Gadis Bumiputra

"Abang! Ke mana Abang selama ini? Kenapa membiarkan Halimah pergi jauh, Abang," ujar Halimah tak kuasa menahan tangis."

Oleh. Rosmiati, S.Si
(Kontributor NarasiPost.Com)

NarasiPost.Com-"Kapan kapal akan sandar di Pelabuhan Batavia?" tanya Berg kepada salah satu babu yang ikut dalam perjalanannya ke tanah Jawa.

Lelaki berkulit cokelat, dengan postur tubuh tak terlalu tinggi itu menjawab, "Tinggal semalam lagi, Tuan!"

Berg merekahkan bibirnya, senyum pun terkembang di wajahnya. Lelaki yang berusia nyaris tembus kepala empat itu melanjutkan aktivitasnya memegang pipa yang berisi opium lalu diisapnya dengan perlahan. Sungguh kenikmatan luar biasa tengah merasuk dalam jiwanya.

Tak lama, lelaki yang kelak akan berkunjung ke industri tebu di Jawa Barat itu kembali bertanya pada lelaki paruh baya yang baru saja dibelinya saat singgah di tanah Padang. Pria itu, orang buangan dari negeri kelahirannya.

"Anda pernah berlayar ke Batavia?"

Dengan perasaan sedikit gugup, Kusuno berusaha menjawab pertanyaan tuan muda yang kini telah menjadi majikan barunya itu. "Tentulah, Tuan. Kami orang buangan begini selalu ikut kemana tuan yang membeli kami pergi. Bahkan kadang dari satu pulau ke pulau lain."

"Sungguh?" tanya Berg nyaris tak percaya.

"Betul, Tuan," tukas Kusono dengan sedikit menundukan kepala.

"Oke! Lupakan sejenak hal itu. Aku ingin bertanya lagi padamu."

"Tentu, sangat boleh, Tuan."

"Apa betul gadis-gadis di Hindia Belanda itu cantik-cantik?"

Dengan sedikit tersenyum, Kusono terdiam.

"Mengapa kau terdiam? Aku ini lelaki asing yang datang ke negerimu dalam jangka waktu yang lama. Aku tentu ingin membeli seorang wanita lagi yang kelak akan menemani hari-hariku."

Hati Kusono berkecamuk. Darahnya sontak berdesir entah kemarahan seolah datang menghampirinya.

Rupa-rupanya sang tuan di depannya ini punya niat hendak meniduri perempuan bumiputra guna memenuhi hajat seksualnya selama berada di Batavia.

"Mengapa kau terdiam? Apa aku perlu mengulangi pertanyaanku"

"Ti—tidak perlu, Tuan. Sa—saya sudah mendengarnya." Kusono coba mengatur napasnya. Walau rasa marah tampak dari raut dan kepalan tangannya.

"Lantas, apa yang menghalangimu untuk menjawab?"

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di daun pintu milik salah satu kelasi kenalan Berg. Kusuno pun mengangkat dirinya pergi meninggalkan majikannya dengan membawa amarah. Sementara Berg yang semula berbaring sembari menikmati opiumnya terbangun dari tidurnya. Segera ia meletakkan pipa, benda yang telah memberi kenikmatan luar biasa dalam perjalananya itu.

"Tak usah, biar aku sendiri yang membukanya," cegah Berg ketika menyaksikan Kusuno bermaksud hendak membuka pintu.

Karena dicegat, Kusono pun hanya bisa berdiri terpaku. Ia pun meminggirkan badannya ke samping hingga Berg meraih sendiri ganggang pintu kamar milik seorang kelasi di kapal tersebut.

Dan ternyata bukanlah tamu penting sebagaimana yang dipikirkan oleh Berg. Yang datang hanyalah seorang pelayan yang membawa makanan bagi penghuni kamar. Mereka tahu bahwa Berg adalah salah satu anak konglomerat yang cukup banyak memberi pemasukan bagi Pemerintah Hindia Belanda di Singapura.

