Upaya membuat petani melek teknologi dengan cara yang diplorkan pemerintah daerah di atas tidaklah cukup. Satu sisi petani digiring beradaptasi sekaligus memanfaatkan teknologi, sementara kebijakan impor, pencabutan subsidi pupuk, rantai distribusi yang panjang, masih menjadi masalah yang tak bisa ditutupi.
Oleh : Uqie Nai
NarasiPost.Com-Kecanggihan teknologi di era RI 4.0 menuju RI 5.0 memang begitu pesat. Mau tidak mau berbagai kalangan masyarakat harus mengejar ketertinggalannya dengan memanfaatkan teknologi. Pasalnya, akses produktivitas manusia dari mulai lembaga pendidikan, perkantoran, pabrik, instansi pemerintahan hampir semuanya melibatkan digital elektronik semisal komputer dan internet. Namun bagaimana dengan kondisi masyarakat sektor pertanian?
Rupanya laju pertumbuhan ekonomi yang didukung teknologi industri berdampak pula pada sektor pertanian hingga menginisiasi pemerintah Kabupaten Bandung untuk mendorong para petani lebih melek teknologi karena semakin banyak komponen pertanian yang memanfaatkan perkembangan teknologi melalui pemasaran secara online. Untuk itu diperlukan gebrakan baru untuk memudahkan akses petani terhadap teknologi. Dengan pengadaan kartu tani misalnya.
Menurut Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Bandung, Tisna Umaran, keberadaan kartu tani ini adalah sebagai bentuk kemudahan untuk para petani. Selain sebagai tuntutan zaman, kartu tani tersebut diharapkan mampu mengendalikan distribusi dan memonitor real di lapangan. Selanjutnya Tisna mengungkapkan bahwa Kabupaten Bandung merupakan daerah yang memiliki keunggulan komparatif, dimana Kabupaten Bandung sangat dekat dengan tujuan pemasaran produknya atau dekat dengan pasar, seperti Bandung dan Jakarta. (Dara.co.id, Rabu, 25/11/2020)
Sudah alaminya jika manusia yang diberi potensi akal oleh Sang Khalik mengeksplor kemampuannya seiring perkembangan teknologi industri dan menyesuaikan diri dengan kemajuan tersebut. Namun tentu saja upaya membuat petani melek teknologi dengan cara yang diplorkan pemerintah daerah di atas tidaklah cukup. Satu sisi petani digiring beradaptasi sekaligus memanfaatkan teknologi, sementara kebijakan impor, pencabutan subsidi pupuk, rantai distribusi yang panjang, masih menjadi masalah yang tak bisa ditutupi.
Pemerintah, baik pusat atau daerah yang selama ini banyak mendorong petani meningkatkan kualitas produksi lahan dan pertanian tak memberi solusi atas kecurangan yang terjadi di tengah mereka. Kondisi prihatin kaum petani akibat ulah bandar dengan membeli sangat murah tapi dijual kepada konsumen dengan harga mahal sehingga yang diuntungkan bukanlah petani melainkan kaum bandar dan kroninya ditambah kerugian secara materi akibat hutang pembelian pupuk menjadi dilema tak berujung.
Sebelum mendorong petani melek teknologi alangkah baiknya pemerintah (negara) membenahi kinerja kepemimpinannya. Program yang dibuat harusnya diimbangi dengan fasilitas dan pelayanan yang memadai secara mudah dan murah jika untuk menggratiskan dirasa sulit. Maka, adanya kartu tani yang disinyalir memudahkan petani memasarkan hasil lahannya hanya akan menjadi program tanpa arti jika kondisi sulit yang dihadapi petani masih luput dari perhatian pemerintah.
Sayangnya, berharap negara mengerti kondisi rakyatnya, memberi kemudahan untuk mengakses teknologi, melapangkan beban hidupnya tak akan dijumpai di era demokrasi kapitalisme seperti sekarang. Negara penganut paham demokrasi akan sulit merealisasikan pelayanan publik secara maksimal dan optimal. Meski jargon ‘dari rakyat, untuk rakyat dan oleh rakyat’ terus digaungkan tak merubah kenyataan apapun. Petani tetap dengan kemiskinannya, pengusaha tetap dengan kezalimannya menguasai hak rakyat dan mengeruk kekayaan alam termasuk menguasai lahan pertanian. Belum lagi dengan imbas disahkannya UU Omnibus Law Ciptaker Oktober lalu nasib petani diujung tanduk.
Berbeda saat sistem pemerintahan Islam ada di tengah masyarakat. Pesatnya pertumbuhan teknologi industri tidak lantas membuat rakyatnya mundur dan terbelakang. Negara Islam (Khilafah) akan mendorong masyarakat melek teknologi sebagai washilah membangun peradaban Islam nan gemilang berlandaskan akidah Islam dalam lingkup syariat. Yang tak kalah pentingnya adalah pola pendidikan intensif yang dilakukan negara bertujuan membentuk syakhsiyah islamiyyah pada individu serta masyarakatnya.
Dari sini negara mentargetkan bahwa umat tidak saja kuat secara akidah tapi juga tsaqafah. Menguasai ilmu praktis dan terapan. Maka, melek teknologi bukan lagi sebuah paksaan melainkan kebutuhan memajukan Islam.
Demi mendukung aktivitas umat dalam riayah suunil ummah pemerintahan Islam akan menerapkan sistem industri yang berjalan atas fondasi sistem ekonomi Islam dari sisi investasi maupun prinsip kepemilikan. Islam menetapkan bahwa sejumlah sumber daya alam tidak bisa dimiliki oleh individu, apalagi asing. Kepemilikannya adalah milik seluruh umat. Negara menjadi pengelolanya untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi rakyat.
Pun demikian halnya dengan sektor industri. Keberadaannya harus ada dalam kendali negara bukan hanya pertanian tapi juga farmasi, energi, transportasi, infrastruktur, dan sebagainya. Seluruh pembangunan industri harus dibangun penuh kemandirian. Tidak boleh sedikitpun ada peluang yang akan membuat negara tergantung kepada orang-orang kafir yang berupaya merebut kekuasaan dan otoritasnya. Celah-celah yang berpeluang intervensi akan ditutup rapat meski atas nama kecanggihan teknologi, ekonomi maupun politik.
… Allah tidak akan pernah sama sekali memberi jalan pada orang-orang kafir (untuk memusnahkan) orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa [4]: 141)
Industri yang dibangun negara selain diprioritaskan untuk umat juga untung kepentingan dakwah dan jihad. Sekalipun harus ekspor, itu dikarenakan hasil produksi memang berlimpah. Rakyat dalam kondisi tercukupi tanpa harus menimbun untuk kebutuhan berikutnya.
Sekalipun kecanggihan teknologi dan industri sudah dikuasai umat Islam dalam naungan institusi Islam, bukan berarti tugas utama negara menyeru negara luar tunduk terlupakan. Justru kemampuan mumpuni yang dimiliki negara (penerap syariat) dalam berbagai sektor berpeluang negara kuffar berbondong-bondong masuk kepemimpinan dan aturan Islam.
Demikianlah gambaran singkat bagaimana negara berbasis akidah Islam dengan sistem yang diterapkannya mampu memanfaatkan teknologi industri menjadi solusi kaffah, tanpa menzalimi rakyat atau sekedar program parsial dengan iming-iming rupiah sebagaimana negara dalam pusaran kapitalisme sekular dimana untuk berdiri di atas kaki sendiri saja tak mampu apalagi menciptakan program handal anti gagal.
Wallahu a’lam bi ash Shawwab. []