"Hal yang sering dipahami laki-laki pada hari ini adalah keluarga butuh nafkah. Padahal lebih dari itu, keluarga butuh rumah. Semuanya berdampak. Saat ayah perannya tak ada dalam rumah, maka semua anggota di dalamnya terkena imbasnya."
Oleh. Nurjanah Triani
(Kontributor NarasiPost.Com)
NarasiPost.Com-Menjadi kepala rumah tangga artinya menjadi salah satu kontrol untuk aktivitas yang ada di dalamnya. Namun, tak jarang kewajiban mencari nafkah membuat ayah memberikan fokus seutuhnya pada pekerjaan. Kegiatan mencari nafkah di luar rumah memang menguras energi dan pikiran, pun sebagai istri yang senantiasa mendampingi, perlu menilik situasi suami. Memberi ruang untuk suami mengistirahatkan terlebih dahulu segala kepenatan yang ia dapatkan.
Meski demikian, anggota yang ada di dalam rumah tetaplah membutuhkan peran ayah. Ada anak yang masih membutuhkan komunikasi dengan ayah, ada ibu yang membutuhkan partner diskusi ria. Peran kepala keluarga tetap tak bisa hilang hanya karena penat yang bukan kepalang. Memang berat, justru itulah penentu tujuan arah keluarga, surga 'kah atau neraka? Sebab keluarga tak hanya butuh uang semata, tapi butuh sosok nakhoda yang menunjukkan arah ke surga.
Namun, beberapa fenomena terjadi tak biasa. Hal ini mungkin tak banyak, namun cukup merusak. Yaitu sikap ayah yang berubah 180 derajat berbeda. Ayah yang di luar terlihat ramah, membantu sesama, bercengkerama, namun semua itu langka terlihat oleh penghuni rumahnya. Ayah yang anak lihat dalam rumahnya hanya sosok dingin yang tak bisa diganggu, mudah sekali membentak anak yang sedang aktif, bahkan ibu pun tak bisa berkutik.
Fenomena ini ada, karena ayah tak mau kehilangan kolega. Relasi dan citra penting baginya untuk terjaga. Hal itu dapat tercipta saat ia bisa menunjukkan sisi baik sebagai partner kerja. Entah berpura-pura, namun ia menyebutkan sebagai tuntutan kerja. Pun, hal ini berdampak terhadap pandangan orang lain terhadapnya. Saat ia terlihat ramah dan hangat, tak jarang banyak orang yang menyangka "jika pada orang lain saja sebaik itu, apalagi terhadap keluarganya". Hal ini pun terjadi pada peranan berbagai tokoh masyarakat, yang dikenal hangat, berwibawa, dan mudah bercengkerama. Namun sayang seribu sayang, banyak pula yang berkebalikannya saat di rumah. Pulang ke rumah sudah penuh amarah, mengeratkan rahang hanya karena melihat anak dengan mainan yang berceceran, berwajah masam seolah terpasang tulisan "jangan ganggu" di jidatnya.
KuKira Kau Rumah
Orang tua adalah orang pertama yang anak kenal dalam hidupnya. Belajar mengenai arti hidup lewat cerminan mereka. Orang tua pulalah yang biasanya menjadi tempat pulang ternyaman untuk anaknya, setelah menghadapi dunia dengan berbagai kepenatannya. Namun, tak semua anak mendapatkannya. Ada pula anak yang justru lebih betah di luar. Ada juga anak yang menatap rumahnya penuh nanar. Entah pemandangan di sana hanya keributan, atau bahkan tubuhnya sendiri yang menjadi sasaran kemarahan.
Jauh dari kata hangat, rumah itu menjelma menjadi luka yang hebat. Bahkan bukan hanya keributan, tetapi juga penuh penyiksaan. Entah ke mana lagi ia harus berpulang, jika fungsi rumahnya saja hilang. Anak yang di dunia ini hanya mengenal orang tua, justru berdekatan dengan mereka adalah luka terbesarnya.
Keluarga, Amanah Allah Taala
Laki-laki sebagai pemimpin dalam keluarga memiliki tanggungjawab besar di hadapan Allah taala. Tak main-main, seorang pemimpin memiliki dua tiket di tangannya yang akan menentukan ia berpulang ke mana. Yakni tiket surga dan tiket neraka. Dalam surga terdapat tempat khusus untuk pemimpin-pemimpin yang adil, dan dalam neraka terdapat kursi khusus untuk pemimpin yang zalim. Hal ini bukan tanpa sebab, karena peranan pemimpin memanglah penting dalam kehidupan, termasuk pemimpin keluarga.