Melihat hal itu, Berg memberi isyarat kepada Kusuno untuk menyambut nampan makanan yang dijamukan malam itu. Kusono pun tak menunggu lama, langsung meraihnya. Lalu, meletakkannya di atas meja yang tak jauh dari kamar tuannya berbaring.

Akan tetapi, Berg belum mau menyantap makanan tersebut. Lelaki yang pernah menempuh study di Singapura itu hendak berkeliling menghirup udara malam di atas kapal. Kusono pun kini seorang diri.

Sementara itu, kapal layanan publik milik pemerintah kolonial yang cukup gagah pada masanya itu, terus melaju memecah gelombang di tengah lautan. Sesekali para penghuni kapal dibuat kaget, akibat empasan gelombang yang memukul dinding kapal.

Dalam kesendiriannya, Kusono merenungi perjalanan hidupnya. Terbayang akan kampung halaman yang sudah sangat lama ia tinggalkan. Teringat masa kecilnya yang bahagia. Sawah, ladang, pekarangan, gemercik sungai, dan lainnya.

Belum lagi, riak tawa bersama saudaranya di sungai dekat rumah. Kusuno tersenyum. Namun, bak awan hitam yang tiba-tiba datang, raut wajah bahagia berubah kelam kala terkenang suatu malam, di mana ia dan saudaranya, Halimah, harus dipaksa ikut seorang rentenir kejam di kampung mereka.

"Abang! tolong Halimah! Abang! Halimah tak mau ikut orang jahat ini. Abang!" Pecah suara Halimah memanggil abangnya. Sedang Kusuno hanya bisa menyaksikan dari jauh tubuh ringkih adiknya itu diseret.

Di atas kapal putih berlambung hitam itu, Kusuno menitikkan air mata. Hanya karena utang orang tua mereka yang tak seberapa jumlahnya, Kusono dan Halimah harus menjadi budak sang rentenir di penggilingan padi. Halimah saudaranya yang berparas cantik itu diambilnya sebagai istri, tapi Halimah berusaha melarikan diri. Namun, bak keluar dari kandang singa masuk ke kandang harimau, Halimah kembali jatuh ke tangan orang Belanda dan lantas membawanya pergi jauh ke tanah Jawa.

Kusono menitikkan air mata setiap kali mengingat kenangan pahit saudara perempuannya itu. Ia bahkan rela menjadikan dirinya babu bagi seorang pengusaha agar bisa menyeberang dari satu pulau ke pulau lainnya. Dengan harapan, ia bisa menemukan Halimah di sana. Hanya sayangnya, pencariannya selalu saja sia- sia.


~ Batavia~

"Susanti, siapkan satu kamar yang bagus untuk tamu saya dari Singapura. Jangan lupa kau pastikan kamar itu bersih dan tidak ada debu yang tertinggal di dinding kamar, ventilasi, dan juga meja," ujar Tuan Hendrick kepada Susanti salah satu pembantu di rumahnya.

Tuan Hendrick adalah rekan bisnis keluarga Berg sejak lama. Mereka sudah cukup meraup untung selama pendudukan VOC di Nusantara. Apatalagi, saat Banda telah jatuh ke tangan Pemerintah Hindia, keluarga Tuan Hendrick dan Berg kerap berbisnis pala dan cengkeh di kawasan Timur.

Tak ayal, demi untuk meraup pundi-pundi keuntungan yang berlipat ganda, kedua konglomerat itu sesekali mengkhianati bangsanya dengan melakukan penyelundupan agar tak membayar biaya tambahan kepada pemerintah kolonial di Banda.


Sementara itu, kapal uap milik Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) tak lama lagi akan tiba di Pelabuhan Batavia. Dinding- dinding tembok Kota Batavia pun telah terlihat dari dek atas kapal. Kusono dan Tuan Berg telah bersiap- siap untuk turun. Tuan Berg tampil dengan gaya yang cukup memesona. Jas hitam dengan garis-garis putih menemaninya menuruni tangga kapal uap milik kerajaan Belanda itu. Tak lupa kacamata hitam menutup kedua netranya.

