”Pemerintah seolah mengedepankan pemulihan lingkungan berkelanjutan, nyatanya menggelar karpet merah bagi oligarki.”
Oleh. Haifa Eimaan
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Semakin ke sini, semakin ke sana. Kiranya ungkapan ini pantas untuk menggambarkan kondisi Indonesia terkini. Hampir setiap hari ada saja berita perubahan peraturan. Mengganti undang-undang sudah seperti berganti pakaian. Semua tergantung selera pemakai. Apalagi bila ada yang mensponsori, semakin menjadi-jadi pergantiannya tanpa mempertimbangkan dampaknya ke belakang.
Hakikat diterbitkannya aturan tidak teraih. Undang-undang diubah bukan semakin teratur, malah tambah awur-awuran. Perubahan itu bukannya diamini dan didukung oleh para pakar di bidangnya, tetapi malah menuai kontroversi. Adu kuat argumentasi antara rakyat yang diwakili oleh para pakar versus buzzer pemerintah menjadi suguhan sehari-hari.
Perubahan kebijakan terbaru adalah tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut yang termuat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2023. Peraturan terbaru ini memberikan izin pemanfaatan pasir laut. Salah satunya untuk kebutuhan ekspor. Padahal 20 tahun lalu, pemerintah telah menyetop ekspor pasir laut. Presiden Megawati mengeluarkan kebijakannya dalam Surat Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 2002 tentang Pengendalian dan Pengusahaan Pasir Laut. Keppres ini menjadi dasar bagi Menperindag Rini Soemarno menerbitkan SK Nomor 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Pelarangan Ekspor Pasir Laut. (kompas.com, 28/5/2023)
Penghentian sementara ekspor kala itu, demi mencegah kerusakan lingkungan. Pemerintah berjanji akan meninjau kebijakannya apabila telah memiliki program pencegahan kerusakan lingkungan. Dua dekade berlalu, keran ekspor pasir laut kembali dibuka. Tentu ini menimbulkan tanda tanya besar bagi masyarakat. Mengapa dibuka, sedangkan program pencegahan kerusakan lingkungan masih lemah?
Berisik Kontroversi Ekspor Pasir Laut
Sejak diputuskan oleh presiden pada 15 Mei, berisik pro dan kontra atas kebijakan itu kian memanas. Para pegiat lingkungan terus melakukan aksi protes. Walhi menolak pemberlakuan PP Nomor 26/2023 dengan alasan demi keselamatan ekosistem dan masyarakat pesisir. Greenpeace Indonesia menilai, PP Nomor 26/2023 merupakan bentuk pencucian hijau (greenwashing). Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia menyebutkan bahwa narasi yang digunakan pemerintah adalah tipuan pemasaran melalui pencitraan palsu. Pemerintah seolah mengedepankan pemulihan lingkungan berkelanjutan, nyatanya menggelar karpet merah bagi oligarki. (mongabay.com, 4/6/2023)
Dalam catatan para pegiat lingkungan ini, setidaknya ada lima dampak negatif bila penambangan pasir laut tetap diteruskan.
Pertama, merusak ekosistem terumbu karang. Aktivitas penambangan dapat mengeruhkan air, mengurangi cahaya matahari masuk ke laut, dan pada akhirnya merusak ekosistem terumbu karang.
Kedua, keberadaan pulau-pulau kecil terancam musnah. Eksploitasi yang tidak terkendali bisa mengubah kontur dasar laut, pola arus, gelombang laut, dan penurunan garis pantai. Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan, terdapat 26 pulau kecil di Riau yang hilang karena abrasi pantai. Pemicunya adalah penambangan pasir laut. (medcom.id, 31/05/2023)
Ketiga, produktivitas nelayan menurun. Terkadang penambangan pasir laut disedot menggunakan kapal isap. Imbasnya adalah kerusakan wilayah pemijahan ikan dan tangkapan nelayan yang terus menyusut. Bukan tidak mungkin, suatu saat nelayan menggantung jala.
Keempat, sumber pangan langka. Selain nelayan, petani di daerah pesisir juga semakin sulit bercocok tanam. Tanpa disadari eksploitasi pasir laut bisa mengubah pola aliran air tanah. Sebagai akibatnya, tanah tandus dan produksi pangan lokal pun semakin berkurang.
Kelima, dampak bencana iklim semakin cepat. Dalam konteks perubahan iklim kegiatan eksploitasi pasir laut akan menambah ancaman kenaikan permukaan air laut, terjadinya abrasi, dan intrusi air laut.
Dikutip dari tempo.co (2/6/2023), Jaringan Global Jurnalis (ERC) meluncurkan laporan berisi ulasan dampak negatif penambangan pasir laut di beberapa negara Asia termasuk Indonesia. Di Vietnam, setiap musim penghujan penduduk Delta Mekong menyaksikan rumah-rumah mereka hanyut akibat penambangan pasir. Di Indonesia, puluhan pulau kecil musnah. Di Kepulauan Matsu, Taiwan, penambangan pasir menghancurkan lingkungan. Penambangan pasir laut di Filipina merusak pesisir di Ilocos Sur. Kerusakan ekosistem yang sangat parah terjadi di Danau Poyang, Cina, akibat penambangan pasir.
Ulasan tentang dampak buruk dibukanya keran ekspor pasir laut ini sebenarnya cukup bagi pemerintah untuk membatalkan PP Nomor 26/2023. Akan tetapi, pemerintah menutup telinga dan terus membangun narasi nilai ekonomi yang akan didapat dari sektor nonpajak ini. Pemerintah juga membangun narasi yang kontraproduktif dengan hasil kajian berbagai lembaga pecinta lingkungan.
Seperti alasan yang diungkap Arifin Tasrif, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bahwa dibukanya keran ekspor pasir laut untuk menjaga alur pelayaran dari sedimentasi. Daripada membahayakan kapal yang melintas, lebih baik endapan pasir itu dijual. (cnbcindonesia.com, 05/06/2023)
Narasi dari Menteri ESDM itu menyesatkan, sebab alam memiliki mekanisme untuk terus berada di titik keseimbangannya. Seharusnya yang diatasi adalah masalah yang menyebabkan terjadinya sedimentasi di hulu. Aktivitas-aktivitas yang memicu sedimentasi harus dihentikan, seperti pembukaan lahan untuk tambang dan perkebunan.
Luhut B. Panjaitan juga pasang badan. Menurut Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi ini, kebijakan itu tak lain untuk menyehatkan laut agar terbebas dari endapan. Narasi ini pun sama sesatnya. Laut justru semakin hancur bila pasir-pasirnya ditambang. Apalagi tidak ada jaminan yang dikeruk hanya endapannya saja, sebagaimana klaim Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP), Sakti Wahyu Trenggono.
Pasir Laut Diekspor, Siapa Untung?
Terbitnya PP Nomor 26/2023 cukup mengagetkan masyarakat termasuk DPR. Dikutip dari kumparan.com (5/6/2023), terdapat empat pengusaha kakap yang diduga berada di balik pencabutan larangan ekspor pasir laut. Kongkalikong empat pengusaha ini terdengar sampai ke Senayan. Slamet, anggota DPR dari Komisi IV pun meyakini ada penumpang gelap dalam perancangannya sebab tergolong ekspres. Terlebih lagi, sanksi yang diberlakukan atas setiap pelanggaran hanya administratif saja, tanpa ada sanksi pidana walaupun potensi pidananya ada. Dari sini, sangat jelas pihak yang paling diuntungkan adalah pengusaha.
Keberpihakan penguasa pada pengusaha bukan hal asing dalam sistem kapitalisme. Antara keduanya terdapat simbiosis mutualisme, terlebih mendekati tahun politik. Sudah jamak diketahui, para politisi baik legislatif maupun eksekutif kerap meloloskan sejumlah kebijakan untuk membiayai aktivitas politiknya saat pemilu. Mereka dibutakan oleh kerakusan dan nafsu untuk terus berkuasa. Sedangkan pengusaha membabi buta demi mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan modal serendah-rendahnya. Bisnis jual beli pasir laut sangat mewakili konsep ekonomi kapitalisme ini. Tanpa menggunakan alat canggih, pasir-pasir dieksploitasi lalu diekspor dengan harga tinggi.
Konspirasi penguasa dan pengusaha ini tentu saja mengkhianati rakyat. Namun, di dalam sistem kapitalisme, rakyat memang tidak didesain untuk sejahtera. Sejak awal, posisi rakyat hanya sebatas alat untuk meraih kekuasaan melalui pemilu. Di sini, rakyat serupa tebu yang dibuang sepahnya setelah hilang manisnya. Pada tahapan berikutnya, rakyat dibiarkan jungkir balik sendiri untuk mempertahankan hidup.
Demikianlah sistem kapitalisme berjalan. Selama sebuah produk dan jasa dapat menghasilkan uang, selama itu pula akan dikapitalisasi. Tidak peduli dampaknya akan menyengsarakan dengan rusaknya lingkungan. Satu-satunya hal yang dipedulikan adalah keuntungan materi. Sudah menjadi DNA para kapitalis untuk meraup laba maksimal di setiap kesempatan.
Metode Khilafah dalam Menjaga Kelestarian Lingkungan
Apa yang dilakukan oleh sistem kapitalisme sangat berseberangan dengan Islam. Khilafah sebagai pengejawantahan formalisasi syariat Islam, memiliki metode khas dalam membuat kebijakan, yakni berdasarkan Al-Qur’an dan sunah. Terkait pengelolaan lingkungan, Allah Swt. memerintahkan manusia untuk memanfaatkan sesuai kebutuhannya, bukan eksploitasi besar-besaran. Allah berfirman di dalam surah Al-Hijr ayat ke-20.
وجعلنا لكن فيها معايش ومن لستم له برازقين
“Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu dan Kami ciptakan juga makhluk-makhluk yang bukan engkau pemberi rizekinya.”
Selain itu, manusia juga dilarang berbuat kerusakan di muka bumi agar lingkungan tetap terjaga kelestariannya. Perintah dari Allah Swt. ini tersurat di dalam Al-A’raf ayat ke-56 yang artinya, “Dan janganlah engkau berbuat kerusakan di muka bumi setelah diciptakan untukmu hal-hal yang baik.”
Berdasarkan dalil-dalil Al-Qur’an ini, Khilafah menyusun kebijakan dalam memanfaatkan sumber kekayaan lingkungan termasuk pengelolaan sedimentasi laut. Proses sedimentasi atau pengendapan di dalam laut ini berjalan alamiah mengikuti arus, gelombang, dan pasang surut air laut. Seperti inilah ritme sedimentasi di dasar laut. Dengan memperhatikan aktivitas pertambangan dan pembukaan hutan di hulu, sedimentasi di laut tidak akan sampai pada kadar membahayakan atau merusak lingkungan.
Karena sifatnya yang alamiah ini, khalifah akan meninjau keberadaan sedimentasi. Jika sedimentasi itu tidak berpotensi menimbulkan kerusakan ekosistem dan mengganggu aktivitas sosial ekonomi maka akan dibiarkan. Akan tetapi, bila sebaliknya, akan dilakukan pengendalian dampak kerusakan.
Untuk menentukan kategori sedimentasi yang berpotensi merusak lingkungan atau tidak, Khilafah akan membuat tim khusus terdiri dari para ahli dan praktisi. Tim ini akan mengkaji secara objektif berdasarkan latar belakang keilmuan masing-masing dalam suasana penuh iman dan takwa. Hasil kajian tim ini yang akan digunakan Khilafah dalam menyusun kebijakan sehingga seluruh rakyat mendapatkan maslahat.
Khatimah
Begitu sempurna Islam mengatur seluruh urusan hidup manusia bahkan sampai pada pengaturan material halus yang terbawa aliran sungai sampai ke dasar laut. Terbukti pengaturan Islam melalui Khilafah akan selalu mengedepankan kepentingan umat. Pengelolaan kekayaan alam pun akan selalu menomorsatukan kelestarian lingkungan hidup demi keberlangsungan generasi mendatang.
Wallahu a'lam bi ash-shawab.[]
Kapitalisme hanya bersandar keuntungan semata, meskipun sudah banyak ahli lingkungan menolak penambangan pasir laut mereka tidak peduli. Sampai kapan ini terjadi? Kalaulah umat sadar akan bahaya sistem ini?
Selama akidah sekuler menjadi landasan berpikir dan bertindak, selama itu pula segala upaya akan dilakukan untuk mengambil manfaat dari segala aspek kehidupan. Tak peduli jika harus bernarasi seakan membenarkan tindakannya. Nyatanya, semua itu hanya membawa kerusakan dan kesengsaraan bagi hidup manusia.
Para kapitalis tidak hanya membuat kerusakan di darat, bahkan dasar laut pun di rusak. Semua dilakukan demi keuntungan materi tanpa memikirkan dampak buruknya. Dan yang jelata hanya bisa menonton semua drama ini. Tanpa bisa berbuat apapun. Akan kemanakah nasib para nelayan? Belum ditambah kerusakan ini merembet dampaknya ke daratan. Banjir dr alih fungsi lahan saja sudah sangat merepotkan dampaknya, ini mau ditambahin pula abrasi efek dari laut. Astaghfirullah.
Keuntungan selalu menjadi hal yang dicari, itulah mengapa sistem kapitalisme terus berkelanjutan hingga rakyat memang tidak didesain untuk sejahtera. Sejak awal posisi rakyat hanya sebatas alat untuk meraih kekuasaan bagi pemerintahan untuk dapat mensejahterakan hidup mereka sendiri bukan hidup rakyat. Sangat-sangat miris sekali
Keuntungan adalah pertimbangan setiap kebijakan yang diambil dalam sistem kapitalisme. Jadi sangat wajar bila kebijakan yang membawa kerusakanpun ditabrak, tidak peduli dampak yang ditimbulkan, selama membawa kemanfaatan
Penjajahan yang terselubung masih terus di lakukan barat untuk meraup keuntungan dari negeri ini. Rakyat di lenakan dengan serpihan bantuan dari pemerintah untuk membungkam mulut yang ingin memberontak dari kepedihan hidup