Hal yang sering dipahami laki-laki pada hari ini adalah keluarga butuh nafkah. Padahal lebih dari itu, keluarga butuh rumah. Semuanya berdampak. Saat ayah perannya tak ada dalam rumah, maka semua anggota di dalamnya terkena imbasnya. Ada istri yang kehilangan kewarasannya sebab mengurus segalanya sendirian, ada anak yang akibat ibunya kelelahan dan kehilangan kewarasan, hingga dirinya terlalaikan. Belum lagi, sikap ayah yang pulang hanya untuk marah-marah, yang menyalahkan mengapa rumah masih berantakan, mempertanyakan mengapa anak menangis seharian, tanpa melihat sang ibu yang juga kelelahan namun selalu dituduh bermalas-malasan. Saat pemahaman keluarga hanya butuh uang saja, maka di sinilah letak bencananya. Merasa sudah menjadi "si paling lelah" karena bekerja, membuat diri menutup mata atas masalah yang terjadi di rumah.
Rasulullah saw. bersabda :
عَنْ عَائِشَةَ رضي الله عنها قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لأَهْلِهِ وَأَنَا خَيْرُكُمْ لأَهْلِى. رواه الترمذى
Artinya: “Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: 'Rasulullah shallallau ‘alaihi wasallam berasabda: Sebaik-baik kalian adalah (suami) yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah yang paling baik terhadap keluargaku.'” Hadis riwayat Tirmidzi dan disahihkan oleh al-Albani di dalam Ash Shahihah (no. 285)
Memang, sifat asli laki-laki bukanlah ketika ia di luar, tetapi ketika ia di dalam rumahnya, di hadapan keluarganya. Namun, mengapa laki-laki mudah menjadi baik hanya demi kolega, tapi sulit baik demi keluarga? Mengapa laki-laki mudah bercengkerama ria dengan temannya, namun dingin pada keluarga? Mengapa ia tak berani seenaknya dengan rekan bisnis, namun seenaknya dengan keluarga? Bukankah perihal keluarga, artinya rekan bisnisnya adalah Allah taala?
Wahai laki-laki, jadilah sejati. Yang tidak mengingkari janji suci di hadapan Ilahi. Bukan hanya tentang mendua, tetapi tentang akhlak terhadap keluarga. Tidak cukup hanya dengan dana, keluarga tetap membutuhkan peranmu dalam kesehariannya. Berguraulah dengan mereka, buat mereka merasa memiliki pelindung yang nyata.
tugas kita sebagai ibu, mendidik anak laki-laki kita agar kelak menjadi sosok kepala keluarga yang baik pada keluarga..
Kisah dalam tulisan ini seperti diambil dari kisah nyata keluarga teman saya. Di luar ayahnya di kagumi banyak orang, terkenal dermawan dan baik hati. Namun berbanding terbalik dengan dalam rumah
Semoga para ayah membaca tulisan ini kemudian tersadar
Subhanallah, memang fenomena tersebut banyak terjadi di masyarakat
Ayah figur seorang pemimpin bagi anak-anaknya. Jika dia berpegang pada akidah Islam maka akan menjadikan dirinya pemimpin yang amanah, akan mengayomi keluarganya dengan penuh tanggung jawab karena seluruh amanahnya sebagai seorang pemimpin apapun kedudukannya akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swat
Sungguh berat peran kepala rumah tangga, maka kita pun sebagai anggota perlu untuk terus mengingatkan dan menguatkannya sebagai bentuk cinta
Jika saja setiap ayah sudah mengkaji Islam sebelum menikah tentu akan sangat berbeda cerita. Mirisnya, kebanyakan laki-laki lebih mempersiapkan finansial untuk menjalani biduk rumah tangga dari pada ilmu untuk menuntun yang di pimpinnya ke Jannah...
Ini butuh peran negara tentunya, agar setiap keluarga terjaga ketaatannya.
MasyaAllah, tulisaan ya menyentuh banget. Disinilah butuhnya pemahaman Islam kafah termasuk hak dan kewajiban suami istri, butuh visi misi dan planing yang sesuai tuntunan syariah dari awal membina biduk rumah tangga.
Ini kisah nyata yang saya juga pernah jumpai. Masya Allah, keren..., disajikan dalam tulisan ringan tapi penuh makna. Sang ayah dengan kepribadian ganda tentu membuat anggota keluarga gak nyaman.
Betul.. Yang lebih berhak mendapatkan sikap baik kita tentunya adalah keluarga terlebih dahulu sebelum orang lain..