Sementara Kusuno, sang babu tak ubahnya para babu lainnya di atas kapal. Mereka membuntuti ke mana tuan mereka pergi. Kedua urat lengan para babu di atas kapal mulai muncul kepermukaan. Pertanda beratnya beban yang mereka bawa.

Desak-desakkan pun terjadi. Bahkan sesekali terjadi cekcok antara petugas kelasi dan para babu yang tak sabar untuk turun.

Berg mengajak Kusono menepi sejenak untuk menghindari desak-desakkan di pintu keluar. Ini kesempatan bagi Kusono. Segera pemuda itu melihat ke segalah arah. Satu persatu orang diperhatikannnya. Dengan harapan, ia dapat melihat raut wajah adiknya, Halimah.

Sayang, sampai giliran mereka tiba. Halimah tak terlihat olehnya.


"Kau tahu Kusono, perempuan-perempuan pribumi ternyata ada juga yang cantik-cantik," ungkap Berg kegirangan melihat para gadis yang tengah duduk di depan loji.

Kusono berjalan di belakang tuannya dengan pandangan tak lepas dari gadis-gadis tersebut. Tak sadar dari balik tirai kamar rumah yang dilewatinya, tampak seorang wanita bersama lelaki Belanda tengah berada di sana.

"Astagfirullah…" ucap Kusono segera ia memalingkan pandangannya.

"Tempat macam apa ini, Ya Allah!" lirihnya dalam hati.

Tuan Berg majikannya memiliki kebiasaan sejak bekerja di Singapura kerap kencan dengan wanita-wanita tunasusila. Maka tak heran, saat tiba di Batavia pun yang ia cari adalah mereka.

Dan saat itu, lokalisasi di Batavia adalah hal yang lumrah saat Sunda Kelapa telah jatuh ke tangan Belanda. Ditambah dengan banyaknya penaklukkan wilayah di dunia yang takluk di bawah pemerintahan kolonial membuat perpindahan budak secara besar-besaran terjadi. Batavia yang menjadi kota baru yang dibangun Belanda menjadi sasaran utama.

Peluang untuk membuka bisnis lokalisasi pun terbuka lebar. Dan sedikit banyak wanita bumiputra yang juga bekerja di sana.

Kusuno terus berjalan dan akhirnya ia mengucap lega kala sang majikan tiba di depan sebuah penginapan. Setidaknya satu langkah ia terselamatkan.

Berg sedang sibuk berbicara dengan seorang pelayan di lobi. Seorang wanita dengan rambut sebahu berwarna kecokelatan tengah menjalaskan beberapa hal pada Tuan Berg. Sedang Kusono menunggu dengan was-was.

Tak lama, sang tuan keluar dan mengajak Kusono untuk masuk bersamanya.

Sementara itu, di rumah salah satu rekan bisnis keluarga Berg, Tuan Hendrick. Kesibukan tengah mewarnai salah satu bagian kamar di rumah tersebut. Susanti seorang budak yang sudah beberapa tahun mengabdikan diri pada Tuan Hendrick tiada henti melakukan pekerjaannya.

Secara teliti ia memeriksa setiap sudut ruang kamar. Majikannya paling tak suka bila tampak pada matanya setitik debu di atas ventilasi. Jika itu terjadi maka ia akan memarahi sang budak seharian penuh.

Tak jauh dari ruang Susanti bekerja, Tuan Hendrick bersama sang Istri Nyonya Emma tengah memeriksa satu demi satu wanita yang diambilnya dari salah satu mamie di rumah bordil. Semua itu dilakukan demi menyenangkan hati sang tamu. Betapa tidak, keluarga Berg amat berjasa bagi kelangsungan bisnisnya di Nusantara. Maka tentu ia tak ingin membuat kecewa Berg yang datang jauh dari Singapura.

Susanti mendengar perbincangan Tuan dan Nyonyanya di ruang tamu. Ia pun tak mempedulikan. Fokus dengan pekerjaannya semata.

"Kalian jangan ke mana-mana. Tetap di dalam kamar!" ucap Nyonya Emma menutup pintu kamar dengan rapat.

