”Meski jargon ‘pertumbuhan ekonomi yang bersih dan berkelanjutan, serta transisi energi hijau' digaungkan, tetapi hal itu hanyalah kamuflase semata. Mana mungkin negara-negara kapitalis memiliki niat murni memperbaiki alam, jika mereka jugalah yang menjadi dalang di balik kerusakan lingkungan dunia.”
Oleh. Sartinah
(Tim Penulis Inti NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Krisis multidimensi tengah melanda dunia. Salah satu yang menjadi kekhawatiran adalah terjadinya krisis iklim akibat pemanasan global. Karenanya demi menyelamatkan dan menjaga kelangsungan bumi, puluhan negara membuat perjanjian kerja sama di meja perundingan, hingga saling berinvestasi. Salah satu negara yang bersedia mendanai proyek penyelamatan lingkungan di kawasan Asia Tenggara adalah Inggris.
Lalu, apa tujuan Inggris menggelontorkan investasinya di negara-negara Asia Tenggara? Apa pula dampak investasi bagi Indonesia dan siapa yang paling diuntungkan dari proyek-proyek negara maju tersebut?
Tujuan Komitmen Investasi
Dikutip dari Tempo.co (26/05/2023), salah satu lembaga investasi pembangunan milik Inggris, yakni British International Investment (BII), mengemukakan komitmennya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bersih dan berkelanjutan, serta transisi energi hijau di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Dana komitmen yang dikucurkan pun terbilang fantastis, yakni $15 juta (lebih dari Rp200 miliar). Komitmen tersebut sebagai bentuk dukungan pemerintah Inggris terhadap Just Energy Transition Partnership (JETP) Indonesia.
JETP sendiri diluncurkan oleh Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak, bersama para pemimpin dunia di sela-sela berlangsungnya KTT G20 di Bali pada 2022 lalu. Duta Besar Inggris untuk Indonesia dan Timor Leste, Owen Jankins menyebut, kemitraan yang dipimpin oleh negara-negara tersebut akan sangat membantu Indonesia untuk mempercepat transisi energi yang adil dan meninggalkan bahan bakar fosil menuju energi terbarukan.
Selain itu, upaya tersebut juga akan membantu mendukung pertumbuhan ekonomi, pengurangan polusi, membuka lapangan kerja baru yang terampil, serta masa depan yang tangguh dan sejahtera bagi rakyat Indonesia. Hal ini pun, menurut Owen, sebagai komitmen dari Indonesia akan terwujudnya emisi nol bersih (net zero emissions) pada 2060 mendatang.
Sementara itu, komitmen BII tersebut akan dilakukan oleh SUSI Asia Energy Transition Fund (SAETF). SAETF sendiri merupakan perusahaan yang mendanai infrastruktur transisi energi yang berfokus di Asia Tenggara. Demi menyukseskan komitmen tersebut, BII akan menggandeng lembaga pembiayaan pembangunan lainnya termasuk AIIB, Swedfund, FMO, Norfund, OeEB, serta investor swasta.
Sekilas, fakta tersebut seolah-olah menunjukkan keseriusan negara-negara G20 dan dunia pada umumnya untuk menyelesaikan permasalahan krisis iklim. Meski demikian, hal itu tetap memantik sebuah tanya, benarkah negara-negara di dunia serius ingin mengatasi problem krisis iklim di tengah masifnya pembangunan industri kapitalisme? Di sisi lain, komitmen BII tersebut sekaligus menandakan masuknya investasi asing ke Indonesia demi menyukseskan ambisi pemerintah menuju net zero emissions. Lantas, apa dampak bagi Indonesia jika menjadikan investasi asing sebagai pendanaan proyek tersebut?
Dampak Investasi
Sebagian pihak menilai, investasi dapat berdampak positif terhadap proses produksi yang semakin giat, serta turut berimbas pada meningkatnya konsumsi rumah tangga. Dalam skala nasional, investasi asing dinilai dapat menambah pemasukan negara melalui pajak, serta dapat menyerap tenaga kerja sehingga akan menyelesaikan masalah pengangguran. Meski dianggap memiliki manfaat, tetapi sejatinya bergantung pada investasi asing lebih banyak mudaratnya.
Jika ditelisik lebih dalam, investasi asing bukanlah solusi untuk menyelesaikan berbagai permasalahan negeri ini. Apalagi dengan “menjual” kesejahteraan rakyat demi melegalkan masuknya investasi. Justru, manfaat yang digembar-gemborkan atas masuknya investasi asing sejatinya hanyalah mitos palsu. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa catatan, yakni:
Pertama, investasi asing yang selama ini ditanamkan di Indonesia justru lebih banyak merugikan dan menyengsarakan rakyat. Sebagai contoh, investasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan AS, seperti Exxon Mobil Oil, Caltex, Freeport, serta Newmont, yang bergerak di bidang eksploitasi barang tambang.
Salah satu harapan pemerintah mengundang perusahaan-perusahaan tersebut berinvestasi di Indonesia adalah untuk mengatasi masalah pengangguran. Namun faktanya, perusahaan tersebut tidak mampu secara maksimal menyerap tenaga kerja. Ini artinya, investasi yang sebelumnya diharapkan menjadi solusi, ternyata tidak berdampak pada menurunnya angka pengangguran di Indonesia.
Kedua, prinsip negara kapitalis ketika menanamkan modalnya di suatu negara adalah meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Ambisi berburu untung tanpa peduli lingkungan tersebut telah mengakibatkan kerusakan ekosistem, lingkungan alam, dan sosial. Aktivitas penambangan oleh Freeport misalnya, telah menghasilkan galian berupa air asam tambang dan limbah tailing (material sisa setelah proses pemisahan mineral emas dan perak dari bijih). Galian tersebut telah mengakibatkan kerusakan pantai, mencemari laut, serta merusak hutan lindung.
Ketiga, kontrak kerja sama atau kontrak karya dengan negara mana pun, sejatinya selalu berpihak dan menguntungkan para investor, tetapi merugikan rakyat dan pemerintah sendiri. Dalam kasus Freeport misalnya, selama periode 1992 sampai 2021, royalti yang diterima pemerintah mencapai US$23,1 miliar. Jumlah tersebut didapatkan dari pajak, deviden, royalti, termasuk biaya pembayaran lainnya.
Meski sebagian pihak mengeklaim bahwa royalti tersebut cukup besar dan bermanfaat langsung terhadap pemasukan negara, tetapi dibandingkan keuntungan Freeport, royalti tersebut sangatlah kecil. Misalnya untuk tahun 2022 saja, perusahaan raksasa AS itu mencatatkan pendapatan sebesar US$22,78 miliar (setara Rp341,70 triliun dengan asumsi kurs Rp15.000 per dolar). (Cnbcindonesia.com, 07/02/2023)
Dari sini dapat disimpulkan bahwa semakin masif investasi asing dengan kekuatan oligarki dan monopolinya, maka kebijakan negara akan mudah disetir oleh mereka. Jika mereka telah menyetir kebijakan negara, sementara paradigma kapitalis adalah meraup untung dan bukan mengurus rakyat, maka suatu negara akan terjatuh dalam jebakan penjajahan ekonomi. Dengan demikian, investasi asing sejatinya hanya membuat rakyat dan negeri ini semakin merana, termasuk diterimanya bantuan Inggris demi proyek energi hijau.
Ilusi Energi Hijau
Memburuknya kondisi iklim dunia memang butuh solusi mendesak. Tak heran jika banyak negara yang membuat gebrakan demi menjaga kelangsungan bumi. Salah satunya adalah proyek transisi energi hijau. Dalam sebuah jurnal bertajuk Directory Journal of Economic, disebutkan bahwa energi hijau adalah energi bersih yang tidak mencemari ataupun menambah polutan (bahan yang mengakibatkan polusi) di atmosfer. Hal ini disebabkan energi tersebut diperoleh dari sumber yang ramah lingkungan (seperti sinar matahari, air, angin, panas bumi, dan bioenergi). Dan umumnya energi alternatif tersebut tidak memberikan dampak negatif pada lingkungan.
Niat menjaga kelestarian lingkungan memang perlu diapresiasi. Namun, apakah negara-negara G20 benar-benar serius ingin menyelamatkan lingkungan melalui energi hijau? Atau jangan-jangan hal ini hanya cara lain untuk meraup keuntungan melalui teknologi yang lebih ramah lingkungan? Pasalnya, negara-negara yang tergabung dalam Group of Twenty (G20) seperti AS, Inggris, Cina, Uni Eropa, dan lainnya, justru menjadi penghasil gas rumah kaca terbesar. Dari total emisi global yang ada, negara-negara tersebut telah menyumbang sekitar 80 persen di antaranya.
Karena itu, meski berbagai forum diselenggarakan demi mewujudkan net zero emissions, upaya tersebut tetap menimbulkan ketidakpercayaan publik. Hal ini bukan tanpa alasan. Di satu sisi, mereka memang mengampanyekan energi ramah lingkungan dalam berbagai forum-forum internasional. Namun di sisi lain, mereka jugalah yang paling berkontribusi menyebabkan kerusakan lingkungan. Hal ini bisa disaksikan dari industri-industri raksasa yang dibangun negara kapitalis.
Industri-industri di bawah dekapan kapitalisme yang tidak ramah lingkungan telah mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Berkurangnya lahan hijau karena digunakan untuk permukiman, kuantitas hutan menyusut karena beralih fungsi menjadi pabrik-pabrik industri, dan pegunungan yang diubah menjadi pertambangan, adalah beberapa dampak dari industri kapitalisme.
Satu hal yang pasti, negara-negara kapitalislah yang meraup keuntungan dari berbagai investasi yang digelontorkan pada negara miskin dan berkembang. Keuntungan tersebut sangat kontras dengan apa yang diterima rakyat. Fakta ini pun tidak akan jauh berbeda dengan dampak investasi yang diberikan Inggris. Meski jargon “pertumbuhan ekonomi yang bersih dan berkelanjutan, serta transisi energi hijau” digaungkan, tetapi hal itu hanyalah kamuflase semata. Mana mungkin negara-negara kapitalis memiliki niat murni memperbaiki alam, jika mereka jugalah yang menjadi dalang di balik kerusakan lingkungan dunia.
Ekonomi Bersih dalam Islam
Problem utama terpuruknya iklim global dan masalah lingkungan yang semakin beragam adalah akibat kebijakan internasional yang serakah. Namun, kebijakan yang merusak lingkungan di bawah naungan kapitalisme, tidak akan terjadi dalam Islam. Pasalnya, Islam adalah agama yang tidak hanya fokus menjaga eksistensi manusia, tetapi juga sangat memperhatikan kelestarian lingkungan, termasuk menata industri agar ramah lingkungan.
Sebab, lingkungan adalah penyanggah kehidupan manusia. Karena itu, Islam melarang terjadinya perusakan lingkungan dengan dalih apa pun. Allah Swt. pun dengan tegas menyebutkan larangan tersebut dalam surah Al-A’raf ayat 56, yang artinya, “Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Sebagai ideologi yang dirancang oleh Sang Pencipta, Islam memiliki aturan yang paripurna, tak terkecuali soal realisasi ekonomi bersih ataupun pembangunan yang ramah lingkungan. Khilafah sebagai pelaksana hukum syariat akan melakukan beberapa langkah, di antaranya:
Pertama, negara akan mengalokasikan kawasan industri yang menghasilkan polusi, agar berada jauh dari permukiman warga. Hal ini dilakukan demi menjaga kesehatan rakyatnya dari berbagai bahaya.
Kedua, negara akan mengendalikan fasilitas-fasilitas industri, pertanian, dan sumber polusi lainnya. Selain itu, fasilitas dan sumber polusi tersebut (baik yang statusnya sebagai milik pribadi maupun publik), diminta menggunakan metode serta sistem produksi yang ramah lingkungan dan bersih. Misalnya, perusahaan yang terkait tersebut akan menyediakan unit pengolahan limbah industri, serta meminimalisasi terjadinya kebocoran polutan di lingkungan sekitar atau di luar batas yang diizinkan.
Ketiga, penetapan batas-batas wilayah yang dibolehkan atau tidak, akan ditentukan oleh ilmuwan spesialis. Misalnya saja, ilmuwan membolehkan pembuangan emisi dalam jumlah minimun, serta limbah yang dibuang oleh perusahaan yang tidak memengaruhi keseimbangan ekologi.
Keempat, negara akan mendukung pendirian pabrik untuk mendaur ulang limbah industri yang dibolehkan. Selanjutnya limbah tersebut akan digunakan sebagai bentuk baru dari bahan dan energi yang disebut daur ulang. Cara ini berfungsi untuk mengurangi jumlah limbah industri. Sedangkan sisanya yakni limbah yang tidak bisa dieksploitasi atau didaur ulang akan dibuang ke tempat pembuangan sampah yang ditempatkan di daerah terpencil.
Kelima, negara juga akan membentuk sebuah tim yang terdiri dari para ilmuwan. Mereka bertugas untuk mempelajari serta mengembangkan berbagai strategi baru untuk membersihkan limbah industri yang tidak bisa dieksploitasi atau didaur ulang. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan berbagai risiko yang membahayakan hidup rakyat.
Selain langkah-langkah tersebut, negara juga akan berusaha mencegah terjadinya perilaku mencemari lingkungan oleh negara tetangga. Negara bahkan akan mengajak negara tetangga untuk menerapkan hal yang sama demi menjaga kelestarian lingkungan. Negara Islam (Khilafah) akan melakukan segala upaya demi terwujudnya kemaslahatan rakyat.
Khatimah
Demikianlah upaya maksimal dan praktis yang dilakukan oleh Khilafah. Upaya tersebut akan menghindarkan lingkungan dari berbagai kerusakan sekaligus menciptakan ekonomi ramah lingkungan. Hal ini tentu tidak mampu dilakukan oleh negara-negara yang menerapkan prinsip ekonomi kapitalisme. Di mana, antara upaya untuk menyelamatkan lingkungan dengan realitas di lapangan sangat jauh berbeda.
Karena itu, meski ratusan konferensi dan pertemuan internasional digelar, berbagai mukadimah hukum juga diterapkan untuk mencari penyebab dan solusi kerusakan lingkungan, tetapi melihat prinsip pengelolaan industri kapitalisme yang merusak membuat upaya perbaikan hanya sebatas ilusi. Sudah saatnya dunia kembali pada pangkuan Islam dan menerapkan seluruh syariatnya agar terwujud rahmat bagi seluruh alam.
Wallahu a’lam bishawab.[]
Nah betul banget. Dengan khilafah maka semuanya terjamin. Ekonomi, sumber daya, lapangan pekerjaan. Beda dengan sistem kapitalisme. Sebagian rakyat bingung mencari lapangan pekerjaan