"Dampak bertambahnya utang selain sebagai alat penjajahan ekonomi, juga akan berimbas kepada generasi mendatang. Demi membayar cicilan utang beserta bunganya, pemerintah akan menggenjot pemasukan negara dengan cara menaikkan pajak sementara pengeluaran ditekan seminimal mungkin, seperti mengurangi subsidi rakyat dan sejenisnya. Zalim bukan?"
Oleh. Trisna Abdillah
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Jelang tahun pemilu 2024, lonjakan jumlah utang pemerintah kembali menjadi polemik. Mantan Wakil Presiden RI Jusuf Kalla (JK) menyebut jumlah utang melonjak tajam di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). JK mengatakan dalam setahun negara membayar bunga dan utang lebih dari Rp1.000 T terbesar dalam sejarah Indonesia sejak kemerdekaan. Jika hal ini berlangsung terus menerus, ia menilai utang pemerintah yang tinggi akan menjadi bom waktu dan membebani pemerintah berikutnya, sebab beban utang dan bunga berimbas semakin menyempitnya ruang fiskal APBN. (Kompas.com, 5/6/2023)
Menteri Keuangan (Kemenkeu) Sri Mulyani tidak menepis ataupun mengiyakan keterangan JK. Ia hanya menegaskan bahwa utang pemerintah masih di batas aman dan bisa ditangani oleh negara.
Terukur atau Tersungkur?
Terkait besarnya utang negara, Kemenkeu membeberkan beberapa fakta, salah satunya jumlah utang pemerintah yang telah menembus Rp7.849,89 T per April 2023. Utang pemerintah didapat dari dua sumber yakni dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dengan nilai Rp7.007,03 T atau setara 89,26 % dari total utang pemerintah, dan dari pinjaman dalam dan luar negeri yakni sebesar Rp842,3 T.
Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Komunikasi Strategis Yustinus Prastowo menilai pemerintah telah berhati-hati dalam pembayaran pokok dan bunga utang sehingga kemampuan bayar dan kesinambungan fiskal terjaga. Hal ini mengacu pada turunnya rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dari yang sebelumnya 39,57% pada Desember 2022 turun menjadi 39,17% per April 2023.
Dalam kacamata ekonomi ribawi kapitalisme, angka tersebut sering kali dianggap “aman” dengan alasan masih di bawah 60% dari PDB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Seperti halnya yang diungkapkan oleh pengamat ekonomi dari Startegic and Economic Action, Ronny P. Sasmita. Ia membandingkan rasio utang Indonesia dengan negara-negara maju yang rasionya di atas 100%. (Kabarbisnis.com, 13/5/2023)
Sangat tidak relevan apabila Indonesia disamakan dengan negara maju. Indonesia bukanlah negara maju melainkan masih emerging market (negara ekonomi rendah menuju level menengah). Dari struktur ekonominya saja sudah berbeda, apalagi nilai mata uangnya.
Sudah semestinya untuk menentukan batas aman utang negara, pemerintah jangan hanya menggunakan indikator UU saja atau menengok rasio utang negara di atas levelnya. Melainkan harus sadar diri memperhatikan faktor lain, seperti bagaimana kemampuan negara dalam membayar dan apa akibat yang ditimbulkan dengan bergantung pada utang.
Sebab, dengan bertambahnya utang maka akan bertambah pula penambahan biaya utang maupun cicilan. Tentunya hal ini akan menambah beban APBN ke depannya. Siapa lagi yang menanggung kalau bukan rakyat, karena sejatinya yang membiayai APBN adalah rakyat.
Pun, dengan risiko yang diambil oleh negara pengutang. Fakta menunjukkan bahwa ketika negara gagal bayar, maka aset dalam negeri akan diambil oleh negara pemberi utang. Sekadar contoh, pada tahun 2021 Uganda harus rela menyerahkan Bandara Internasional Entebbe kepada Cina dikarenakan gagal bayar dari waktu yang telah ditentukan.
Dengan kasus yang sama, pada tahun 2017 Sri Lanka juga harus melepas pelabuhan Hambantota ke Cina dengan kontrak untuk melayani perusahaan milik Cina selama 99 tahun. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Belum lama Cina meminta APBN sebagai jaminan utang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Bayangkan, bagaimana jadinya kalau Indonesia gagal bayar utang? Tidak sedikit pengamat yang mengatakan, jika negara gagal bayar utang kemungkinan pengelolaan kereta cepat diambil alih oleh Cina. Terlebih dengan beban bunga yang dinilai memberatkan yakni 3,4% dari total pinjaman Rp8,3 T.
Bahaya Utang
Tidak ada makan siang gratis dalam sistem kapitalisme. Begitu pun dengan pemberian utang. Utang yang diberikan negara-negara kapitalis kepada negara berkembang hakikatnya merupakan alat penjajahan di bidang ekonomi. Negara pengutang dijadikan “sapi perahan” di mana segala harta dan kekayaannya disedot habis oleh negara kreditur.
Dalam ekonomi kapitalis, utang terkategori menjadi dua yakni utang jangka panjang dan utang jangka pendek. Keduanya sama-sama berbahaya. Utang jangka panjang dengan jumlah yang makin menggila dapat melemahkan APBN negara pengutang yang membuatnya tidak mampu melunasi utang. Apabila kondisinya sudah seperti ini, negara pemberi utang akan memaksakan kehendak dan kebijakan yang merugikan negara pengutang.
Adapun bahaya utang jangka pendek yakni dapat memukul mata uang lokal. Sebab jika sudah jatuh tempo, pembayaran dilakukan hanya dengan dolar AS sementara dolar AS termasuk hard currency, bersifat langka. Kalaupun memaksa untuk membeli, tentu dengan harga yang tinggi. Hal inilah yang membuat nilai mata uang domestik merosot tajam.
Jika ditanya, kapan Indonesia benar-benar terlepas dari utang? Jawabannya, selagi masih menerapkan sistem kapitalisme liberal, Indonesia tidak akan pernah lepas dari jerat utang. Padahal, dampak bertambahnya utang selain bahaya di atas juga akan berimbas kepada generasi mendatang. Demi membayar cicilan utang beserta bunganya, pemerintah akan menggenjot pemasukan negara dengan cara menaikkan pajak sementara pengeluaran ditekan seminimal mungkin, seperti mengurangi subsidi rakyat dan sejenisnya. Zalim bukan?
Cara Islam Tuntaskan Utang
Sistem Islam memiliki cara tersendiri untuk menyelesaikan masalah utang, dalam hal ini adalah utang pemerintah. Dikutip dari buku Peradaban Emas Khilafah Islamiyah karya KH. Hafidz Abdurrahman, MA. Langkah yang harus ditempuh antara lain:
Pertama, utang luar negeri yang dilakukan oleh pemerintah sebelumnya dengan utang yang dilakukan oleh pihak swasta harus dipisahkan. Karena menyangkut siapa yang berkewajiban untuk membayar utang.
Kedua, negara membayar sisa cicilan utang luar negeri hanya pokoknya saja, tidak meliputi bunga. Karena syariat Islam jelas mengharamkan bunga. Firman Allah Swt.,
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman.” (TQS. Al-Baqarah: 278)
Ketiga, negara akan menempuh beberapa cara untuk meringankan beban pembayaran utang. Misalnya saja melobi pihak kreditur agar bersedia memberikan cut off (pemutihan) , atau bisa juga dengan meminta rescheduling (penjadwalan utang yang lebih leluasa waktunya).
Keempat, utang yang ada sebelumnya akan dibayar dari hasil mengambil seluruh harta kekayaan yang dimiliki secara tidak sah oleh rezim sebelumnya beserta kroni-kroninya. Deposito mereka yang melimpah di bank luar negeri akan dijadikan jaminan oleh negara bagi pembayaran sisa utang luar negeri.
Kelima, utang yang dilakukan oleh swasta dikembalikan kepada mereka dalam pembayarannya. Misalnya, dengan menyita dan menjual aset perusahaan yang mereka miliki. Jika jumlahnya masih kurang, negara akan menyita harta kekayaan dan deposito para pemilik perusahaan sebagai garansi pembayaran utang luar negeri mereka.
Penyelesaian secara menyeluruh ini akan melepaskan cengkeraman negara-negara kapitalis atas negeri Islam. Sekaligus memutus ketergantungan kronis yang membahayakan eksistensi negeri Islam. Hasilnya, kepercayaan diri kaum muslimin akan terpancar dan mereka sadar dengan kemampuan dan kekayaan yang dimiliki negerinya amatlah besar. Namun, semua ini hanya bisa dilakukan tatkala sistem Islam telah diterapkan dalam bingkai Khilafah. Wallahu a’lam bishawab.[]
Dalam sistem kapitalis dipandang utang untuk pembangunan adalah lumrah. Dengan yakin bisa bayar. Padahal jika negara kaya, tidak akan berutang. Tapi tidak mau juga mengakui negara sudah bangkrut
Hutang ya sudah lumrah dikalangan masyarakat saat ini, apalagi pemerintah yang terus menerus berhutang yang katanya demi aset negara namun nyatanya malah tejelomok tak berdaya. Itulah mengapa negara asing mudah sekali memperdaya, memang seharusnya Islam kaffah lah yang menjadi solusinya
Hutang yang menjadi ajang pamer kekayaan negara, hingga melilit sana sini. Padahal negeri ini kaya akan berbagai hal namun terkalahkan karena kebanyakan hutang yang tak sanggup dibayar. Memang benar haruslah dengan menerapkan hukum Islam khilafah agar negara kembali berjaya.
Hutang bukanlah prestasi. Tetapi jeratan yang membuat negara tak berdaya akhirnya negara akan dikuasai oleh asing dan aseng. Tak cukupkah bukti di atas?
Nge-riba-nget, back to Islam Kaffah