Mendengar entakan pintu dari kamar sebelah, Susanti kembali melanjutkan pekerjaannya.


Suasana Batavia sore hari mulai menyapa. Banyak pribumi berkeliling dengan menenteng jualan tanpa alas kaki. Ya, para pribumi ini tetap berusaha walau sesekali hinaan dan celaan mereka peroleh.

Sementara itu, tak jauh dari mereka, terlihat beberapa orang Belanda tengah bersantai di serambi rumah masing-masing sambil menyeduh nikmatnya kopi dari berbagai wilayah di tanah air. Yang mereka dapatkan melalui pertumpahan darah warga sekitar.

Berg yang di hotel pun menjadi tak sabar. Ia ingin lekas berkunjung ke rumah kolega keluarganya untuk menyeduh berbagai jenis dan aroma kopi khas Nusantara. Kini pemuda itu tengah bersiap-siap untuk berkunjung ke rumah kerabatnya, Tuan Hendrick. Kusuno yang sedari tadi terdiam di kamar segera merapikan barang yang akan diperlukan tuannya.

Tak lama, keduanya pun bergegas ke kediaman Tuan Hendrick. Di rumah, Tuan Hendrick dan Nyonya Emma tengah bersantai ria di serambil rumah mereka. Kabar pasal kedatangan Berg telah sampai kepada mereka. Itulah mengapa, mereka menunggunya.

Dari kejauhan terlihat salah satu mamie dari rumah bordil tengah meninggikan suaranya. Wanita separuh baya itu datang dengan menyeret-nyeret seorang wanita yang masih sangat muda. Parasnya memang memesona. Wajar saja wanita tua itu berhasrat hendak memilikinya.

Gadis itu dialah Halimah adik Kusono. Nasib malang telah membawanya ke Batavia. Akibat fitnah dari rekan sesama budak saat masih bekerja dengan salah satu tuan dari negeri Belanda. Di Batavia ia dipungut oleh seorang wanita. Dikiranya sang penolong adalah wanita baik-baik yang niatnya tulus memberi tumpangan. Namun, ternyata tidak.

Sungguh zaman telah mengikis hati nurani dari umat manusia. Tak ada lagi orang berhati mulia di zaman ini. Semua rela berhati bak binatang demi untuk sesuap nasi. Halimah tak menyangka, kebaikan wanita itu karena ada maunya.

Halimah hanya bisa meratapi nasibnya. Sungguh, masa indah di kampung halaman selalu dikenangnya. Sungguh sedikit pun tak pernah tebersit dalam dirinya akan pergi sejauh ini meninggalkan kampung halamannya.

Memang benar adanya, bahwa dalam agama tak ada larangan untuk menjelajah bumi yang telah Allah Swt. hamparkan. Bahkan ketika di tempat asal kita tak menemukan sebuah kehidupan yang layak, kita boleh berpindah/berhijrah ke wilayah lain di bumi ini.

Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah An-Nisa ayat 97 yang artinya:

"Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya dirinya sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya; 'Dalam keadaan bagaimana kamu ini?' Mereka menjawab: 'Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri Makkah.' Para malaikat berkata: 'Tidakkah Bumi Allah itu luas, sehingga engkau dapat berhijrah di bumi itu?' …."

Akan tetapi, bukan hijrah demikian ini yang diharapkannya, yang justru semakin dekat membawanya dengan dunia kegelapan.
Hari itu, Halimah hendak dijual kepada lelaki Belanda yang baru saja kembali dari penugasan di Banda. Sayang, Halimah yang sejak kecil telah dididik dengan pemahaman agama menolak keras perbuatan hina tersebut.

"Janganlah kalian mendekati zina karena itu adalah perbuatan keji dan jalan yang amat buruk." (QS. Al-Isra: 32)

Belum lagi saat Halimah teringat kisah saat Nabi saw. melakukan perjalanan ke langit yang ketujuh. Di sana Rasul saw. menjumpai banyak sekali wanita sebagai penghuni mereka. Ia sungguh takut dan tentu tak mau menjadi salah satu bagian darinya.

