Lembar Berdarah Kosovo-Serbia

”Maraknya konflik antarwilayah atau negara merupakan problem bawaan dari sistem demokrasi kapitalisme. Tarik-ulur kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya, menyebabkan suatu negara menindas, menekan, bahkan menguasai negara lain.”

Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-Kosovo dan Serbia terus dilanda konflik tak berujung. Ibarat musuh bebuyutan, kedua negara yang terletak di Eropa tersebut “saling sikut”, saling tuding, dan saling serang, demi mempertahankan eksistensi masing-masing. Lembaran kelam dan berdarah-darah pun mewarnai perjalanan kedua negara tersebut hingga saat ini. Meski telah lama berkonflik, rupanya belum juga ada jalan damai antara keduanya. Bahkan, campur tangan pihak lain sebagai mediator, belum mampu mendinginkan ketegangan antara Kosovo dan Serbia.

Konflik klasik antara Serbia dan Kosovo yang belum tuntas, tentu menyisakan beragam tanya. Mengapa konflik Serbia-Kosovo kembali memanas saat ini? Lalu apa penyebab awal konflik Kosovo-Serbia, hingga tak kunjung berdamai? Adakah langkah untuk mendamaikan keduanya? Bagaimana pula lembaran sejarah kedua negara tersebut di masa keemasan Islam?

Kembali Memanas

Api konflik Kosovo-Serbia yang belum padam, kembali memanas. Sebagaimana diberitakan CNN Indonesia.com (03/06/2023), warga etnis Serbia yang bermukim di sebelah utara Kosovo melakukan protes terhadap hasil pemilihan wali kota di wilayah tersebut. Yang mana, wali kota terpilih berasal dari politisi Albania. Protes tersebut pun berakhir bentrok dan mengakibatkan sekitar 30 tentara penjaga perdamaian NATO terluka.

Protes penolakan hasil pemilu oleh etnis Serbia disebabkan mereka tak mau dipimpin oleh wali kota yang berasal dari etnis Albania. Mereka menginginkan agar dipimpin oleh pemerintah daerah yang disokong oleh Beograd (Ibu Kota Serbia). Etnis Serbia bahkan dikabarkan sampai memboikot pemilu. Pemboikotan tersebut dilatarbelakangi oleh pengunduran diri para pejabat Serbia yang meliputi staf administrasi, hakim, dan petugas polisi pada 2022 lalu.

Warga Serbia bahkan sempat menghalangi pejabat terpilih dari etnis Albania untuk memasuki gedung-gedung pemerintahan setempat. Aksi boikot tersebut kemudian dibalas dengan tembakan gas air mata oleh polisi Kosovo untuk membubarkan pengunjuk rasa. Tak terima dengan tindakan tersebut, Serbia kemudian mengerahkan militer negara dan mengirim pasukan ke perbatasan Kosovo.

Memanasnya kembali ketegangan antara Kosovo dan Serbia memicu kekhawatiran akan berulangnya konflik di Kosovo seperti tahun 1998-1999. Yang mana, konflik tersebut telah menyebabkan 10.000 orang meninggal dan membuat lebih dari 1 juta warga mengungsi.

Awal Mula Konflik

Kosovo merupakan negara yang mayoritas penduduknya adalah etnis Albania, sedangkan etnis Serbia menjadi minoritas di sana. Dahulu, Kosovo merupakan provinsi dari Serbia, sebelum mengikrarkan kemerdekaannya secara sepihak pada 2008 silam. Kemerdekaan Kosovo saat itu memang sudah diakui sebagai otonom terpisah oleh sekitar 100 negara yang sebagian besar merupakan anggota PBB. Di antaranya Amerika Serikat, Prancis, Inggris, Jerman, dan Turki.

Namun, Serbia yang didukung oleh beberapa negara seperti Rusia, Cina, Spanyol, Rumania, Slovakia, dan Yunani, tidak mengakui Kosovo. Penolakan Serbia dilandasi oleh satu hal mendasar, yakni Kosovo merupakan tempat kedudukan Gereja Ortodoks dan saksi bisu atas berbagai kemenangan yang diraih Serbia atas Turki. Meski Serbia masih menganggap Kosovo sebagai bagian dari wilayahnya, tetapi secara hukum tidak memiliki kendali resmi di sana.

Konflik wilayah yang berdarah-darah tersebut ternyata bukan hanya terjadi pada tahun 1998-1999 saja. Jika mengulik kembali sejarah masa lalu, konflik keduanya bahkan sudah terjadi sangat lama, yakni sejak sebelum abad ke-19. Saat itu, Kosovo diberikan hak istimewa berupa status otonomi khusus. Sayangnya, pemberian status otonomi tersebut telah memantik kekhawatiran Serbia, jika nantinya Kosovo akan menuntut menjadi republik seutuhnya.

Gayung pun bersambut. Kekhawatiran Serbia tersebut akhirnya memiliki solusi setelah terpilihnya Slobodan Milosevic sebagai Presiden Serbia menggantikan Josip Broz Tito pada 1987. Milosevic yang berasal dari etnis Serbia kemudian membuat gebrakan ekstrem pada awal kebijakannya, yaitu menghapus status otonomi dan membubarkan pemerintahan Kosovo. Kebijakan itu dilakukan dengan alasan untuk melindungi etnis Serbia yang merupakan minoritas di Kosovo.

Sejak itu, di bawah pemerintahan Milosevic, etnis Albania di Kosovo mengalami diskriminasi dalam berbagai bidang, di antaranya pendidikan dan kesehatan. Kebijakan yang jauh dari asas keadilan tersebut, telah memantik kemarahan etnis Albania dan membentuk satu gerakan nasionalis dengan nama Kosovo Liberation Army (KLA). Gerakan inilah yang berjuang mewujudkan kemerdekaan Kosovo.

KLA yang dibentuk oleh etnis Albania membuat geram pemerintah Serbia sehingga mengeluarkan kebijakan represif, yakni ethnic cleansing atau pembersihan etnis Albania di Kosovo. Akibat kebijakan tersebut, banyak etnis Albania yang dibunuh, diusir, diperkosa, dan dibakar rumahnya. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa etnis Kosovo ingin melepaskan diri dan merdeka dari Serbia. Konflik yang terus muncul dan seolah dipelihara tersebut membuat publik bertanya, mungkinkah ada perdamaian antara keduanya?

Upaya Perdamaian

Setelah lebih dari 10 tahun deklarasi kemerdekaan Kosovo, ternyata tidak banyak kesepakatan yang dicapai untuk menyelesaikan konflik kawasan kedua negara. Keduanya bukan tidak ada upaya untuk berdamai, tetapi berbagai perjanjian perdamaian yang digagas belum menemukan titik temu hingga kini.

Beberapa upaya perdamaian yang pernah dilakukan untuk mendinginkan konflik keduanya antara lain, pertukaran wilayah atau mengubah garis perbatasan antara dua negara. Solusi tersebut pernah diusulkan oleh mantan Presiden Kosovo, Hashim Thaci dan Presiden Serbia, Aleksandar Vucic. Namun, sebagian pakar menilai langkah tersebut justru dapat menimbulkan ketidakstabilan dan berbahaya, sebab bisa memicu kerusuhan di Kosovo dan Serbia.

Solusi lainnya juga pernah digagas oleh lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satunya dengan membuat Resolusi 1244 tahun 1999. Resolusi tersebut menetapkan bahwa Serbia harus menghentikan sementara pemerintahannya atas Kosovo. Selanjutnya menempatkan Kosovo di bawah United Nations Interim Administration Mission in Kosovo (UNMIK). UNMIK sendiri merupakan suatu misi penjaga perdamaian di Kosovo yang memperoleh mandat resmi dari PBB.

Upaya terakhir adalah pembicaraan Ohrid. Pembicaraan Ohrid adalah upaya terbaru dari komunitas internasional untuk menyelesaikan konflik Kosovo dan Serbia. Kesepakatan tersebut dicapai dalam pertemuan maraton selama 12 jam di Ohrid, Makedonia Utara, pada Sabtu (18/03/2023). Beberapa isu penting yang dibicarakan antara lain tentang status Kosovo, hak etnis Serbia yang tinggal di Kosovo, dan hubungan ekonomi antara kedua negara.

Namun, negosiator (yakni Perwakilan Tinggi UE untuk Urusan Luar Negeri, Josep Borrell) masih menghadapi tantangan dalam pembicaraan Ohrid, terutama tentang status Kosovo. Serbia tetap bersikukuh menganggap bahwa Kosovo adalah bagian integral dari wilayahnya dan menolak mengakui kemerdekaan wilayah tersebut. Sebaliknya Kosovo pun tetap pada haknya, yakni ingin menentukan nasibnya sendiri dan menolak solusi apa pun yang tidak melibatkan kemerdekaannya secara penuh.

Keseriusan Uni Eropa

Penyelesaian perdamaian yang berlarut-larut dan belum menemui titik terang hingga kini, patut dipertanyakan. Mengapa bara konflik terus menyala, padahal berbagai solusi sudah diberikan, kedua negara pun disebut siap duduk bersama di meja perundingan. Salah satu mediator yang sangat berperan dalam perundingan damai antara Kosovo dan Serbia adalah UE. Namun, seberapa besar keseriusan UE dalam menyelesaikan konflik tersebut?

UE memang telah mengakui kedaulatan dan integritas wilayah Serbia, sebagaimana telah mendukung dan mengakui hak Kosovo untuk menentukan nasibnya sendiri. Tak hanya itu, UE juga berhasil menekankan tentang pentingnya melindungi hak setiap warga negara tanpa diskriminasi. Sayangnya, UE telah gagal menekan kedua negara untuk melaksanakan seluruh poin pada Perjanjian Brussel yang ditandatangani pada 2013 silam.

Lantas, bagaimana bisa mengharapkan UE menjadi pengaman dari pelaksanaan kesepakatan baru, jika kesepakatan sebelumnya saja tidak mampu diamankan? Masihkah UE perlu mengambil peran sebagai induk dari Kosovo dan Serbia? Di sisi lain, kesiapan dan keseriusan para politisi Serbia dan Kosovo untuk menyelesaikan konflik juga patut dipertanyakan. Pasalnya, kedua belah pihak justru seperti sengaja bergumul di tengah konflik dan menjadikan krisis sebagai sarana untuk tetap berkuasa, khususnya dalam masalah Serbia.

Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa maraknya konflik antarwilayah atau negara merupakan problem bawaan dari sistem demokrasi kapitalisme. Tarik-ulur kepentingan politik, ekonomi, dan lainnya, menyebabkan suatu negara menindas, menekan, bahkan menguasai negara lain. Bara konflik sangat mudah menjadi api yang membesar dan memengaruhi negara-negara di sekitarnya. Ditambah lagi dengan peran negara sekutu di belakangnya yang makin memperkeruh suasana.

Fakta ini bukan hanya terjadi pada kasus Kosovo dan Serbia saja, tetapi nyaris dialami oleh seluruh negara di dunia yang berebut pengaruh dan kepentingan atas negara lain. Pada akhirnya kata damai pun menjadi barang mahal yang sulit diwujudkan, meskipun ada campur tangan negara mediator ataupun lembaga-lembaga perdamaian dunia.

Apalagi lembaga-lembaga perdamaian dunia yang digadang-gadang mampu mendamaikan, justru sering bermain di “dua kaki”. Karenanya mengharapkan lembaga tersebut mampu mendamaikan, ibarat mimpi di siang hari. Hubungan antarnegara yang hanya berlandaskan manfaat pun, membuat istilah “tak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanya kepentingan abadi”, begitu melekat pada negara-negara penganut sistem demokrasi kapitalisme. Walhasil, upaya perdamaian boleh saja terus digagas, tetapi potensi konflik akan terus ada dan menyebar.

Kosovo-Serbia dalam Naungan Islam

Tak banyak yang tahu, sebelum dikenal sebagai negara republik sekuler seperti saat ini, Kosovo dan Serbia ternyata pernah berada dalam pelukan kekhilafahan pada masa kejayaan Islam. Di bawah kekuasaan Kekaisaran Ottoman (Khilafah Utsmaniyyah), penduduk Kosovo dan Serbia dapat hidup berdampingan layaknya saudara. Tak hanya itu, beberapa penguasa Serbia di Kosovo pun diberikan kesempatan untuk tetap memangku jabatan meski tetap berada di bawah Sultan Ottoman.

Apabila mengulik fakta sejarah, masuknya Islam ke Kosovo ternyata dibawa oleh tentara Kekaisaran Ottoman pada tahun 1389 dan 1448, melalui dua pertempuran Kosovo. Sebelum terjadi pertempuran Kosovo, seluruh wilayah Balkan (termasuk Albania, Kosovo, Makedonia, dan Serbia) telah dikristenkan oleh Romawi Barat dan Timur. Kekaisaran Ottoman pun telah menguasai Balkan sejak 1389-1912.

Di bawah kekuasaan Kekhilafahan Utsmaniyyah, Islam berkembang pesat di Kosovo. Secara perlahan, orang Albania tertarik untuk memeluk Islam, bahkan jumlahnya sampai mencapai dua pertiga penduduk. Tak hanya etnis Albania, warga Serbia pun banyak yang meninggalkan agama lamanya dan beralih menjadi muslim, meski sebagian lainnya tetap kukuh ingin menjalankan ajaran agama mereka.

Terkait hal itu, Khilafah Utsmaniyyah pun tak mempermasalahkan, apalagi memaksa nonmuslim untuk masuk agama Islam. Meski demikian, orang-orang Kristen Serbia dan Yahudi yang tinggal di wilayah kekhilafahan tetap dilindungi kehidupannya. Sebab, mereka termasuk “ahli kitab” yang berstatus sebagai zimi. Tak ada perundungan, apalagi pembantaian terhadap penganut agama lain termasuk Kristen dan Yahudi.

Ketika syariat Islam diterapkan, keberkahan merajai seluruh alam. Baik muslim maupun nonmuslim akan merasakan kedamaian dan keadilan. Bahkan, pada akhir abad ke-17, terjadi migrasi besar-besaran warga Serbia meninggalkan Kosovo, seiring dengan banyaknya kemenangan yang diperoleh Kekhilafahan Utsmaniyyah. Peristiwa itu dikenal dengan great migration. Yakni berpindahnya “pusat gravitasi” Serbia ke wilayah utara, yaitu Belgrade.

Khatimah

Ikatan nasionalisme yang ditancapkan kafir penjajah membuat bangsa-bangsa di dunia tak bisa bersatu. Nasib mereka pun selamanya akan tetap kelam jika masih diasuh oleh kapitalisme global. Satu-satunya peradaban yang mampu menjadi pemersatu bangsa hanyalah Islam. Di bawah naungan Islam, setiap orang ataupun negara disatukan oleh ikatan yang kokoh yakni akidah. Mereka dipersaudarakan dengan persaudaraan Islam, hingga Allah pun menganugerahkan umat Islam sebagai umat terbaik.

Hal ini telah digambarkan dalam surah Ali Imran ayat 110 yang berbunyi, “Kamu (umat Islam) adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”

Wallahu a’lam bishawab[]

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email [email protected]

Penulis Rempaka literasiku
Sartinah Seorang penulis yang bergabung di Tim Penulis Inti NarasiPost.Com dan sering memenangkan berbagai challenge bergengi yang diselenggarakan oleh NarasiPost.Com. Penulis buku solo Rempaka Literasiku dan beberapa buku Antologi dari NarasiPost Media Publisher
Previous
Berdamai dengan Keadaan, Menjaga Kewarasan
Next
Selamat Erdogan! Selangkah Lagi Menuju Kemenangan Hakiki
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

5 Comments
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Miris sekali ketika dua wilayah atau lebih yang dulu dipersatukan dengan satu ikatan yang sama harus menjadi musuh karena paham yang rusak dan merusak yang ada dalam sistem demokrasi. Sudah seharusnya manusia berpikir bahwa konflik yang terjadi hanya akan menguntungkan orang-orang yang memiliki kepentingan di balik hal itu.

Wd Mila
Wd Mila
1 year ago

Masyaa Allah. Ukhuwa Islamiyah mampu menembus teritorial, ras, suku, dan fisik. Kita ibarat 1 tubuh, siapapun Anda.

Reva Lina
Reva Lina
1 year ago

Yups Hanya Penerapan Islam secara kaffah lah yang mampu mendamaikan. Konflik negara tak berkesudahan dengan kekuasaan merajalela, seharusnya dengan kita menerapkan Hukum Islam InsyaAllah semua teratasi dengan saksama

Azalea
Azalea
1 year ago

Inilah pentingnya menegakkan hukum Islam secara kaffah sehingga bumi damai sentosa, tak akan ada lagi keributan semacamnya terlebih lagi pemimpin-pemimpin yang memiliki kekuasaan semena-mena

Nining Sarimanah
Nining Sarimanah
1 year ago

Ikatan nasionalisme adalah ikatan yang sangat rapuh. Ide ini merupakan turunan dari demokrasi yang menyebabkan berbagai konflik antara negara atau wilayah tetap eksis. Siapa yang untung? jelas kafir penjajah.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram