapai triliunan dolar AS", tutur Rakadz, Ekonom Amerika sekaligus intelijen ekonomi AS dalam sebuah artikel.
Sejak saat itu, dolar AS menjadi salah satu mata uang yang mendominasi dunia dan digunakan secara luas dalam pasar internasional. Dewasa ini, dolar AS masih sebagai mata uang cadangan utama beberapa negara, karena masih digunakan dalam banyak transaksi internasional. Selain itu, berbagai lembaga internasional dan negara-negara lain yang menyimpan cadangan mata uangnya jenis dolar AS.
Alhasil, dolar menjadi alat AS dengan memanfaatkan dominasinya sebagai mainan kekuasaan pada aspek politik dan ekonomi. AS bahkan menetapkan sanksi ekonomi terhadap negara atau individu tertentu, dengan mewatasi kanal mereka kepada sistem keuangan internasional yang didominasi dolar.
Melalui itu, AS memiliki kemampuan untuk memengaruhi peraturan dengan memainkan ekonomi dan moneter suatu negara. Bahkan dolar menjadi alat isap darah sektor ekonomi bagi negara-negara lemah oleh kekuatan negara adidaya Amerika Serikat dan sekutunya. Walaupun dominasi dolar sampai saat ini masih kuat untuk mendominasi transaksi perdagangan internasional dan evaluasi total cadangan devisa, namun jika tren dedolarisasi ini terus bergulir, maka ekonomi AS akan menurun dan hegemoni politiknya melemah secara global.
Melemahnya atau pergiliran dominasi mata uang negara-negara adidaya sudah lumrah terjadi. Misalnya, saat Belanda lemah secara politik dan ekonomi, dominasi mata uang gulden dialihkan dengan poundsterling Inggris. Lalu mata uang Inggris diganti dolar AS, saat kekuatan politiknya sudah mulai kendur secara global. Oleh sebab itu, tidak menutup kemungkinan apabila dolar akan diambil alih mata uang negara lain yang lebih kuat secara politik dan ekonomi.
Sulit membayangkan dunia macam apa yang kita hadapi ini. Sistem keuangan yang terpisah akan membuat biaya transaksi dan biaya koordinasi sangat tinggi. Ekonomi dunia akan terpecah. Biaya transaksi menjadi sangat mahal. Melakukan transaksi akan sulit.
Mata Uang Islam
Saat standar mata uang yang digunakan yakni emas dan perak, maka tidak akan terjadi berbagai masalah moneter, inflasi, misalnya fluktuasi nilai tukar, bahkan daya beli anjlok. Di dalam buku The Golden Constant karya Profesor Roy Jastram dari Barkeley University AS menyatakan bahwa harga emas pada beberapa komoditas dalam jangka waktu 400 tahun hingga 1976 adalah tetap dan stabil. Maknanya, emas bersifat tahan inflasi (Nurul Huda dkk., 2008:104).
Munculnya masalah moneter setelah dunia berpindah ke sistem uang kertas (fiat money) dan melepaskan diri dari standar mata uang emas dan perak. Sama halnya inflasi bahkan resesi muncul setelah mata uang yang berlaku sesuai dengan dekret pemerintah semata yang tidak ditumpu oleh logam mulia. Sebaliknya, emas dan perak mempunyai banyak keunggulan karena terdapat nilai lindung yang baik, dan tidak diperlukan adanya otorisasi dari otoritas mana pun, serta kestabilan nilai kurs perdagangan internasional berkeadilan.
Misalnya, mata uang dinar dan dirham yang menjadi mata uang negara adidaya negara Islam. Dahulu, mata uang tersebut tidak hanya sebagai alat tukar dalam perdagangan internasional, namun juga dikaitkan dengan perbuatan hukum-hukum syarak, seperti sistem keuangan dan sistem ekonomi dalam negara Islam.
Dalam kitab Al-Amwal, karya Syekh Abdul Qodim Zallum menjelaskan bahwa emas dan perak memiliki manfaat berkenaan dengan syariat Islam, semisal ketetapan hukum syarak terkait dengan zakat, diat, pertukaran barang-barang ribawi, dan sebagainya. Untuk itu, mata uang negara Islam tidak akan menjadi mainan negara-negara lemah seperti halnya kapitalisme, karena banyaknya ketetapan syariat yang mengatur penggunaan emas dan perak.
Stabilitas Finansial Mata Uang Emas dan Perak
Saat ekonomi dunia sedang terombang-ambing menuju kehancuran yang disebabkan oleh sistem kapitalisme, sudah selayaknya penguasa negeri-negeri muslim kembali melirik dinar dan dirham sebagai alat transaksi pengganti dolar.
Sistem moneter yang berkeadilan menawarkan penggunaan sistem mata uang dinar dan dirham. Dinar (mata uang terbuat dari emas) dan dirham (mata uang terbuat dari perak) mempunyai beberapa keunggulan yang tidak dimiliki oleh uang kertas.
Pertama, resistan terhadap krisis moneter. Saat nilai rupiah merosot terhadap dolar, nilai emas konstan tinggi terhadap dolar. Terbukti ketika krisis rupiah tahun 1997, nilai emas di Indonesia melambung hingga 375% dalam jangka waktu tujuh bulan. Tak hanya di Indonesia, di negeri mana pun emas terbukti kebal dari segala krisis moneter.
Kedua, tahan terhadap kebijakan moneter. Pemerintah tidak dapat mengumumkan tidak absahnya uang emas sebab masyarakat tetap akan menghargai nilai intrinsiknya. Nilai nominal dinar dan dirham ditetapkan oleh berat logamnya, sekaligus menjadi nilai intrinsiknya (berat dinar 4,25gr emas 22 karat dan dirham 3gr perak murni), bukan ditetapkan dekret bank sentral. Seandainya menyimpan uang satu miliar lalu Bank Indonesia (BI) mengumumkan uang itu tidak berlaku lagi dan tidak dapat ditukar dengan uang baru, maka kita hanya gigit jari. Uang satu miliar tadi berubah menjadi sampah kertas yang tidak berharga dan memiliki nilai.
Ketiga, kebal inflasi. Nilai dinar dan dirham tidak mengalami penyusutan seiring dengan pertambahan waktu. Uang yang terbuat dari emas dan perak konstan bernilai tinggi walau usianya telah berabad-abad. Pada zaman Nabi Muhammad saw., orang dapat membeli seekor kambing dengan harga 1 dinar dan seekor ayam dengan harga 1 dirham. Bertahan hingga hari ini, dengan sekeping dinar masih dapat membeli seekor kambing dan seekor ayam dengan 1 dirham. Beda halnya dengan sistem mata uang kertas yang di dalam tubuhnya terdapat unsur inflasi permanen. Dikarenakan uang kertas rupiah mengalami depresiasi, inilah kelemahan mendasar uang kertas.
Keempat, bisa digunakan di mana pun, kapan pun, dan akan diterima oleh siapa pun di seluruh dunia. Tidak mengenal batas teritorial dan bersifat umum. Keunggulan ini menjadikan uang emas dan perak tidak memiliki masalah kurs. Sehingga 1 dinar di AS sama dengan harga 1 dinar di Indonesia. Pemakaian dinar dan dirham ini akan menciptakan efisiensi. Mata uang tersebut bisa langsung digunakan untuk bertransaksi tanpa harus ditukar dengan mata uang lain.
Kelima, menjadi negara mandiri. Negara yang memberlakukan mata uang dinar atau dirham tidak akan tergantung pada negara lain. Justru negara lain yang akan bergantung kepadanya. Nilai mata uang negara-negara yang memakai mata uang kertas sangat dipengaruhi oleh isu-isu sentimen kondisi politik dan ekonomi negara lain. Akibatnya, bila mata uang sebuah negara krisis, maka krisis itu akan segera mewabah ke negara lain. Kita bisa saksikan saat krisis moneter Thailand, hampir seluruh negara Asia tertular krisis multidimensi.
Menjadikan dinar dan dirham sebagai mata uang bukan khayalan semata, tetapi mengatur ulang fenomena ratusan tahun silam. Sejarah mencatat, mata uang emas telah digunakan oleh Kerajaan Byzantium, Romawi Timur sementara itu mata uang perak dikeluarkan oleh Kerajaan Persia.
Oleh sebab itu, pemanfaatan dinar dan dirham secara luas di tengah-tengah masyarakat kemungkinan tidak akan memakan banyak waktu. Terlebih jika diiringi dengan sosialisasi intensif. Satu-satunya sistem yang akan menerapkan dinar dan dirham yakni sistem Islam, dalam bingkai institusi negara Islam. Dunia akan kembali damai dengan sistem moneter yang adil untuk mewujudkan ekonomi dan kesejahteraan rakyat.
Firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an surah Al-A’raf ayat 96 yang artinya, "Dan sekiranya penduduk suatu negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami limpahkan pada mereka berkah dari langit dan bumi, akan tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka berdasarkan apa yang telah mereka kerjakan”.
Wallahu A'lam Bish-Shawwab.[]
Yups mari kembali ke konsep Islam hakiki agar permasalahan teratasi. Karena Islam solusi jitu yang memiliki standar mata uang yang digunakan yakni emas dan perak, hingga tidak akan terjadi berbagai masalah moneter, inflasi, misalnya fluktuasi nilai tukar, bahkan daya beli anjlok.
Mau se hebat apapun kekuatan mata uangnya, jika hanya senilai uang 'kertas', maka mudah saja terjadi depresi ekonomi, karena uang kertas akan selalu bisa 'dimainkan' oleh orang yang 'berkuasa'.
Tulisan yang sangat bagus. Islam memang solusi jitu, termasuk memiliki konsep mata uang yang stabil sepanjang masa yaitu dinar dan dirham.
MaasyaaAllah tulisan yang mencerdaskan. Jika pindah ke mata uang China, lepas dari mulut buaya ke mulut harimau. Saatnya menerapkan standar mata uang emas dan perak.