Itulah mengapa, ketika laki-laki berhidung belang itu datang, Halimah berusaha kabur. Sayang, usahanya itu gagal. Kini tubuh mungil itu semakin tak berdaya akibat bejibun pukulan yang didapat tubuhnya.

Halimah terus merintih sepanjang jalan.
Sepasang suami istri yang semula duduk santai di serambi rumah, berdiri menyaksikan fenomena yang lumrah terjadi antara pekerja seks dengan mamie mereka.

"Bikin kaget saja," kesal Tuan Hendrick.
Tak lama mereka pun berlalu melewati rumahnya.

"Kasian, para gadis bumiputra itu. Benar- benar sudah tak punya hak hidup. Andai mereka manut saja dengan pemerintah kolonial, Tentulah nasib mereka akan jauh lebih sejahtera dari sekarang. Saat ini mau berpegang pada agama itu bukan saatnya lagi. Jika ingin maju kita harus berkiblat dengan Barat." Tuan Hendrick mengerutkan bibirnya lalu terus membaca surat kabar dari negaranya.

Berg dan Kusono pun melihat kejadian itu dari jarak dekat. Halimah mengangkat wajahnya. Dipandangnya sosok lelaki yang berjalan ke arah mereka. Namun, Kusono tak melihat ke arah adik yang selama ini ia cari.

Hingga tatapan Halimah kepadanya, terhalang wajah tampan, Berg. Berg tak melepaskan pandangannya ia terus memandangi Halimah. Namun, akibat desakan kuat dari sang mamie, Halimah di seret pergi.

Kusono pun segera menoleh, tapi, sayang tinggallah punggung Halimah yang dilihatnya.

"Ada apa, Tuan?" tanya Kusono.

"Ya, biasa. Begitulah pemandangan di kota baru ini. Para wanita yang tidak mau menjajakan dirinya. Mereka berniat kabur. Hingga memancing kemarahan tuan mereka. Bisa kau mengikutinya, dan katakan pada majikannya berapa harga wanita itu saya akan langsung membelinya."

Bagai langit runtuh di atas ubun-ubun, Kusono kaget bukan kepalang. Ia kembali melihat ke arah gadis yang kini mulai menjauh pergi. Tak lama lagi, wajahnya ia palingkan lalu memandangi sang majikan.

"Ayo! tunggu apa lagi. Kejar!"

Kusono pun segera berjalan mengikuti ke mana rombongan tadi pergi. Dalam perjalannya mengejar sang gadis, Kusono bimbang. Bagaimanapun, ia akan berperan dalam hal ini maka baik buruk kelak ia juga ikut menanggung.

Tetapi, di sisi lain ia juga harus menolong gadis itu. Terlepas apa pun alasannya, wanita itu tak pantas dibiarkan demikian. Setelah menimbang-nimbang, Kusono pun segera mengejar ke mana rombongan tadi pergi.

Dan tentu saja ke rumah lokalisasi ia dibawa. Kusono pun menghentikan langkahnya. Tubuh ringkihnya ia sandarkan di balik pohon. Dari kejauhan gendang telinganya mendengar rintihan tangis dari gadis yang tadi sempat berpapasan dengannya di jalan.

Namun, semakin ia mendengar suara itu, semakin dadanya bergetar. Tampaknya Kusono tak asing dengan suara tersebut. Sampai pada satu titik, jeritan kata "abang" terdengar, Kusono tersadar, "Halimah! Iya, Halimah."

Lelaki itu pun segera berlari menghampiri rumah bordil. Ia mulai mencari di bagian mana suara itu berasal.

Kusono mulai mengecek dinding jelajah rumah yang ia tengarai dari sanalah sumber suara yang ia dengar. Dan terang saja, seorang wanita muda tak berdaya dengan rambut terurai tak karuan terbaring tak berdaya dengan luka dan memar di seluruh tubuh.

Kusono menjadi bertanya-tanya, apakah benar itu adik yang selama ini ia cari? Jika benar, maka sungguhlah malang nasib saudaranya kini. Tetapi jika bukan, maka pupuslah kembali segala harapannya. Ke mana lagi ia akan mencari adiknya itu.

Kusono pun membalikkan badannya. Ia berniat pergi saja. Tetapi, terlepas dari siapa wanita tersebut. Adalah kewajibannya untuk menolongnya. Tak mungkin membiarkannya demikian.

Maka dengan segala upayanya, Kusono berusaha menarik dinding yang melekat pada kayu itu. Lelaki itu terus menariknya dengan sekuat tenaga. Hingga dinding yang terbuat dari anyaman bambu tersebut terbuka. Kusono menarik napas lega. Ia pun mulai melangkahkan kaki masuk ke dalam ruangan.

Halimah terkejut. Wanita itu sejurus ketakutan. Ia mulai menarik kedua kakinya. Isak tangis pun mulai terdengar. "Saya mohon jangan apa-apakan saya, Tuan. Saya mohon, saya ini wanita baik-baik. Budaya kami tak mengenal kehidupan macam ini. Saya besar dididik dengan ilmu agama. Percayalah, Tuan, saya ini bukan orang berpangkat. Hinalah tuan bila memelihara saya, sedang wanita dari negeri Tuan sendiri pintar dan terpandang."

Mendengar suara yang sudah lama tak ia dengar itu, kedua kaki Kusono nyaris kaku badannya bergetar, air matanya tumpah. Itu suara Halimah.

"Halimah, Adikku," ucap Kusono tak kuasa menahan tangis. Tubuhnya sontak menjadi lemas. Dan ambruk ke lantai.

Halimah menolah, kedua ujung netranya menjatuhkan bulir bening, jantungnya pun berdegup bak genderang yang bertalu-talu.

"A— Abang."
Halimah menoleh.
"Abang!"
"Halimah!"
"Abang!"
"Sungguh, kau adikku Halimah?" Pecah tangis Kusono mereguk badan adiknya.

"Halimah."
"Abang!" Halimah nenangis sejadi-jadinya.

"Abang! Ke mana Abang selama ini? Kenapa membiarkan Halimah pergi jauh, Abang." ujar Halimah tak kuasa menahan tangis.

"Abang tak akan tinggalkan Halimah. Biarlah Abang mati asal engkau Halimah adikku dapat selamat."

Halimah meraih badan saudaranya, kedua tangannya erat memeluk badan yang ringkih itu.

"Alhamdulillah, ya Allah. Engkau telah mempertemukan aku dengan adikku, Ya Allah. Sungguh, semua karena kuasa-Mu." Kedua kakak beradik itu pun berpelukan dengan bibir tiada henti mengucap syukur. Keduanya pun keluar dan melarikan diri dari tempat tersebut.

Kini Kusono tak lagi kembali menemui Tuannya. Ia membawa adiknya pergi jauh. Kembali ke Padang tentu tak mudah. Tak mungkin bisa menumpang kapal Belanda. Maka mereka pun berjalan keluar tembok Batavia mencari suaka di mana saudara seiman mereka berada.

Kini tak ada lagi kisah Berg sang majikan juga mamie, wanita pemilik bisnis prostitusi. Yang ada tinggallah Kusono dan adiknya Halimah yang mencari kehidupan baru.

Selesai. []

Disclaimer

Www.NarasiPost.Com adalah media independent tanpa teraliansi dari siapapun dan sebagai wadah bagi para penulis untuk berkumpul dan berbagi karya.  NarasiPost.Com melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda. Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Www.NarasiPost.Com. Silakan mengirimkan tulisan anda ke email narasipostmedia@gmail.com

Rosmiati,S.Si Kontributor NarasiPost.Com
Previous
Manusia Pilihan
Next
Timun Tikus, si Kecil Mungil Berkhasiat Bagus
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

1 Comment
Newest
Oldest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Firda Umayah
Firda Umayah
1 year ago

Bagus sekali ceritanya. Tergambar jelas semua suasana dan kondisi saat itu. Memang begitulah gambaran para penjajah. Sangat berbeda dengan Islam yang memanusiakan manusia dengan layak tanpa pandang bulu.

bubblemenu-circle
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram