Masyarakat kecil mati-matian memenuhi kebutuhan hidupnya, penguasa acuh dalam tanggung jawabnya. Namun, ketika memiliki usaha bayang-bayang pajak pun turut menyertainya. Dari sini jelas bahwa UMKM hanyalah sebuah propaganda yang menjadikan sektor ini menjadi ladang untuk menyedot pemasukan dari rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat.
Oleh: Siti Subaidah (Pemerhati Lingkungan dan Generasi)
NarasiPost.Com — Di tengah pandemi yang masih melanda Indonesia, pemerintah pusat maupun daerah berusaha maksimal meningkatkan indeks perekonomian. Salah satu jalur yang ditempuh ialah lewat Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM). UMKM ini diharapkan menjadi penggerak ekonomi yang mampu membawa Indonesia keluar dari ancaman resesi akibat pandemi. Seperti halnya yang terjadi di tahun 1998 saat terjadi krisis moneter. Dimana usaha kecil dan menengah justru yang bertahan ketika perusahaan-perusahaan besar jatuh.
Apresiasi terhadap pelaku UMKM pun dimasifkan agar geliat UMKM semakin besar di masyarakat. Salah satunya lewat program gerakan bangkit dan bangga UMKM atau disingkat Gerbang UMKM.
Gerbang UMKM merupakan program di bawah binaan Bank Indonesia. Selain ada pameran juga akan ada penghargaan kepada sejumlah UMKM unggulan yang telah diberikan pembinaan selama 1 tahun. Kegiatan Gerbang UMKM 2020 ini juga merupakan rentetan dari Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia yang digagas oleh pemerintah pusat. Namun pertanyaannya, benarkah geliat UMKM mampu menggerakkan ekonomi terutama ekonomi masyarakat kecil?
Korelasi Maraknya UMKM Dengan Kesejahteraan Rakyat
Secara garis besar sistem ekonomi Indonesia berkiblat pada paham kapitalis. Paham ini menitik beratkan materi sebagai tolak ukur kesejahteraan. Alhasil, segala hal yang mendatangkan keuntungan dan materi wajib dijalankan termasuk di dalamnya kebijakan terkait ekonomi kerakyatan. Kapitalis memandang bahwa roda perekonomian masyarakat dapat digenjot dari berbagai macam sisi, salah satunya dengan UMKM.
Namun ada beberapa hal yang perlu di kritisi terkait UMKN itu sendiri. UMKM digencarkan dengan maksud dan tujuan agar masyarakat mampu mandiri dan mencukupi kebutuhannya sendiri. Masyarakat dibuat sibuk untuk mencari materi sementara pemerintah sendiri abai dengan tugasnya yaitu menyejahterakan masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat yang putus asa dengan biaya hidup yang tinggi mau tidak mau pontang panting untuk memenuhi kebutuhannya.
Biaya pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, dan papan ditanggung oleh masyarakat sendiri. Padahal ini merupakan tugas pokok negara sebagai wujud tanggung jawab negara dalam mengurus masyarakat. Belum lagi jika kita lihat faktanya bahwa segala badan usaha tak luput dari pajak termasuk dalam UMKM. Ini ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.
Masyarakat kecil mati-matian memenuhi kebutuhan hidupnya, penguasa acuh dalam tanggung jawabnya. Namun, ketika memiliki usaha bayang-bayang pajak pun turut menyertainya. Dari sini jelas bahwa UMKM hanyalah sebuah propaganda yang menjadikan sektor ini menjadi ladang untuk menyedot pemasukan dari rakyat ketimbang menyejahterakan rakyat.
Selain itu, seperti diketahui bahwa modal UMKM untuk masyarakat adalah dari perbankan ribawi yang jelas terdapat bunga di dalamnya. Hal ini tentu menjerat masyarakat ke perkara yang diharamkan oleh agama dan semakin menambah beban masyarakat.
Perbedaan besar pun terjadi, UMKM untuk masyarakat kecil sedangkan ekonomi dengan modal besar untuk para kapital (pemilik modal). Secara fakta tentu para kapitallah yang menjadi peraup untung terbesar. Sementara masyarakat harus puas dengan hasil seadanya. Maka akan timbul permasalahan baru yakni kesenjangan ekonomi yang semakin lebar dan kata “sejahtera” semakin jauh dari angan-angan.
Kesejahteraan Hakiki Hanya Ada Pada Islam
Islam memandang kesejahteraan dalam pandangan yang luas yaitu terpenuhinya hajat hidup masyarakat. Kesehatan, pendidikan, keamanan, dan kebutuhan dasar masyarakat merupakan indikator kesejahteraan yang mutlak ditunaikan oleh negara. Hal ini menjadi mudah diwujudkan jika mengambil sistem ekonomi Islam sebagai panduan.
Dalam sistem ekonomi Islam ada beberapa hal yang menjadi titik poin pelaksanaannya ; pertama, distribusi kesejahteraan yang sama. Artinya bahwa distribusi kekayaan harus merata dan adil di tengah masyarakat. Kekayaan tidak hanya dinikmati oleh individual atau kelompok-kelompok tertentu saja. Dalam Al Qur’an menyatakan bahwa, “harta itu agar tidak beredar di kalangan orang kaya saja diantara kamu,”(QS.59 : 7)
Kedua, jaminan sosial. Dalam ekonomi Islam keadilan ekonomi tidak akan tercapai bila tidak ada jaminan sosial. Sistem ekonomi Islam menjamin terlaksananya jaminan sosial, karena Islam mengajarkan umatnya agar saling tolong menolong dalam menanggung beban untuk kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, tujuan dari ekonomi Islam adalah untuk mencapai kesejahteraan bersama. Al-Qur'an menyatakan bahwa,
"Tidakkah kamu melihat orang yang mendustakan agama? Mereka adalah orang-orang yang membiarkan anak yatim dan mereka juga tidak memberikan makan orang miskin." (QS.107.1-3)
Ketiga, yaitu peran negara. Negara memiliki kewajiban terhadap tercapainya kesejahteraan masyarakat, karena negara memiliki kuasa yang besar terhadap tercapainya kesejahteraan. Untuk itu negara berkewajiban mengalokasikan sumber daya yang ada untuk kepentingan rakyatnya secara menyeluruh. Dengan pengelolaan SDA oleh negara secara mandiri, bukan berbagi dengan asing maupun aseng maka pemasukan negara akan maksimal. Maka dari sini pemenuhan indikator kesejahteraan dalam segala aspek akan terpenuhi.
Islam telah memberikan contoh di masa kekhalifahan Umar bin Khattab, saat itu tidak ditemukan seorang miskin pun oleh Muadz bin Jabal di wilayah Yaman. Muadz adalah staf Rasulullah SAW yang diutus untuk memungut zakat di Yaman. Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus bertugas disana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya Al-Amwal hal. 596, bahwa Muadz pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya. Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar kembali menolaknya dan berkata, “saya tidak mengutusmu sebagai kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari orang-orang kaya disana dan membagikannya kepada kaum miskin dari kalangan mereka juga.” Muadz menjawab, “kalau saya menjumpai orang miskin disana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun kepadamu.”
Ini hanyalah secuil kisah dari keberhasilan Islam dalam memenuhi tanggung jawab kesejahteraan masyarakat. Masyarakat tidak perlu bersusah payah mengais receh demi receh, sementara para kapital memperkaya diri dengan eksploitasi harta milik umat seperti di sistem sekarang. Sejatinya hanya dengan penerapan Islam, umat akan sampai pada derajat umat terbaik dalam segala aspek. Wallahu'alam bishawab []